NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Perjalanan di dalam mobil berlangsung hening beberapa menit. Suara wiper mengusir sisa hujan di kaca depan. Andrew sesekali melirik, melihat Nindya memeluk tasnya erat, wajahnya tertunduk.

“Rumahmu jauh dari sini?” Andrew akhirnya membuka percakapan.

“Tidak terlalu di kawasan Batu Aji,” jawab Nindya singkat.

Andrew mengangguk. Ia tahu kawasan itu kawasan industry shipyard karena kantornya juga berada di daerah itu Tanjung Uncang tepatnya.

“Kamu selalu pulang larut begini?”

“Kalau shift malam, iya.” Nindya tersenyum hambar.

“Tapi sudah biasa Batam relative aman kok.”

Kata-kata itu membuat Andrew menoleh cepat.

“Anak?”

Nindya menoleh

“Ada perempuan usianya baru tiga tahun.”

Andrew bersandar kembali ke kursi. Ada sesuatu di nada suara Nindya yang berbeda ketika ia menyebut anaknya—lembut, tulus, tanpa lapisan. Andrew merasakan sesuatu menusuk di dadanya.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat putih Nindya buru-buru membuka pintu. “Terima kasih sudah mengantar, maaf merepotkan.”

Andrew menahannya sebentar.

“Tidak merepotkan lain kali, kalau butuh tumpangan, jangan sungkan.”

Nindya hanya mengangguk cepat, lalu turun. Andrew memperhatikan punggungnya yang hilang di bawah bayangan jalan da rasa aneh yang sulit ia jelaskan—campuran simpati, ketertarikan, dan sesuatu yang nyaris seperti kelegaan.

Di rumah, setelah berganti pakaian kering, Nindya menatap anaknya yang sudah terlelap. Malam itu ia tidak bisa langsung tidur. Wajah Andrew di balik kaca mobil terus muncul di benaknya.

Ia tahu pria itu berbahaya ,terlalu banyak tanda tanya di belakangnya. Tapi anehnya, ia merasa ada sepotong dunia yang lebih ringan ketika berada di dekatnya.

Andrew sendiri kembali ke kamar hotelnya, duduk lama di sofa sambil menatap jendela yang masih basah oleh hujan. Ia menyalakan ponselnya, melihat pesan Michelle yang belum ia balas, lalu mematikan lagi.

Malam ini, ia hanya ingin mengingat perempuan yang duduk di kursi samping mobilnya. Perempuan berwajah ayu yang bahkan dalam kesederhanaannya, mampu membuatnya merasa… pulang.

Sejak malam hujan itu, ada sesuatu yang berubah. Nindya sendiri tak pernah menyebut-nyebut soal tumpangan itu, seolah peristiwa kecil yang tak penting. Tapi setiap kali ia melihat Andrew melintas di lobi, ada rasa canggung singkat yang muncul—dan Andrew tampaknya menyadarinya.

Andrew, seperti biasa, tetap dengan wajah ramahnya. Bedanya, kini ia sering menambahkan kalimat-kalimat kecil yang tak lagi sekadar basa-basi.

“Bagaimana anakmu? sudah sekolah?” tanyanya suatu pagi, tepat setelah ia menyerahkan kunci kamar untuk dibersihkan.

Pertanyaan itu membuat Nindya menoleh cepat. Ia teringat, memang sempat menyebut tentang anaknya saat di dalam mobil. Tapi mendengar Andrew mengingat detail itu membuatnya tak nyaman sekaligus… entah kenapa, tersentuh.

“Anak saya baik , belum karema regulasi disini mengahruskan minimal usia 4 tahun untuk masuk tk,” jawab Nindya singkat, lalu buru-buru kembali menatap layar komputer.

"Tk?." Ulang Amdrew dengan kening berkerut.

""Maaf kindergaten." Ralat Nindya buru buru

Andrew hanya mengangguk, tidak menekan lebih jauh.

Hari berikutnya, Andrew kembali memperpanjang masa tinggalnya. Kali ini tanpa alasan panjang.

“Proyek di Batam sedikit molor sepertinya saya akan lebih lama menginap di sini, Nindya.”

Nindya mengetik cepat di layar komputer, pura-pura sibuk.

“Baik, Pak. Akan saya proses.”

Andrew mencondongkan tubuh sedikit. “Kalau kamu bosan melihat wajah saya di meja ini, bilang saja saya bisa pindah hotel.” Canda Andrew

Nindya terkekeh singkat, lalu buru-buru menutup senyumnya.

