Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latihan Pernafasan
Di belakang rumah kayu, tidak jauh dari lereng yang menurun curam, ada sebuah aliran air jernih yang bersumber dari mata air gunung. Airnya mengalir membentuk kolam kecil alami yang dikelilingi batu-batu licin dan lumut hijau. Lianxue sebelumnya sudah menunjukkan tempat itu kepada Xu Hao pada hari pertama latihan di puncak ini.
Xu Hao melepaskan pakaian latihannya yang basah oleh keringat, menggantungnya di dahan pohon rendah, lalu melangkah hati-hati ke tepi kolam. Uap tipis keluar dari tubuhnya yang panas ketika angin malam yang mulai turun menyentuh kulitnya. Ia menunduk, menciduk air dengan telapak tangan, dan memercikkannya ke wajah.
Segera rasa dingin merambat, menghapus lapisan keringat yang melekat. Tanpa ragu ia menceburkan diri ke dalam kolam, air dingin menyelimuti tubuhnya hingga membuatnya terisak pelan. Namun rasa dingin itu juga menyegarkan, seperti memadamkan bara panas yang terbentuk selama latihan tadi.
Ia merendam tubuh sambil mengamati langit di atas. Cahaya sore sudah hampir sirna, berganti warna ungu lembut. Di kejauhan terdengar suara burung malam mulai memanggil. Xu Hao menutup mata, membiarkan aliran air mengusap otot-ototnya yang kaku. Sesekali ia meremas bahunya sendiri, memijat betis, mencoba melonggarkan urat yang tegang.
“Paman Cuyo pasti ingin aku siap malam ini,” gumamnya dalam hati. “Tidak boleh terlalu lelah saat menerima bimbingannya.”
Ia teringat bagaimana semalam, di bawah bimbingan Cuyo, ia berhasil merasakan Qi untuk pertama kalinya. Perasaan itu seperti membuka pintu menuju dunia yang selama ini hanya ada di dongeng. Malam ini, ia yakin akan melangkah lebih jauh.
Setelah cukup lama merendam diri, Xu Hao keluar dari kolam. Air menetes dari rambutnya, mengalir melewati leher hingga ke dada. Ia mengenakan pakaian bersih yang terbuat dari kain sederhana namun hangat, lalu kembali ke rumah kayu.
Begitu Xu Hao masuk, aroma sedap langsung menyambutnya. Lianxue sedang duduk di dekat tungku kecil, mengaduk panci yang mengeluarkan uap harum. Di meja kayu, sudah tersusun beberapa mangkuk dan piring sederhana berisi lauk. Ada sayur hijau yang ditumis dengan bawang putih, potongan tahu yang direbus bersama jamur hutan, serta ikan sungai yang digoreng garing dan disiram kuah kecokelatan yang kental.
“Pas sekali waktunya,” kata Lianxue sambil menoleh sekilas. “Cuci tanganmu, lalu duduk. Kita makan sebelum Paman Cuyo datang.”
Xu Hao menuruti. Ia mencuci tangan di kendi air di sudut ruangan, lalu duduk di kursi kayu. Perutnya langsung bergemuruh begitu mencium aroma ikan goreng. Latihan fisik seharian membuat nafsu makannya meningkat berkali lipat.
Lianxue membawa panci dari tungku dan menuangkan sup hangat ke dalam mangkuk. Potongan sayuran dan jamur mengapung di dalam kuah bening yang memancarkan aroma segar.
“Makanlah yang banyak,” kata Lianxue sambil menyendokkan nasi ke piring Xu Hao. “Kau butuh tenaga untuk latihan malam nanti. Paman Cuyo tidak akan mengurangi bebannya hanya karena kau kelelahan.”
Xu Hao mengangguk sambil tersenyum lemah. “Aku tahu. Latihan fisik saja sudah cukup membuatku hampir roboh. Aku tidak berani membayangkan bagaimana latihan di bawah Paman Cuyo.”
Lianxue tersenyum tipis. “Itu sebabnya kau harus bersiap.”
Suasana makan malam itu sederhana namun hangat. Mereka makan sambil sesekali berbicara tentang latihan hari ini. Xu Hao menceritakan kesulitannya mengimbangi langkah cepat Lianxue saat latihan menghindar, sementara Lianxue memberi beberapa saran teknik pernapasan agar ia tidak cepat lelah.
Di luar, langit semakin gelap, dan lampu minyak di meja mulai dinyalakan. Cahaya kuning lembut memantulkan bayangan di dinding kayu, membuat ruangan terasa nyaman.
