NovelToon NovelToon
Tergoda Pesona Istri Pengganti

Tergoda Pesona Istri Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Tianse Prln

“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.



“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.


***

Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.

Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.

Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Resiko Menikah Dengan Gadis Miskin

Adam menahan napas sejenak di depan pintu kamarnya. Sinar lampu temaram memantul di dinding putih, menciptakan bayangan panjang yang seakan menunggunya. Dengan tangan sedikit gugup, dia memegang gagang pintu dan memutarnya perlahan.

Dia membuka pintu kamarnya tanpa suara, berharap melihat sosok Linda—istrinya—yang biasanya sudah tertawa kecil sambil membaca buku di atas ranjang. Namun, saat dia melangkah masuk yang tertinggal hanya keheningan dan sapuan kain gorden yang menutup jendela.

“Linda?” Adam mencoba memanggil. Tapi hanya keheningan yang menyapanya. Tidak ada sahutan dari Linda yang dia harapkan menyambut kepulangannya.

Kaki Adam melangkah menuju kamar mandi, mungkin saja wanita itu ada di dalam sana. Tapi nihil. Saat Adam mendorong pintu kamar mandi, yang dia dapati adalah kekosongan. Tidak ada sosok Linda di dalam sana.

Adam masih mencoba berpikir positif. Ah, mungkin saja Linda ada di walk in closet, tapi ketika dia tiba di ruangan yang penuh pakaian dan barang-barang itu, dia tetap tidak menemukan kehadiran istrinya.

Kamar tidurnya benar-benar tak berpenghuni. Jendela kamar bahkan tampak masih terbuka, angin malam tiba-tiba berembus sedikit kencang, menelisik masuk melalui celah gorden, menerpa rambut Adam yang tebal, seolah mengejek kekosongan yang baru saja dia dapati.

“Sial. Pergi ke mana dia?” gumam Adam.

Dia keluar dari kamar dengan raut wajah yang diselimuti kekesalan, kakinya bergerak cepat menuruni tangga menuju ke area belakang rumah.

Dengan langkah tegap dia memanggil asisten pribadinya. “Bu Ida!”

Tak lama, asisten rumah tangganya muncul dari balik pintu dapur. Wajahnya diselimuti aura kecemasan, tangannya saling bertautan gugup di depan tubuh. Adam langsung menatap tajam, bertanya tanpa basa-basi.

“Ke mana Linda?”

Bu Ida menunduk, suaranya bergetar ketika berusaha menjawab dengan perasaan takut.

“Beberapa saat lalu Nyonya Linda berpamitan ingin ke luar. Saya sempat melarang, tapi Nyonya terus memohon. Dan akhirnya saya luluh, Pak.”

Bu Ida kemudian mengangkat tangan, seolah memohon ampun. “Maaf, Pak. Saya sudah berusaha melarang, tetapi Nyonya Linda terus memaksa dan merayu saya untuk membiarkannya pergi keluar. Apalagi Nyonya bilang hanya pergi sebentar saja.”

Adam menghela napas panjang. Rasa frustrasi dan khawatir beradu di matanya.

Tanpa sepatah kata atau penghakiman, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Bu Ida yang masih berdiam diri di dapur.

Adam kembali ke kamarnya, dia mengambil ponselnya yang masih berada di jas kantornya. Sambil membuka kontak nomornya, dia menarik dasinya dengan kasar. Suara kain yang tersentak bersahutan dengan deru angin malam. Ia menelan ludah, merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat.

Perasaannya campur aduk saat ia membuka kontak Linda. Panggilan pertama masuk, tertulis berdering, tapi tidak ada respons dari si pemilik nomor, seolah sengaja diabaikan.

Adam mencoba lagi. Dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali. Setiap nada dering menambah kecemasannya.

“Linda... pergi ke mana kamu? Kenapa pergi keluar tanpa bilang aku?” gumamnya, suaranya teredam deru angin malam yang menyapu mendung pembawa hujan sore tadi.

Antara marah dan khawatir, hatinya tercabik. Ia membayangkan wajah Linda yang tersenyum bersama si direktur Andre sore tadi.

***

Linda melangkah keluar dari tenda kaki lima yang masih ramai oleh suara sendok dan obrolan ringan. Di tangannya, sisa aroma sambal dan jeruk nipis masih melekat.

Dia menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalam taksi tersebut. Taksi itu melaju ketika Linda menyebutkan alamat tujuannya.

Beberapa jam sebelumnya, Linda duduk di ruang makan rumah suaminya yang megah, dikelilingi piring-piring porselen berisi makanan mahal—steak wagyu, salad alpukat, dan jus yang bahkan belum disentuh. Tapi semua itu terasa asing. Dingin. Tak ada rasa yang menggugah seleranya. Yang mengecap di lidahnya hanya kerinduan akan sesuatu yang sederhana, tau apa? Pecel lele dan sepiring nasi hangat yang ditemani sambal pedas bersama lalapan dan juga es teh manis yang membasahi tenggorokan dengan kenangan masa lalu.

