Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Awal Pertempuran
Rui menunggu hingga prajurit Sayap Hitam pergi, meninggalkan pria itu sendirian di lorong. Dengan langkah senyap, ia bergerak dari bayangan, jarum tipis sudah diselipkan di sela jarinya.
Pria itu baru saja hendak berbalik ketika lehernya terkunci oleh lengan Rui, jarum menempel tepat di titik vital.
“Jangan bergerak,” bisik Rui, suaranya dingin. “Sekali kau berteriak, kau akan mati tanpa sempat berdoa.”
Pria itu terperangah, matanya melotot. “Siapa kau—”
“Diam.” Rui menekan jarumnya sedikit.
Pria itu menggigil, lalu menurunkan tangannya perlahan.
“Siapa yang mengirimmu?” tanya Rui, meski ia sudah tahu jawabannya.
“…Menteri Liang De,” bisiknya ketakutan. “Aku hanya menjalankan perintah. Aku tak punya pilihan. Jika gagal… keluargaku akan—”
“Cukup.” Rui mendorongnya ke dinding batu, lalu dengan cepat melilitkan tali tipis yang ia sembunyikan di dalam pakaian. Tali itu bukan tali biasa, melainkan buatan khusus dari benang besi yang lentur namun kuat.
Dalam sekejap, pria itu terikat rapat. Mulutnya disumpal kain agar tak bisa berteriak.
“Jadi kau yang dikirim untuk memastikan aku mati,” bisik Rui, tatapannya menusuk. “Kau akan hidup… tapi hanya untuk menjadi bukti.”
Ia menyeret pria itu diam-diam menuju lorong tersembunyi di gua, ruang kecil bekas tambang yang sudah lama ditinggalkan. Di sana ia menguncinya, menutup pintu dengan batu besar.
“Tidurlah dalam kegelapan, utusan Liang De. Saat waktunya tiba, kau akan bicara di hadapan Kaisar sendiri.”
---
Setelah memastikan semuanya aman, Rui kembali ke barisan seolah tak terjadi apa-apa. Mo Xian yang berdiri di atas batu besar memimpin pasukannya berteriak lantang:
“Malam ini, kita akan menunjukkan pada dunia bahwa Sayap Hitam bukan sekadar bayangan! Kita akan menyerang garnisun Kaisar! Rakyat akan melihat bahwa bahkan pasukan istana pun tak mampu melawan kita!”
Sorakan membahana, sayap-sayap hitam mengepak keras. Rui berdiri tegak, menyembunyikan senyum samar. “Bagus. Semakin besar ambisimu, semakin besar pula kejatuhanmu.”
---
Sementara itu, di istana kegelapan, suasana tegang. Wang Tian Ze duduk di singgasananya, namun aura hitam di sekeliling tubuhnya bergetar liar. Lantai marmer retak halus, udara bergetar setiap kali ia menarik napas.
Jun Hao berlutut. “Yang Mulia… Permaisuri belum kembali. Jika pasukan Sayap Hitam benar-benar bergerak menyerang garnisun, itu berarti dia ada di tengah mereka sekarang.”
Lan Mei ikut menunduk. “Kalau benar begitu, permaisuri sedang menyiapkan sesuatu. Beliau pasti punya rencana.”
Namun, Kaisar hanya mengepalkan tangan, wajahnya dingin. “Jika dalam tiga hari dia tidak kembali, aku akan hancurkan gua itu dengan tanganku sendiri.”
Semua pejabat terdiam. Hanya Liang De yang berdiri di barisan belakang, berusaha menyembunyikan rasa puasnya. Namun ia tak tahu, jarum jam pengkhianatannya sudah mulai berdetak.
---
Pasukan Sayap Hitam bergerak dalam gelap. Langkah-langkah mereka senyap, sayap-sayap besar itu menutup cahaya bulan. Rui ikut berjalan di tengah barisan, memperhatikan setiap detail.
Sesampainya di garnisun kecil perbatasan, api dilemparkan, dinding kayu terbakar. Prajurit istana kaget, suara terompet peringatan terdengar.
“Serang!” teriak Mo Xian. Pertempuran pun pecah.
Rui berpura-pura ikut bergerak, namun sebenarnya ia mengarahkan tawanan desa untuk kabur melalui celah yang ia buka sebelumnya. Jarum-jarum kecil melayang dari tangannya, menjatuhkan beberapa prajurit Sayap Hitam tanpa diketahui.
Namun, matanya terus mengawasi satu hal: ia harus membuat momen yang cukup besar, agar Kaisar sendiri turun tangan.
