"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 | PSST!
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Cuaca pagi ini teramat cerah, terang-benderang menyilaukan mata. Bahkan, panas sinarnya bagai mengikis kulit. Sepertinya matahari sedang berbahagia, atau mungkin sedang marah.
Atau … aku saja yang kesiangan.
Hari ini aku terlambat bangun. Semua ini gara-gara insomnia dadakan yang melandaku semalam, mengacak jam tidurku, hingga aku berakhir dengan situasi seperti ini.
Kata mama, aku susah sekali dibangunkan sejak pagi buta, sekali pun sudah diguncang dan diporak-porandakan kasurnya. Tentu aku hanya merespon dengan cengiran rasa bersalah mendengar omelan mama.
Bukan hanya itu, keterlambatanku ikut mempengaruhi jadwal kerja papa.
Akibat kesiangan, papa jadi harus mengantarku lebih dulu sebelum beliau berangkat ke kantornya, padahal biasanya aku berjalan kaki. Semua ini demi mencegah aku semakin terlambat ke sekolah.
Benar saja, sesampainya di sekolah, aku bertemu banyak teman seangkatanku yang sudah langganan terlambat. Aku lekas berpamitan pada papa dan turun dari mobil, mempercepat langkahku memasuki area sekolah.
Tidak rela aku, jika harus terkunci di luar gerbang dan disatukan dengan murid-murid yang akan dijatuhkan hukuman atas keterlambatannya. Aku tidak mau memecah rekor buruk!
Semakin lama, kakiku yang semula hanya mengambil langkah cepat, kini melangkah lebih lebar, hingga akhirnya aku berlari menuju kelasku bersamaan dengan sahabatku, bel sekolah, yang berbunyi keras menyoraki keterlambatanku.
Sial! Aku harus cepat, sebelum guru kelasku masuk.
Brak!
Terlalu panik, aku sampai tak sengaja membanting pintu kelas dengan keras. Napasku juga sekarang tersengal-sengal, ngos-ngosan menyuplai paru-paruku yang haus akan udara.
Tenang saja, belum ada guru, sehingga keributan yang kusebabkan ini tak membuatku dalam masalah, kecuali memberi serangan jantung dadakan pada beberapa teman kelasku yang tak ada persiapan.
Masih berpegangan pada knop pintu sampai kurasa pernapasanku kembali teratur, suara derap langkah sepatu menyusul indra pendengaranku.
Kepalaku refleks mengintip keluar pintu, dan dengan cepat aku berjalan menuju bangkuku saat kulihat guru yang akan mengajar di kelasku pagi ini – mengabaikan kakiku yang gemetaran belum sempat kembali stabil.
Setelah duduk dan melepaskan tas yang tersampir di bahu, tanganku bergerak mengusap-usap lututku yang lemas. Maafkan aku, wahai kedua kakiku sayang, aku malah membuat kalian bekerja keras setelah entah berapa minggu malas membawa kalian olahraga.
Sepertinya ini teguran untukku, agar kembali pada rutinitas jalan sore yang sudah lama kuabaikan.
Cklek.
Pintu kelas yang baru kutinggalkan beberapa detik yang lalu itu, kini kembali terbuka dengan sosok guru yang sudah kuketahui kedatangannya tadi.
Beliau mengedarkan pandangan seperti mengabsen kami dengan kedua mata kecilnya yang dihalangi kacamata, kemudian beliau meletakkan tas laptopnya di atas meja guru, dan mengedarkan map absensi.
“Sekretaris kelas, silahkan diabsen. Dan ketua kelas, bantu Ibu menyalakan proyektor.”
Dan begitu lah kejadian yang kualami pagi ini.
Sekarang jam pelajaran fisika, jadi mejaku lebih sibuk dari biasanya. Dihampiri beberapa temanku yang meminta bantuan, atau yang sekadar membandingkan rumusnya dengan rumusku, dan yang hanya ingin memastikan jika jawabannya sama dengan milikku.
Sempat juga salah satu teman kelasku menanyakan hal di luar materi, bahkan di luar pelajaran. Pertanyaan sekadar basa-basi saja, sih. Seperti, “tumben hari ini kamu telat datang, Nat. Kesiangan, ya?” yang akan kutanggapi dengan balasan santai pula, diselingi bumbu manis khas seorang Natarin.
∞
Jam istirahat hari ini kuhabiskan dengan bergabung bersama teman angkatan yang lain, di salah satu meja kantin yang agak lebih panjang dari meja lainnya. Ada Kinat juga di situ.
