Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Bermain-main sama dengan bunuh diri. Maura tahu itu dengan sangat jelas. Oleh karena itu, matanya tidak bisa tertutup hingga matahari terbit.
Tubuhnya letih, lengket, dan penuh rasa jijik akibat perbuatan bejat penyusup semalam. Marvel baru melepaskannya saat ayam berkokok, meninggalkannya dengan ucapan dingin yang terus terngiang di telinganya.
"Istirahatlah, saya akan menjemputmu besok pagi. Jangan coba-coba lari atau saya akan mengejarmu hingga ke neraka dan menghukummu lebih berat dari yang kamu bayangkan. Jadilah baik dan penurut agar semuanya tidak semakin rumit."
Kalimat panjang itu seperti sihir dan kutukan.
"Argh, sial!" Maura berdecak keras seraya menggigit selimut yang menutupi tubuh polosnya.
Ingatannya kembali pada kejadian semalam ketika ayahnya sempat mengetuk pintu kamar, nyali Maura menciut untuk menemuinya. Marvel sama sekali tidak mengijinkan membuka pintu atau sekadar menjawab. Pria itu justru semakin menggila, membuatnya mendesah tertahan sambil terus melontarkan kata-kata kotor yang membuatnya ingin lenyap dari dunia.
Matanya lalu menangkap ponsel yang tergeletak di atas nakas. Marvel sengaja meninggalkan ponsel itu untuk dirinya dengan berbagai ancaman yang harus ia patuhi. Ia meraih ponsel itu, lalu mendecih sinis begitu melihat wallpaper sedangkan wajahnya sudah merah karena amarah.
Bagaimana bisa pria itu memasang foto tanpa busananya, sedangkan ada banyak foto lain yang lebih layak?!
“Dasar mesum!” rutuknya. Cepat-cepat ia mengganti wallpaper itu dengan foto wajahnya sendiri. Baru saja senyum tipis terbit, matanya langsung melotot saat melihat jam di layar sudah menunjuk angka tujuh.
Dengan panik ia turun dari ranjang, memakai kembali baju tidur yang berserakan, lalu keluar dari kamar. Ia terkejut mendapati koper di ruang tamu sudah tidak ada. Ia langsung berjalan cepat ke kamar ayahnya, tetapi kosong. Dapur, kamar mandi, halaman belakang juga kosong.
“Ayah!” pekiknya panik, berlari dari satu ruangan ke ruangan lain, namun sosok itu tak juga ia temukan.
Pikirannya langsung kacau. Apa mungkin ayahnya sengaja meninggalkannya? Membawa kabur semua uangnya?
“Tidak … Ayah bukan orang seperti itu …” gumamnya dengan kepala menggeleng cepat. Menurutnya Hadi bukan orang yang seperti itu, dia sangat baik dan penyayang. Bahkan tidak pernah marah walau ia melakukan banyak kesalahan.
Maura terduduk lemas di ruang tamu dengan mata berembun.
“Ayah juga akan meninggalkanku… seperti Ibu?” suaranya nyaris tak terdengar.
Ingatan masa kecil kembali menyesak. Dulu, ia percaya ketika orang-orang berkata ibunya sudah meninggal. Ia mempertahankan keyakinan itu sampai dewasa, hanya karena tidak sanggup menerima kenyataan bahwa ibunya memilih pria lain dan meninggalkan mereka.
Belum sempat air matanya kering, sosok Marvel sudah muncul di ambang pintu. Tubuhnya tegak, tatapannya tajam, satu tangannya terselip di saku celana.
“Ada apa?” tanyanya datar.
Maura buru-buru mengusap pipinya. “Tidak ada apa-apa.”
Marvel mengangkat dagu angkuh. “Ayahmu, ya?”
"Tidak ada apa-apa." Maura membuang wajah ke arah lain.
"Ayahmu?" tebak Marvel, kemudian menegakkan tubuh dengan dagu terangkat angkuh. Maura yang tertarik dengan topik itu pun kembali menatapnya.
"Saat saya keluar dari kamarmu saya tidak sengaja melihatnya. Dia tampak ketakutan, lalu saya menyuruhnya untuk pergi saat itu juga. Kamu tenang saja karena saya memberikan banyak uang pesangon, sebagai gantinya kamu tidak akan ikut dengannya."
