Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Bumi Hangus, Pademangan Tirta Wisesa.
***
Lanang sudah terpejam tetap menjawab, suaranya terdengar datar namun menekan.
“Ritual Intra Pati, atau tukar ingatan. Kau bisa melihat pikiranku, dan aku bisa melihat pikiranmu.”
“Apa?!” Bryan sontak tersentak, matanya membelalak tak percaya. “Aku tidak mau!” Ia refleks hendak bangkit dari duduknya, tapi sudah terlambat.
Tangan Lanang lebih dulu mencengkeram pergelangannya. Dari genggaman itu, semburan energi hitam meledak, menyalur deras dan langsung mengunci dahi mereka berdua.
“Lanang! Lepaskan—!” seru Bryan dengan nada panik.
Namun tubuhnya mendadak kaku, seolah segala ototnya lumpuh. Lanang pun tak lebih baik. Mereka berdua terjebak dalam ikatan gaib yang tak kasat mata. Energi itu berputar membentuk pusaran cahaya pekat, menarik keduanya masuk. Dalam sekejap, ruang di sekitar mereka lenyap, digantikan arus memusingkan yang menyeret kesadaran mereka ke dalam pusaran kenangan.
Potongan-potongan gambar berkelebat tanpa henti. Ingatan Bryan tercampur dengan ingatan Lanang; wajah-wajah asing, tempat-tempat yang tak dikenali, perasaan-perasaan yang bukan miliknya. Semuanya bertubrukan, kabur, dan kacau.
Di tengah riuh arus itu, perlahan terbentuk sebuah pintu tua dari kayu jati. Pintu itu berderit, memancarkan cahaya samar seolah menjadi jalan menuju sesuatu yang asing namun akrab.
Lanang tercekat. Ia mengenali bentuk pintu itu dengan sangat jelas. “Tidak… ini…” bisiknya, napasnya tercekat. Itu bukan pintu rumahnya. Itu pintu rumah Saloka—sahabat lamanya tiga abad silam.
Pintu itu terbuka lebar, dan arus cahaya menyeret tubuh Lanang masuk begitu saja. Dalam sekejap ia terseret kembali pada masa lalu, setidaknya begitulah harapannya.
Karena yang terjadi justru sebaliknya. Belum apa-apa, dia malah kembali lagi ke depan pintu yang tadi. Dan begitu terus-menerus, sampai ia lelah mencoba masuk.
Berakhir dengan selonjoran di depan pintu, tak bisa masuk ke dalam, juga tak bisa keluar dari alam itu untuk beberapa saat lamanya.
Berbeda dengan Lanang, Nasib Bryan jauh lebih mengerikan. Ingatan yang ia masuki bukanlah kenangan indah, melainkan serpihan masa lalu Lanang yang penuh luka. Pusaran itu menelannya bulat-bulat, menyeretnya ke gambaran absurd, ganjil, dan semakin lama berubah menjadi mimpi buruk.
Dalam sepersekian detik, dunia di sekeliling Bryan pecah berantakan, hancur berkeping-keping seperti kaca yang dilempar ke jurang. Ia tidak lagi duduk di ruang konferensi mewah. Ia bukan lagi Bryan yang ia kenal. Tubuh dan kesadarannya dipaksa menanggung sensasi yang bukan miliknya, sensasi kelam yang hanya dimiliki Lanang Jagad Segara.
.
.
—Flashback Mode On—
Bryan merasakan kehangatan matahari pagi menyentuh kulitnya. Udara segar bercampur dengan aroma tanah basah yang baru tersiram embun. Di hadapannya terbentang Pademangan Tirta Wisesa, tanah subur yang tampak bagaikan surga tersembunyi di jantung Jawa. Sawah-sawah menghijau, kabut tipis bergelayut di pematang, dan alunan gemericik sungai berpadu dengan nyanyian burung pagi.
Di tengah alun-alun berdiri megah pendopo Tumenggung Jagadarya, Bopo Agung yang dikenal sebagai pemimpin bijak. Ia dihormati sekaligus disayangi rakyatnya, sosok yang dianggap sebagai ayah bagi seluruh pademangan.