Meskipun tubuhnya letih, Xu Hao merasa semangatnya justru membara. Setiap kali ia mengingat akan kembali berlatih mengendalikan Qi di bawah bimbingan Cuyo, jantungnya berdegup lebih cepat. Latihan fisik siang ini mungkin melelahkan, tetapi ia mengerti tujuan Lianxue. menguatkan tubuh agar sanggup menahan tekanan kultivasi yang lebih tinggi.
Udara malam di puncak Gunung memiliki ketajaman yang berbeda dari siang hari. Angin yang berembus membawa aroma pinus dan tanah lembap, menusuk hingga ke tulang. Lampu minyak di rumah kayu bergoyang lembut, cahayanya menari-nari di dinding, seperti bayangan roh hutan yang berbisik dalam bahasa mereka sendiri.
Xu Hao duduk bersila di lantai, mencoba mengatur napasnya sambil menunggu. Tubuhnya masih terasa hangat setelah makan, tetapi rasa kantuk tidak datang. Justru, setiap detik yang lewat terasa panjang. Ia tahu bahwa malam ini, Paman Cuyo akan mengajarinya sesuatu yang lebih sulit dari sekadar merasakan aliran Qi.
Di luar, langkah kaki terdengar menapaki tanah berkerikil. Suara itu berat namun tenang, setiap langkah seperti menegaskan bahwa pemiliknya tidak terburu-buru, tapi juga tidak terhenti. Ketika pintu kayu terbuka, angin malam menyelinap masuk, membawa serta aroma dedaunan basah.
Cuyo berdiri di ambang pintu. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai, sebagian tertiup angin. Matanya tajam, seperti melihat langsung ke inti jiwa seseorang. Namun di balik ketajaman itu ada ketenangan seorang yang telah melewati ribuan malam seperti ini, entah dalam pertarungan, meditasi, atau perjalanan panjang tanpa tujuan selain mencari Dao.
Lianxue berdiri, memberi hormat singkat. “Ayah.”
Cuyo mengangguk tipis lalu melangkah masuk. Pandangannya jatuh pada Xu Hao. Bibirnya bergerak membentuk sedikit senyum, tapi lebih seperti anggukan puas.
“Apa kau sudah siap untuk melanjutkan latihanmu, Hao’er?”
Xu Hao menegakkan punggungnya. “Siap, Paman.”
Cuyo berjalan menuju sudut ruangan, memadamkan lampu minyak hingga hanya tersisa cahaya rembulan yang menembus jendela. Cahaya pucat itu membentuk lingkaran samar di lantai, seperti panggung yang sengaja disediakan oleh langit untuk pelatihan malam ini.
“Latihan malam ini akan lebih berat,” kata Cuyo pelan. “Kau sudah bisa merasakan Qi. Itu langkah awal. Namun, tanpa teknik pernapasan yang benar, Qi hanya akan menjadi arus liar yang merusak tubuh. Kita akan mulai dengan menundukkan Qi melalui napas.”
Ia duduk bersila di hadapan Xu Hao, jarak mereka hanya sejengkal. “Dengarkan baik-baik. Teknik ini bukan sekadar menghirup dan menghembuskan udara. Ini adalah seni mengalirkan kekuatan langit dan bumi melewati tubuh, menyaringnya menjadi inti kehidupanmu.”
“Napas adalah jembatan antara tubuh dan roh,” ujar Cuyo, suaranya dalam dan berirama. “Tubuh adalah perahu, roh adalah penumpangnya. Tanpa jembatan, penumpang tidak akan sampai ke tujuan. Jika napasmu kacau, rohmu akan tersesat, dan Qi yang kau kumpulkan akan hilang seperti kabut pagi.”
Xu Hao mendengarkan, matanya tak berkedip.
“Bayangkan tubuhmu seperti gunung. Di puncaknya ada langit luas, di dasarnya ada air yang tenang. Napas adalah sungai yang menghubungkan keduanya. Jika sungai itu deras namun liar, ia akan mengikis tebing dan menghancurkan lembah. Jika ia tenang namun terlalu lambat, ia akan menggenang dan membusuk. Kau harus menemukan keseimbangannya.”
Cuyo mengangkat tangan kanan, menunjuk dada Xu Hao. “Pertama, duduklah tegak. Biarkan tulang punggungmu menjadi tiang langit, kokoh namun lentur. Tutup matamu. Jangan berpikir apa pun selain mengikuti suara napasmu sendiri.”
Xu Hao menurut.
“Kedua, tarik napas perlahan melalui hidung, bukan mulut. Rasakan udara masuk melewati rongga hidung, turun ke tenggorokan, lalu mengalir ke dada. Jangan berhenti di sana. Bayangkan udara itu terus turun, melewati perut, menuju ke dantian bawah, tiga jari di bawah pusar. Di sanalah pusat kehidupanmu berada.”