Kami bercengkrama seadanya, dengan aku yang sesekali menyahut dan merespon. Selebihnya aku hanya mendengar cerita mereka bergantian dan manggut-manggut memberi reaksi.
Hari ini Klara tak datang ke sekolah, dia mengalami kejadian yang serupa denganku, tapi lebih parah. Dia jauh lebih kesiangan daripada aku, sampai-sampai baru terbangun di jam sepuluh pagi, di mana itu sudah masuk jam istirahat sekolah. Aku baru tahu kabar itu setelah membaca pesan darinya selagi berjalan menuju kantin tadi.
Dia sering ditinggal keluar kota oleh kedua orang tuanya, termasuk hari ini. Jadi, dia memang harus bangun pagi sendiri, dan berangkat sekolah sendiri. Pulang pun sendiri.
Lalu, mengenai Cika, tentu saja dia akan selalu berada di dekat Bian di setiap kesempatan. Itu bukan keinginannya Cika, melainkan permintaan Bian. Meski kami masih di satu tempat, di kantin, aku dan Cika akan terpisah meja.
Yah, seperti yang sudah kalian ketahui, Bian tentu khawatir dan ingin berperan sebagai ksatria berkuda bagi seorang Cika. Kurasa, dia juga masih merasa bersalah pada Cika yang sempat dijadikan korban penindasan oleh sebagian besar penggemar gila Bian – juga Nero, dan Zofan. Memang tak waras.
Ting!
Bunyi pesan masuk terdengar dari ponsel yang kutaruh di atas meja. Nama pengirimnya tercantum jelas di layar ponselku yang gelap, lalu perlahan notifikasi itu meredup dan hilang.
Kubiarkan saja dulu, aku masih asik bercanda dengan teman-temanku. Sesekali tanganku mencomot cemilan yang sudah kubeli sebelumnya.
“Psst.”
Keningku berkerut mendengar desisan samar yang mengganggu pendengaran, apa ada nyamuk yang mengerubungiku? Aku kesal sekali dengan dengung suara nyamuk yang entah di mana keberadaannya.
Kepalaku bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari jejak serangga kecil itu.
“Psst!”
Merasa sumbernya berasal dari balik tubuhku, dengan cepat aku memutar posisi duduk. Bukannya melihat serangga menyebalkan, aku malah melihat manusia yang semalam membuatku naik darah. Orang yang sama dengan yang kulihat namanya di layar ponselku tadi – duduk tepat di belakangku.
Punggung kami saling berhadapan, dan posisinya sekarang serupa dengan posisiku, sehingga kami langsung bertemu pandang saat aku berbalik. Kepalanya melongok, kemudian kudengar lagi,* “psst!” *yang mana itu berasal dari mulut berisiknya.
Haduh. Mulai lagi pertikaian tak berujung ini.
“Pss—"
Satu tanganku bergerak sigap membekap mulut remix bocah di seberangku, “sudah cukup. Telingaku sakit mendengar ‘psst psst’ bisingmu itu.”
Sekalian melampiaskan kekesalanku, kutekan saja jempol dan jari tengahku pada pipinya hingga menciptakan cicitan mengaduh dari sela bibirnya yang sekarang mengerucut paksa.
“Uduh, uduh, burhuntu munyuksuku!” Racauan tak jelas itu keluar dari gerak mulutnya yang terbatas.
Sedikit merasa puas, baru lah kuturunkan tanganku, yang langsung diserobot protesan dari mulut Zofan yang baru bebas itu, “berhenti menyiksaku!”
Ah, ternyata itu yang dia bilang tadi.
Kugedikkan bahuku tanda tak menyesal, tak peduli, dan tak akan mengabulkan permintaannya.
“Kenapa kau tak membalas pesanku, Nata?!”
Tak menghiraukan pertanyaannya, pandanganku beredar menyapu keadaan setempat, mengundang tautan tajam dari kedua alisku. “Sora tak bersamamu?” bisikku pada Zofan.
Zofan mendecak-decakkan lidahnya, sambil jari telunjuknya terangkat dengan gerakan ke kanan dan ke kiri, seirama kepalanya, “dia punya urusannya sendiri, mana mungkin selalu bersamaku.”
“Tapi Bian dan Nero selalu bersamamu,” balasku, membuat mata Zofan berputar amatiran.
“Mereka berbeda dengan Sora, oke? Sora ini … memang lain.” Zofan membantah seakan paling tahu Sora.
“Ck, ya sudah.”
...
Bersambung