Bryan baru menyadari bahwa ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia sedang memandang dunia melalui mata seorang bocah, mata Lanang kecil. Dalam tubuh mungil itu, Bryan merasakan tawa polos yang begitu tulus, berlari di antara pematang sawah, mengejar capung, dan membantu para petani yang tengah menanam padi. Kebahagiaan sederhana itu terasa hangat, nyaris tanpa beban.
Namun, keindahan itu perlahan memudar. Warna hijau berganti menjadi jingga membara. Kabut pagi terbelah oleh kobaran api.
Ledakan meriam tiba-tiba mengguncang tanah, membuat langit bergetar. Tawa anak-anak seketika berubah menjadi jeritan panik. Asap hitam membumbung, menelan birunya langit.
"Kebakaran! Cepat Lari... Kita di serang!!!'
Dalam sekejap, Pademangan Tirta Wisesa yang semula gemah ripah loh jinawi menjelma menjadi lautan api.
VOC, dengan tuduhan makar yang kejam, membalasnya dengan pembantaian.
Bryan ikut merasakan degup jantung Lanang kecil, detak ketakutan murni yang menusuk hingga ke sumsum. Ia bersembunyi di balik lemari dengan tubuh mungil yang gemetar. Dari celah kayu, ia menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya nyaris berhenti.
Kakak perempuannya, Wening Sari, terjatuh di pelataran. Sebuah lubang merah menganga di dadanya, darah mengalir membasahi kain jarik yang ia kenakan. Matanya terbuka, menatap kosong, seakan masih mencari adiknya yang tersembunyi.
Bryan yang terjebak dalam ingatan Lanang merasakan keputusasaan itu seakan miliknya sendiri.
Lalu terdengar jeritan paling menyayat, jeritan yang tak mungkin dilupakan siapa pun yang mendengarnya.
“Biyung…!”
Lanang melihat ibunya, Ndoro Ayu Probowati, terperangkap di beranda rumah besar mereka. Rok panjangnya telah dilalap api, kobaran merah menjilat tubuh rapuhnya. Suara tangis dan panggilan terakhir itu terputus ketika atap rumah runtuh, menimbun tubuhnya dalam bara.
Pemandangan itu seakan merobek dunia. Rumah yang dahulu penuh tawa kini berubah menjadi kuburan api. Sungai yang tadinya jernih kini ternoda darah rakyat. Tubuh-tubuh bergelimpangan, jeritan bercampur dengan dentuman meriam serta derap sepatu tentara.
Di tengah kekacauan itu, sebuah tangan kasar meraih tubuh mungil Lanang.
Bopo Agung, Tumenggung Jagadarya, berdiri dengan wajah penuh debu, darah, dan air mata. Sorot matanya hancur, bukan karena luka fisik, melainkan karena pedih kehilangan segalanya.
“Lari, Lanang! Dengarkan aku! Hiduplah untuk membalas semua ini! Orang kulit putih itu harus diusir dari tanah kita! Jangan biarkan mereka menguasai Jawa!”
Kata-kata itu menggema keras, bagaikan sabda yang menggores jiwa. Dorongan terakhir seorang ayah bangsa diteriakkan dalam keputusasaan.
Lanang kecil dipanggul oleh para Triksandi, pengawal rahasia Tumenggung, dan diselundupkan keluar dari pademangan yang telah menjelma neraka.
Kegelapan menyambutnya. Kesadarannya perlahan memudar. Namun di balik kepedihan itu, hanya satu hal yang tertinggal di lubuk hatinya, sesuatu yang terus tumbuh, membara, dan menelan jiwanya hingga dewasa:
Sebuah dendam yang tidak pernah padam.
.
.
Lanang kecil tumbuh dengan luka yang tidak kunjung sembuh. Malam-malamnya selalu dipenuhi mimpi buruk; jeritan ibunya, wajah kakaknya Wening sebelum ajal menjemputnya, dan suara meriam yang menghancurkan Pademangan Tirta Wisesa.
