Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sofia Putri hampir lupa dunia masih berputar malam itu kepalanya masih pusing, tubuhnya limbung. Di tengah dentuman musik dan lampu gemerlap, matanya terpaku pada sosok pria asing itu.
Seperti ngengat yang tertarik ke api, ia tak bisa mengalihkan pandangan, bahkan jika mau.
Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?
Sofia melihat pria itu berbisik pada beberapa orang di sekitarnya. Seketika mereka bubar, menghilang seperti bara api yang padam. Rose dan yang lain masih sibuk menari, namun Sofia merasakan sesuatu yang janggal. Udara di sekelilingnya tiba-tiba tegang, terlalu kental untuk dihirup dengan tenang.
Bagaikan seorang psikopat yang mengamati mangsa, ia memperhatikan gerak-gerik pria itu—Akmal. Pandangannya kemudian mengikuti arah mata Akmal yang ternyata tertuju pada Kenith, yang berdiri bersandar di pagar tangga lantai atas.
Wajah Kenith berubah seketika saat melihat Akmal. Sementara itu, Akmal berpaling, seolah tak ingin terlihat.
Naluri tajam Sofia kembali berbisik, sama seperti hari itu di kafe. Ada sesuatu yang gelap dan berbahaya dalam diri pria ini. Ia yakin Akmal bukan orang biasa—mungkin penjahat, mungkin lebih buruk lagi. Harusnya ia menjauh... atau justru mendekat?
Sofia berbalik, hatinya berdegup. Mungkin ini kesempatan yang selama ini ia nantikan. Ia ragu Ruth benar-benar mengirim bantuan, dan kalaupun iya, bisa jadi bantuan itu tak pernah datang. Ia tidak bisa hanya duduk diam menunggu. Malam ini ia harus menciptakan jalannya sendiri.
Berbahaya? Jelas. Tapi lebih baik mati di tangan pria asing yang penuh misteri ketimbang terjebak dalam pernikahan sengsara tanpa kebebasan.
“Aku nggak kuat lagi, aku harus coba,” gumamnya.
Chelsea yang menari di sebelahnya menoleh. “Sofia, kamu mau ke mana?”
“Ngobrol sama orang asing yang seksi,” jawab Sofia sambil mengedip nakal.
Chelsea sempat melongo, lalu senyumnya berubah jadi seringai jahil. Ia mengangkat bahu dan kembali ke tarian.
Sofia, di sisi lain, menahan rasa bersalah. Ia tahu, cepat atau lambat gadis-gadis itu akan disiksa karena kehilangan dirinya—kalau ia berhasil kabur. Ia hanya bisa berdoa agar mereka cukup berharga bagi Big Joe sehingga tidak dibunuh.
Sepupunya, Claudia? Ia bahkan tak peduli. Claudia lebih baik tidur saja di atas ranjang yang ia rapikan sendiri.
Sofia melangkah mendekati Akmal. Jantungnya berdebar keras, nafasnya terasa pendek. Rasanya seperti mobil yang melaju kencang menabrak tembok—menghantamnya hingga hampir kehilangan napas.
Bagaimana mungkin seseorang bisa setampan itu?
Mata abu-abunya menembus pandangannya, seakan melihat sampai ke dasar jiwanya. Bukan cuma wajahnya, tapi auranya yang gelap—memikat sekaligus berbahaya, bagai racun yang justru terasa manis.
Tatapan mereka bertemu. Sejenak, kepercayaan diri Sofia hampir runtuh. Tapi ketika melihat wajah Kenith yang tampak panik, ia justru semakin berani. Kenith mulai menuruni tangga dengan tergesa.
Oh, sial.
Sofia mempercepat langkahnya. Ini bukan saatnya bermain-main dengan pesona pria itu. Nyawanya taruhannya, dan anehnya, Akmal tidak bergerak. Ia malah memperhatikan Sofia dengan ekspresi geli.
Bagi Akmal, pemandangan ini seperti hadiah dari langit. Gadis yang selama ini ia incar justru datang sendiri kepadanya. Mangsa yang rela menyerahkan diri ke pelukan predator.
Sofia berhenti tepat di depannya. Akmal memiringkan kepala, menantang, seakan menunggu Sofia bicara lebih dulu. Tapi yang mengejutkannya, Sofia tiba-tiba menariknya mendekat dan memeluknya.
Akmal sontak menegang, refleks hampir menyerang balik. Tangannya sempat terangkat, mengira si rambut merah ini hendak menikam. Tapi alih-alih serangan, Sofia hanya memeluk erat tubuhnya.
Apa-apaan gadis ini? Apa dia tidak tahu orang yang berani menyentuhnya biasanya berakhir mati? Atau jangan-jangan Sofia memang pembunuh yang dikirim untuk menjebaknya?
Namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, suara lirih Sofia berbisik di telinganya,
“Kamu nggak tersedak kopi waktu itu, kan?”
Akmal hampir tertawa. Jadi dia masih mengingatnya? Tapi saat ia hendak menjawab, Sofia sudah melepas pelukannya dan lenyap di tengah kerumunan.
Akmal berbalik, namun yang tersisa hanya tubuh-tubuh menari, tak ada jejak si rambut merah.
“Dia sudah dekat. Periksa semua pintu keluar,” ucap Akmal datar lewat interkom.
Tak lama, Kenith muncul, berusaha menerobos kerumunan. Namun langkahnya langsung terhalang Akmal.
Kenith memandang tajam, menyadari pria ini adalah orang yang tadi dipeluk Sofia. Wajahnya terasa familiar, tapi ia tak ingat di mana pernah melihatnya. Tetap saja, menemukan Sofia lebih penting. Ia mencoba mendorong tubuh Akmal, namun pria itu tidak bergeming.
“Apa maumu?!” Kenith melotot.
Akmal tak menjawab. Fokusnya justru pada sakunya yang tiba-tiba terasa kosong. Ia segera merogoh celana—kosong.
Dompetnya hilang.
Amarah seketika menyala di wajahnya. Ia hampir menuduh Kenith, tapi cepat sadar. Bukan Kenith. Seseorang mencurinya saat ia dipeluk tadi.
Si rambut merah itu.
Rahang Akmal mengeras, alisnya berkerut.
Tunggu saja. Sampai ia berhasil menangkap pencuri kecil itu.