Xu Hao menarik napas sesuai instruksi. Rasanya aneh pada awalnya, seolah ia memaksa udara bergerak ke tempat yang sebelumnya tidak pernah ia sadari.
“Ketiga, tahan napas itu sejenak. Bukan menahannya hingga sesak, tapi menahannya seperti kau menahan air dalam cawan. Biarkan Qi langit dan bumi bercampur dengan Qi dalam tubuhmu. Rasakan kehangatan kecil di dantian. Itu tanda mereka mulai menyatu.”
Xu Hao mulai merasakan hangat itu, samar seperti bara kecil di tengah kegelapan.
“Keempat, hembuskan perlahan melalui mulut, seakan kau meniup kabut di permukaan cermin. Jangan tergesa. Setiap hembusan adalah pelepasan kotoran dari tubuh, baik kotoran fisik maupun kotoran pikiran. Lakukan ini berulang-ulang hingga napasmu tidak lagi terasa sebagai tarikan dan hembusan, melainkan arus yang mengalir tanpa putus.”
Cuyo memperhatikan setiap gerakan dada Xu Hao. Tiba-tiba ia menggeleng. “Kau terlalu tegang di bahu. Rilekskan. Napas bukan berasal dari dada, tapi dari inti tubuh.”
Ia menepuk ringan punggung Xu Hao, tepat di antara tulang belikat. “Lepaskan beban di sini. Biarkan udara turun bebas.”
Xu Hao mencoba kembali. Kali ini, alirannya lebih mulus. Ia mulai merasakan bahwa tarikan napasnya tidak hanya membawa udara, tetapi sesuatu yang lebih halus, seperti energi yang tak terlihat."
“Sekarang,” kata Cuyo, “buka telingamu pada malam ini. Dengarkan suara angin di luar, suara dedaunan yang bergesekan. Biarkan mereka menjadi bagian dari napasmu. Hirup Qi dari langit dan bumi, bukan hanya dari udara di sekitarmu.”
Xu Hao mencoba. Perlahan, ia merasa setiap tarikan napasnya membawa masuk sedikit dari kesunyian malam. Setiap hembusan mengirim keluar rasa lelah dan sisa-sisa ketegangan dari latihan siang tadi.
Di luar, bulan mulai naik tinggi. Cahaya peraknya memandikan ruangan, membuat bayangan Cuyo tampak lebih panjang di lantai.
Suasana di dalam rumah kayu semakin hening. Hanya suara napas Xu Hao yang terdengar, berpadu dengan bisikan angin dari celah jendela. Cahaya rembulan yang menembus membuat lantai tampak seperti diselimuti kabut perak. Cuyo duduk di depannya, matanya tak pernah lepas dari setiap gerakan Xu Hao.
“Sekarang,” ucap Cuyo, suaranya dalam dan terukur, “kita akan masuk pada tahap berikutnya. Apa yang telah kau lakukan tadi hanyalah dasar. Tubuhmu harus belajar mengenali tiga bagian utama yang menjadi jalur napas kultivator sejati.”
Ia mengangkat tangannya, menunjuk tiga titik di tubuhnya sendiri. “Pertama adalah dantian bawah, tempat energi kehidupan berkumpul. Kedua adalah dantian tengah, di area dada, tempat energi diubah menjadi kekuatan. Ketiga adalah dantian atas, di kepala, tempat roh dan kesadaran menyatu. Untuk malam ini, kita akan memusatkan diri pada dantian bawah.”
Xu Hao menelan ludah. Walau tubuhnya letih, ada semangat yang menyala di dalam dirinya. Ia merasakan bahwa setiap kata Cuyo bukan sekadar teori, melainkan pengalaman yang pernah ditempuh dengan darah dan keringat.
“Tarik napas, perlahan. Jangan biarkan bahumu bergerak. Biarkan udara dan Qi yang terbawa turun langsung ke dantian bawah. Saat menahannya, bayangkan dirimu berdiri di tepi danau yang tenang. Air danau itu adalah Qi-mu. Jangan goyahkan permukaannya.”
Xu Hao mengikuti. Ia menutup matanya, mencoba membentuk gambaran danau di dalam pikirannya. Semakin ia fokus, semakin ia merasa kehangatan di bawah pusarnya menjadi jelas.
“Tahan… tahan… Sekarang hembuskan perlahan. Bayangkan kau meniup daun kering di permukaan air. Gerakan itu lembut, tidak merusak ketenangan.”
Xu Hao menghembuskan napas. Kali ini, ia merasakan bahwa napasnya tidak hanya keluar dari paru-paru, tapi juga membawa keluar beban di pikirannya.