"Apa!" Rahang Maura nyaris jatuh ke lantai karena terkejut. Ia berdiri dan menghampiri pria itu dengan wajah merah karena amarah. “Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan? Jangan mentang-mentang punya uang, lalu seenaknya mempermainkan hidup orang lain!”
Maura mendesah frustasi. Sekarang ia tidak tahu ayahnya ke mana, dan yang terpenting uang-uangnya—semua uang dan perhiasan mahal itu ada di dalam koper yang dibawa ayahnya.
Marvel menarik pinggang Maura mendekat, tangan kanannya mengangkat dagu wanita itu agar menatapnya. "Kenapa semarah itu, hem? Ada yang kalian sembunyikan?" tanyanya dengan nada tenang, tetapi tidak lantas membuat Maura berada dalam posisi yang aman
"Memangnya apa? Tidak ada!" elak Maura menatapnya nyalang. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu manusia seperti apa dirimu? Kamu pasti mengatakan sesuatu pada ayahku, kan?"
"Sesuatu seperti apa?" Kening Marvel mengerut, pura-pura tidak tahu. "Seperti, 'pergilah sendiri, Maura kelelahan karena menahan teriakan sepanjang malam' begitu?"
Pipi Maura langsung memanas. Ia membuang wajah, menahan perasaan malu sekaligus marah.
"Bukan seperti itu?" Marvel kembali bersuara, menekannya dengan suara lembut, tetapi mematikan.
Maura melirik pria itu sekilas, laku menghela napas kasar. "Lepas! Lepas!" Ia meronta dalam kendali Marvel, enggan menjawab pertanyaan yang mengejek harga dirinya itu.
Tawa rendah lolos dari bibir pria itu. Ia akhirnya melepaskan Maura, seakan memberi kesempatan bernapas. “Sebaiknya kamu mandi dulu. Setelah itu, kita ke kantor.” Pandangannya sempat melirik jam tangan, lalu kembali menatapnya dingin.
Maura mendengus. “Aku sudah mengundurkan diri, kalau kamu lupa!”
Marvel terdiam sejenak, lalu menyunggingkan senyum samar yang membuat bulu kuduk Maura meremang. “Sayang, kamu pikir saya akan membiarkanmu benar-benar pergi begitu saja?”
Maura menegang mendengar kalimat itu. Hatinya langsung berdesir tak nyaman, walau sebenarnya tahu tidak akan mudah melarikan diri dari pria itu. “Apa maksudmu?”
Marvel melangkah mendekat, jaraknya kini hanya beberapa senti darinya. Tatapannya menusuk, senyum samar itu membuat Maura merasa seolah tak ada ruang untuk bersembunyi. “Maksudku, pengunduran diri itu tidak berlaku. Kamu tetap ikut denganku, ke kantor. Hari ini.”
Maura mendengus sinis. “Aku tidak mau! Aku bukan boneka yang bisa diatur sesuka hati!"
Marvel tertawa kecil, gelap dan menekan. “Sayang, sejak semalam kamu sudah membuktikan sendiri siapa yang berkuasa di antara kita. Jadi berhenti menguji kesabaranku, bersikaplah baik dan jangan membantah.”
“Tidak akan!” Maura menegakkan tubuh, suaranya bergetar tapi matanya menantang. “Aku tidak mau ikut ke kantor!"
Alih-alih marah, Marvel justru meraih lengannya dengan kuat. Genggamannya keras, seperti borgol yang menjerat. “Sayang, jangan menguji kesabaranku dan membuatku marah. Atau, kamu sengaja bersikap seperti ini karena menginginkan hukuman? Kamu menginginkan hukuman yang lebih berat dari apa yang kulakukan semalam, hem?"
Maura terperangah. “Gila! Kamu benar-benar gila!” Ia berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Marvel semakin menguat.
Tanpa banyak bicara lagi, pria itu menariknya kasar menuju kamar. “Kamu punya waktu lima belas menit. Mandi, berdandan, lalu berpakaian rapi. Saya tidak peduli kamu mau menangis atau berteriak. Jika kamu tidak keluar tepat waktu, saya sendiri yang akan memandikanmu.”
Tubuh Maura membeku. Wajahnya memanas, bukan hanya karena malu, tetapi juga marah bercampur takut. “Berengsek .…” bisiknya lirih.
Marvel menyeringai, lalu melepaskan lengannya dengan dorongan kecil. “Cepat. Saya tunggu di mobil.”