Linda sempat ragu. Tapi rasa bosan yang menumpuk membuatnya nekat. Ia memaksa Bu Ida, asisten rumah tangga di rumah Adam untuk mengizinkannya keluar. Butuh waktu dan rayuan, tapi akhirnya Bu Ida menyerah. Linda pun bisa melangkah ke luar rumah dengan mengendarai taksi, seolah baru saja membebaskan diri dari kurungan tak terlihat.

Kini, setelah perutnya kenyang dan hatinya lega, Linda kembali ke rumah.

Selesai membayar taksi, Linda keluar dari taksi itu, dan gerbang langsung terbuka saat satpam melihatnya.

Linda tersenyum tipis pada dua satpam yang bersikap hormat padanya.

Setibanya di teras rumah, dia membuka pintu pelan, berharap bisa masuk tanpa suara. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bu Ida berdiri tak jauh dari pintu, wajahnya tegang dan matanya penuh kekhawatiran.

“Bi Ida?” Linda bertanya pelan, mencoba tersenyum. “Kenapa Bibi masih di sini?”

Bu Ida menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Pak Adam mencari Anda, Nyonya.”

Linda terdiam. Rasa puas yang tadi memenuhi dadanya perlahan berganti dengan gugup.

“Mas Adam sudah pulang?” tanya Linda.

Bu Ida mengangguk. “Sudah, Nyonya.”

“Dia ada di mana sekarang?”

Telunjuk Bu Ida mengarah ke tangga, kemudian berkata, “Saya lihat beliau masuk ke kamar,” terangnya.

Linda mengangguk paham dan tanpa berkata apa-apa lagi dia langsung melangkah menuju kamar.

Pintu kamar terbuka, dan di sana, Adam berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya serius, dan sorot matanya tajam menatap Linda. Tak ada senyum. Tak ada sapaan.

Linda mencoba tersenyum canggung, tapi Adam langsung bertanya, suaranya datar namun jelas.

“Kamu dari mana?”

Linda menelan ludah, lalu menjawab dengan suara pelan, “Aku... cuma keluar sebentar. Cari makan.”

Adam mengangkat alis. “Cari makan? Apa pelayan di rumah ini tidak ada yang menyiapkan hidangan untukmu?”

“Mereka menyiapkan hidangan terbaik untukku.”

“Terus kenapa cari makan di luar? Apa masakan mereka kurang enak? Apa aku perlu memecat mereka semua dan mencari pelayan yang lebih kompeten?” tanya Adam.

“Eh, itu, enggak, kamu jangan salah paham. Mereka semua kompeten. Masakan mereka enak kok. Tapi... aku bosan. Makanan di sini terlalu mewah… aku mendadak kangen pecel lele.”

Adam terdiam. Matanya menatap Linda sejenak, lalu ia menghela napas panjang. Jawaban wanita itu membuatnya cukup syok.

Tapi tak ada amarah yang meledak, walaupun ketegangan di udara masih terasa nyata.

Adam tahu malam itu bukan hanya tentang makanan. Tapi tentang jarak perbedaan kelas sosial yang begitu jelas di antara mereka, dan tentang fakta bahwa terkadang yang sederhana justru lebih berarti.

“Lain kali beritahu aku kalau kamu ingin sesuatu. Kamu juga bisa ajak aku kalau kamu mau pergi ke suatu tempat,” kata Adam.

“Maaf, bukannya aku tidak mau mengajakmu. Hanya saja aku enggak yakin kamu mau menginjakkan kakimu di tempat seperti itu,” cakap Linda.

“Asalkan itu kamu, aku akan pergi ke tempat mana pun yang kamu tuju, dan aku juga akan mencoba apa pun yang belum pernah aku coba.” Tatapan Adam begitu lekat. Dia mengatakan perkataannya itu dengan raut serius, seakan tidak sadar bahwa kalimat yang dilontarkannya barusan terdengar romantis di hati Linda.

“Karena kamu sudah pulang dan sudah makan, sekarang kamu mandi dan persiapkan dirimu,” ujar Adam tiba-tiba.

Linda mengernyit. “Persiapkan diriku untuk apa?”

Adam tersenyum miring, lalu menonyor kening Linda dengan jahil.

“Jangan banyak tanya. Persiapkan saja dirimu,” ucapnya, kemudian berlalu pergi setelah berkata, “Aku beri waktu sepuluh menit.”

1
Syiffa Fadhilah
huh,,jesiko emang sooook
waya520
lanjuttttt
TiansePrln🌷
Terima kasih sudah menyukai cerita ini!!! Jangan lupa tinggalkan komentar terbaik kaliaaan yaaa. /Kiss/
Naaaa
hai kak, ketemu lagi/Smile/
TiansePrln🌷: nanti diusahakn dilanjut kak👌😁 lg nyusun alurny
Naaaa: cerita sikembar yusen&yuna gk lanjut kak?
total 2 replies
Rdznr
boom up dong kk, critany seruu, gk sabar nunggu kelanjutannyaa
Rdznr
enakny nikah sma cwok tajiiir/Whimper/
Rdznr
/Chuckle/ 21+++ niiih
Rdznr
Ini si zaka jgn" sebenernya suka sama Linda/Scare/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!