Cuyo kemudian mengeluarkan sebuah batu kecil berbentuk bulat dari saku jubahnya. Batu itu berwarna hitam pekat, namun di dalamnya ada kilau seperti bintang. “Ini adalah Batu Pengatur Napas. Aku akan menjatuhkannya ke lantai setiap tiga tarikan napasmu. Saat mendengar batu jatuh, kau harus menahan napas sejenak sebelum melanjutkan. Ini akan melatih ketahanan dan kontrolmu.”
Ia menjatuhkan batu pertama. Suaranya nyaring di lantai kayu. Xu Hao menahan napas, lalu melanjutkan tarikan berikutnya. Proses ini diulang berkali-kali.
Di awal, Xu Hao merasa mudah. Namun, setelah belasan kali, paru-parunya mulai terasa panas. Dahinya berpeluh, meski udara malam begitu dingin.
“Jangan panik,” kata Cuyo dengan nada tenang. “Napasmu adalah tuanmu, bukan sebaliknya. Jika napas menguasai pikiranmu, kau akan gagal. Tapi jika pikiranmu menguasai napas, kau bisa mengendalikan Qi bahkan di medan perang.”
Cuyo bangkit, berjalan mengitari Xu Hao. Tiba-tiba ia berhenti di belakang Xu Hao. Tangannya menyentuh punggung Xu Hao, memberi tekanan lembut. “Punggungmu mulai membungkuk. Itu akan membuat aliran Qi tersendat. Luruskan. Bayangkan ada benang yang menarik kepalamu ke langit.”
Xu Hao memperbaiki posisinya. Saat itu, ia merasakan bahwa napasnya mengalir lebih lancar, seperti sungai yang baru saja dibersihkan dari bebatuan penghalang.
Cuyo kembali duduk. “Sekarang, kita akan mengambil Qi dari alam. Dengarkan baik-baik. Tarik napas seiring dengan masuknya angin malam dari jendela. Biarkan hawa dingin itu bercampur dengan kehangatan tubuhmu. Saat menghembuskan, lepaskan hawa panas yang berlebihan.”
Xu Hao menyesuaikan ritme napasnya dengan angin. Terkadang angin datang pelan, terkadang cepat. Ia harus menyesuaikan diri, bukan memaksa alam menuruti dirinya.
“Seorang kultivator sejati tidak melawan alam,” ujar Cuyo. “Ia menyesuaikan diri, lalu memanfaatkannya. Saat angin cepat, ia mengambil kekuatan dari arusnya. Saat angin lambat, ia menyimpan kekuatan itu di dalam.”
Setelah hampir satu jam, Cuyo memberi tanda untuk menghentikan. “Sekarang, fokuskan semua Qi yang telah kau tarik ke dantian bawah. Gunakan napasmu untuk menekannya ke sana, lapis demi lapis, seperti kau memadatkan bola salju. Semakin padat, semakin kuat.”
Xu Hao memejamkan mata lebih dalam. Ia merasakan setiap tarikan napasnya menambah sedikit energi di pusat tubuhnya. Kehangatan di sana semakin pekat, seperti bara api yang mulai membesar.
“Jangan biarkan Qi itu bocor ke bagian tubuh lain. Tahan dan kunci di sana. Bayangkan ada pintu yang menutup rapat, hanya bisa dibuka jika kau yang menginginkannya.”
Tiba-tiba, Cuyo mengambil segenggam kerikil dan melemparkannya ke lantai dengan cepat, menimbulkan suara beruntun. Xu Hao terkejut dan hampir kehilangan konsentrasi.
“Itu adalah gangguan,” kata Cuyo. “Di dunia luar, kau akan dikelilingi oleh suara senjata, teriakan, bahkan jeritan. Jika napasmu goyah karena itu, semua latihanmu sia-sia. Kita ulang lagi.”
Xu Hao menggertakkan giginya, lalu mencoba kembali menutup pikirannya dari suara. Kali ini ia berhasil menjaga ketenangan.
Setelah beberapa jam, Cuyo akhirnya memberi isyarat untuk berhenti. “Cukup untuk malam ini. Tubuhmu akan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Latihan ini sederhana di mata orang awam, namun jika dilakukan dengan benar, ia akan menjadi pondasi yang tak tergoyahkan.”
Xu Hao membuka matanya. Udara di ruangan terasa berbeda, seolah lebih segar. Tubuhnya memang lelah, tetapi ada energi baru yang berdenyut di dantian bawahnya.
Cuyo berdiri, memandang Xu Hao dengan tatapan yang sulit dibaca. “Ingat, Hao’er. Jalan kultivasi bukanlah jalan cepat. Satu tarikan napas yang salah bisa membuatmu tersesat selamanya. Tetapi satu tarikan napas yang benar bisa membawamu lebih dekat pada keabadian.”
Xu Hao mengangguk dalam, menyimpan setiap kata itu di hatinya.