“Waduh bisa repot kalau Bapak pindah, bisa kena Sp saya."

Andrew menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil.

“Bercanda saya suka tinggal di hotel ini.”

Malam lain, setelah shift selesai, Nindya menemukan Andrew duduk sendirian di lounge dengan laptop terbuka. Biasanya ia hanya lewat begitu saja, tapi kali ini Andrew menegurnya.

“Nindya, kamu sudah selesai kerja?”

Nindya berhenti sejenak, menimbang.

“Ya, Pak. Saya mau pulang.”

Andrew menutup laptopnya.

“Kamu sudah makan?”

Pertanyaan itu membuat Nindya menghela napas.

“Sudah, Pak.” Ia tahu, jawaban singkat itu adalah benteng terakhir. Ia tidak bisa terlalu akrab, apalagi di depan tamu lain yang mungkin memperhatikan.

Andrew tidak memaksa. Ia hanya mengangguk, lalu kembali membuka laptop. Tapi ketika Nindya berjalan menjauh, ia bisa merasakan tatapan itu masih mengikutinya.

Di rumah, Nindya duduk termenung. Andrew bukan tipe tamu biasa. Ia tidak sekadar mencari pelayanan; ia mencari percakapan, perhatian. Dan entah bagaimana, ia membuat Nindya merasa dilihat sebagai manusia, bukan sekadar staf hotel.

Namun ia juga tahu, kedekatan macam ini bisa berbuntut panjang. Ia pernah terluka karena lelaki yang salah. Ia tidak ingin jatuh ke lubang yang sama.

Tapi mengapa setiap kali Andrew menyapanya, ada bagian kecil dari dirinya yang tak bisa menolak untuk mendengarkan?

Pagi itu, baru saja Nindya menggantungkan tas di loker staf, seorang supervisor datang menghampiri.

“Nindya, tolong ikut saya ke ruangan HR.”

Nada suaranya datar, tapi cukup membuat jantung Nindya berdebar. Ia mencoba mengingat, adakah kesalahan administratif? Laporan keuangan? Check-in yang bermasalah?

Di ruang HR, dua atasan sudah duduk menunggunya. Salah satunya membuka percakapan tanpa basa-basi.

“Nindya, ada laporan Katanya kamu terlalu akrab dengan salah satu tamu long-stay, Mr. Andrew.”

Nindya tertegun.

“Terlalu akrab, Pak?, apa yang saya lakukan masih profesional.”

Supervisor menghela napas.

“Kami paham, pekerjaan di resepsionis memang menuntut keramahan. Tapi ada batasnya. Beberapa staf lain merasa interaksi kamu dengan tamu itu melewati batas profesional."

" Dan ada tamu lain yang juga menanyakan kenapa Mr. Andrew selalu dilayani olehmu, bukan staf lain.”

Rasa panas menjalar ke wajah Nindya.

“Saya hanya menjalankan tugas seperti biasa. Kebetulan beliau sering meminta bantuan langsung ke saya.”

“Ya, tapi persepsi itu penting,” kata supervisor yang lain.

“Di industri ini, persepsi bisa menimbulkan gosip. Dan gosip bisa merusak reputasi hotel. Jadi, tolong jaga jarak layani secukupnya saja.”

Nindya menunduk, menahan napas berat. “Baik, Pak.”

Keluar dari ruangan itu, ia merasa kepalanya penuh. Teguran itu menusuk karena ia tahu sebagian benar, sebagian tidak adil.

Ia memang menjaga profesionalitas, tapi Andrew sering memilih untuk mendekat. Dan rekan kerja yang melaporkan—siapa lagi kalau bukan orang yang iri atau ingin menjatuhkan?

Saat siang berganti sore, Andrew datang lagi ke meja resepsionis.

“Nindya, bisa bantu cek—”

Belum selesai kalimatnya, Nindya langsung memotong.

“Silakan sampaikan ke rekan saya, Pak mereka bisa membantu.”

Andrew berhenti, jelas terkejut. Ia menatap Nindya sebentar, lalu mengangguk.

“Baik.”

Ia beralih ke staf lain, tapi tatapannya sempat kembali singgah ke arah Nindya. Ada tanda tanya di matanya.

Malamnya, setelah shift selesai, Nindya keluar lebih cepat dari biasanya. Namun Andrew sudah menunggu di lounge.

“Ada apa sebenarnya?” tanyanya, nada suaranya rendah tapi serius.

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!