--
Di istana, Wang Tian Ze tiba-tiba berdiri. “Cukup. Aku akan turun tangan.”
Jun Hao terbelalak. “Yang Mulia—”
“Diam. Aku sudah memberi waktunya. Jika dia ingin bermain api, aku akan menunjukkan seperti apa api neraka sesungguhnya.”
Aura kegelapan menyembur dari tubuh Kaisar, membuat obor di istana padam sekaligus. Langit di atas mulai bergetar merah kehitaman.
Lan Mei berbisik ngeri. “Permaisuri… sebaiknya cepat kembali, atau dunia benar-benar akan terbakar.”
---
Di tengah pertempuran, Mo Xian memperhatikan Rui. Ia melihat bagaimana wanita itu selalu berada di tempat yang tepat, selalu selamat meski banyak prajurit jatuh di sekitarnya.
“Kau… siapa sebenarnya?” pikir Mo Xian, matanya menyipit.
Ia melompat turun, mendekati Rui. “Perempuan! Mengapa setiap kali kau berada di sini, pasukanku jatuh lebih cepat dari seharusnya?!”
Rui menoleh, wajahnya penuh kepura-puraan ketakutan. “Aku… aku hanya berusaha bertahan hidup!”
Mo Xian hendak menyerangnya, tapi saat itu langit mendadak bergetar.
Aura hitam murni turun menghantam bumi. Semua prajurit Sayap Hitam terhenti, wajah mereka pucat.
“Dia datang…” bisik salah seorang.
Wang Tian Ze turun dari langit, jubahnya berkibar, mata merahnya menyala bagai bara.
---
Mo Xian mendengus, sayapnya terbentang. “Akhirnya kau keluar dari sarangmu, Kaisar Kegelapan!”
Kaisar menatapnya tajam, lalu matanya beralih sebentar pada Rui. Ada bara sekaligus kelegaan di sana.
“Wanita itu milikku,” suaranya menggema. “Siapapun yang menyentuhnya… akan mati.”
Rui menunduk cepat, menyembunyikan senyum tipis. Rencananya berhasil.
Namun kini ia harus melangkah lebih jauh: ia harus memperlihatkan bukti pengkhianatan Liang De sebelum Kaisar melampiaskan seluruh amarahnya dan menghancurkan segalanya.
---
Saat Kaisar dan Mo Xian beradu kekuatan, Rui bergerak cepat ke lorong gua tempat ia menyembunyikan tawanan: orang suruhan Liang De.
Pria itu masih terikat, matanya ketakutan.
Rui menariknya keluar, menyeret tubuhnya ke hadapan semua orang. “Yang Mulia!” teriaknya keras.
Kaisar menoleh, tatapannya dingin.
Rui melemparkan pria itu ke tanah. “Ini… bukti. Dia bukan prajurit Sayap Hitam. Dia adalah manusia. Utusan istana. Utusan Menteri Liang De!”
Semua prajurit membeku. Bahkan Mo Xian berhenti bergerak sesaat, matanya melebar.
Kaisar menatap pria itu, auranya menekan hingga tanah retak. “Benarkah?”
Pria itu bergetar hebat, wajahnya pucat pasi. Ia mencoba melawan, tapi tatapan Kaisar menelanjangi jiwanya.
“B-betul… aku dikirim Liang De. Aku hanya menjalankan perintah! Aku dipaksa!” suaranya pecah, penuh ketakutan.
Suasana meledak. Semua pejabat yang ikut mendengar berita ini di garnisun akan tahu: ada pengkhianat di jantung istana.
---
Mo Xian tertawa keras. “Hahaha! Jadi bahkan istanamu sendiri sudah busuk, Kaisar! Pengkhianatmu mengirim orang untuk membunuh permaisurimu!”
Namun tawa itu segera terhenti saat Kaisar Wang Tian Ze melangkah maju.
“Pengkhianatan di istana… aku akan membersihkannya sendiri.” Suaranya dingin, nyaris seperti kutukan.
Ia lalu menatap Rui, kali ini matanya penuh bara sekaligus kelegaan. “Kau… lagi-lagi membuatku ingin membakar dunia demi melindungimu.”
Rui hanya tersenyum samar. “Tenanglah, Yang Mulia. Dunia belum perlu terbakar… selama aku ada di sisimu.”
Pertempuran belum selesai. Mo Xian masih berdiri tegak, sayap hitamnya terbentang penuh. Tapi kini, papan permainan sudah berubah. Rui berhasil menggenggam kunci: bukti pengkhianatan Liang De.
Dan itu hanya permulaan.
Bersambung…