Bryan merasakan semuanya seakan dirinya ikut terkunci dalam tubuh bocah itu. Ia bisa mendengar degup jantung kecil yang dipenuhi rasa takut, merasakan dinginnya pelukan hutan yang menjadi tempat persembunyian mereka. Para Triksandi, pengawal setia Bopo Agung, menuntun langkah Lanang jauh ke pedalaman, berusaha menghindarkan anak itu dari serdadu Belanda yang terus memburu.
Bryan tercekat ketika mendengar bisikan mereka pada malam hari.
“Anak ini… darah Jagadarya mengalir di tubuhnya. Ia pewaris dendam kita. Sudah saatnya ia ditempa,” ucap seorang Triksandi tua sambil menatap bocah yang tertidur dengan wajah dipenuhi keringat dingin.
Bryan ingin berteriak, ingin menghentikan percakapan itu. Ia masih anak kecil! Jangan bebankan dendam sebesar ini kepadanya! Namun mulutnya terkunci. Ia hanya bisa hanyut, terbawa arus ingatan yang bukan miliknya.
Dari sanalah perjalanan Lanang dimulai. Jalan asing dan berbahaya yang kelak akan mengubah segalanya.
.
.
Hari-hari berikutnya, Bryan menyaksikan tubuh Lanang dibawa menemui seorang guru tua. Sosok itu adalah seorang kiai yang dahulu dikenal sebagai resi, tetapi sudah lama meninggalkan jalan putih. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, matanya cekung, dan sorotnya tajam menembus jiwa.
Bryan merasakan tatapan itu seakan menusuk dirinya juga.
“Kalau kau ingin balas dendam, bocah,” suara guru tua itu serak dan menggetarkan, “kau harus menanggalkan dirimu yang lama. Tubuh hanyalah wadah. Yang berkuasa adalah sukma. Dan sukma hanya bisa ditempa lewat penderitaan.”
Kata-kata itu menggema, bukan hanya di telinga Lanang, tetapi juga di kepala Bryan. Ia nyaris tak mampu membedakan lagi mana dirinya dan mana Lanang.
.
.
Latihan panjang pun dimulai.
Bryan ikut merasakan lapar ketika tubuh bocah itu duduk bertapa di puncak bukit, berhari-hari tanpa makanan, hanya menelan embun dan asap dupa. Perutnya perih, kepalanya pening, namun di balik siksaan itu ada energi asing yang meresap. Bryan bisa merasakannya, gelombang kekuatan aneh yang dingin dan berbau busuk, seolah berasal dari tanah, udara, bahkan makhluk gaib yang bersemayam di hutan.
Puasa mati raga berikutnya jauh lebih mengerikan. Tubuh kecil Lanang dikubur hidup-hidup di dalam tanah. Bryan ikut merasakan sesaknya dada, detak jantung yang melemah, lalu… roh mereka terlepas. Bisikan-bisikan gaib terdengar samar, suara-suara asing yang memanggil, menuntun, sekaligus menjerat: mengajarkan dendam, mengajarkan cara mengikat energi hitam.
Puncaknya, Bryan dipaksa menyaksikan Lanang diajari ilmu santet. Dari yang sederhana, seperti menusuk boneka jerami dengan jarum untuk mencelakai musuh tanpa menyentuhnya, hingga ke tingkat paling kejam: Pring Sedapur, kutukan yang mampu melompat hingga tujuh turunan.
Bryan ingin muntah, ingin melepaskan diri. Namun ia terjebak di dalamnya, merasakan semua itu seakan darahnya sendiri yang menanggung sumpah kutukan tersebut.
Setiap langkah membawa Lanang semakin jauh meninggalkan masa kecilnya. Dan Bryan, sebagai saksi dalam tubuh itu, ikut memahami bagaimana luka yang dalam perlahan berubah menjadi api dendam. Bocah polos dari Pademangan Tirta Wisesa kini bukan lagi seorang anak. Ia sedang ditempa menjadi wadah kegelapan, murid kesayangan guru tua yang berlumur ilmu hitam.
***
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya