karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Menuju Bab 1 Bagian 2
Detik demi detik, musim berganti, tahun pun berlari tanpa terasa.
Tubuh mungil berusia empat tahun itu kini menjelma menjadi gadis kecil cantik jelita.
Bukan hanya ragaku yang berubah. Duniaku, pikiranku, bahkan hatiku ikut bergeser.
Aku bukan lagi sekadar Yoga—aku adalah Lala. Suka atau tidak.
Kini usiaku sepuluh tahun. Tubuhku ramping, dadaku mulai tumbuh, rambut panjang berwarna pink menjuntai indah.
Bulu mata lentik, bibir tipis alami berwarna merah muda.
Tak pernah kusangka… inilah diriku.
Lala Rosalia.
Tokoh yang bahkan tak pernah aku ciptakan.
Hari ini, tahun 672 bulan 7 tanggal 8.
Empat tahun lagi sebelum alur outline Bab Satu dimulai.
Embun pagi menempel di kaca jendela, dinginnya menembus kain selimut yang menutup tubuhku semalaman.
“…Dingin.” gumamku pelan.
Mataku terbuka, menatap atap kamar yang dulu begitu asing.
“Dulu… aku bahkan merasa kamar ini bukan milikku,” bisikku, mengingat hari pertama transmigrasi.
Bagi Dave dan Liria, aku hanya anak yang terkena amnesia.
Tak pernah mereka tahu, jiwa dalam tubuh ini bukan lagi Lala.
Secara biologi, aku memang anak mereka.
Namun batinku masihlah Yoga Permana, penulis dunia ini. Penulis naskah Pe and Kob yang prolognya bahkan belum rampung.
Aku sudah terbiasa hidup sebagai Lala Rosalia—hidup sebagai seorang perempuan.
Meski jauh di dalam diri ini, masih tersimpan kejantanan seorang pria.
Aku teringat, saat pertama kali bertransmigrasi bahkan untuk buang air kecil saja aku kesulitan.
Tak ada lagi “gagang pedang” yang bisa kugenggam. Malah berakhir dengan mengompol. Memalukan.
Aku bangkit dari ranjang, melepas selimut, memperlihatkan celana pendek dan baju santai yang kupakai.
“Masih terlalu pagi… Ayah pasti belum ke ladang.” batinku, sambil melirik keluar jendela.
Matahari baru menyembul malu-malu, dunia luar masih temaram.
Aku merapikan kasurku. Kebiasaan baru—yang tak pernah kulakukan di bumi.
Kalau dulu, kamarku selalu berantakan. Tapi berkat didikan Dave dan Liria, aku belajar jadi pribadi yang lebih baik.
Kini kamar ini sudah seperti kamar khas seorang perawan.
Suara langkah kaki terdengar dari luar. Engsel pintu berdecit perlahan.
“Wahhh, tumben bangun pagi.”
Itu Dave. Ayahku. Senyumnya menyejukkan seperti embun pagi.
“E-ehh, Ayah…” jawabku gugup, menatap sosoknya yang jauh lebih tinggi dariku.
Sejak usiaku enam tahun, Ayah selalu menyempatkan diri menengokku sebelum ke ladang.
Padahal ladang hanya di depan rumah, tapi caranya berpamitan selalu seakan ia akan pergi jauh.
“Ayah ke ladang dulu, ya, Lala,” katanya sambil melambaikan tangan.
“Pagi banget…” timpalku pelan.
“Kamu kalau sudah bangun sepagi ini, bantu ibumu, ya.” Dave tersenyum, lalu pergi.
Aku menarik napas panjang. Ya… keluarga ini benar-benar memberiku arti hidup.
Tak seperti di bumi dulu. Tak ada sarapan, tak ada salam selamat pagi, bahkan saat sakit pun aku sendirian. Sunyi.
---
“Ibu…” sapaku pelan dari belakang Liria, yang sibuk menyiapkan sarapan.
“Eh? Lala? Tumben banget nih perawan bangun pagi,” jawabnya ketus, masih dengan sarkasme khasnya.
Aku bertolak pinggang, wajahku cemberut.
“Salah gitu kalau aku bangun pagi?”
Liria terkekeh. “Pasti karena motivasi jadi istri Ryan yang baik, kan?” godanya.
Aku terdiam. Wajahku panas.
Jiwaku ini pria, mana mungkin aku jatuh cinta pada pria lain? Tapi… tubuh ini tak bisa berbohong.
Langit semakin cerah. Aku dan para protagonis kecil—yang kini tak lagi kecil—berkumpul di tanah lapang Desa Carrington.
Tempat biasa kami berlatih sekaligus bermain.
James dan Natasya kini berusia sebelas tahun, Ryan sembilan tahun.
Aku sepuluh. Hanya terpaut sedikit, tapi Ryan tetap jadi yang termuda.
Aku mengangkat telapak tanganku.
“Fleurball.”
Api sebesar bola basket terbentuk di atas tanganku.
“Woahhh! Lebih besar dari kemarin!” James terkesima, rambut hitamnya terkipas angin panas sihirku.
Di belakang James, Natasya bertepuk tangan.
“Lala hebat!” senyumnya cerah, rambut merahnya berkilau tertiup cahaya.
Ryan hanya menatap datar, tapi senyumnya terselip untuk kami bertiga.
Rambut birunya ikut berkibar. Di pinggangnya, pedang kayu terikat rapi.
Setelahku, giliran Natasya.
Tanpa mantra, tubuhnya melayang empat meter di udara.
“Lihat! Hahaha!” teriaknya bangga.
“Buset! Lebih tinggi dari kemarin!” James mengusap kepala sendiri.
Ryan mengangguk pelan. “Ya, Nasya memang berbakat sihir angin.”
Aku tersenyum datar. Dalam hati, aku bangga. Aku berhasil membawa mereka berkembang jauh sebelum cerita utama dimulai.
Namun senyum itu justru disalahartikan.
“Kamu juga sama hebatnya, Lala,” ucap Ryan menepuk pundakku.
“Kamu sudah melampaui kebanyakan pelajar tahun terakhir.”
James menimpali, “Ya, Ryan bener. Cuma Nasya aja yang kelewat normal.”
“ANOMALI apanya?!” Natasya melotot, api semangatnya membara.
Aku hanya bisa menghela napas.
“Ehh? Salah paham lagi, inimah…”
Lalu James menunjukan kemampuannya.
“War Cry!”
Aura merah menyala, tanah bergetar.
“Berserk!” tubuhnya dipenuhi energi, pedangnya menebas cepat hingga mata amatir tak bisa menangkapnya.
Aku tertegun. “Skill khas protagonis utama, ya…” batinku.
“James hebat!” seru Natasya.
“Ohh, jadi makin kuat ya?” tambah Ryan, seolah ingin menantang.
James menjelaskan. “War Cry buat tambah kekuatan, Berserk buat tambah kecepatan. Dua-duanya harus saling menutupi.”
Kini giliran Ryan.
Ia hanya berkata singkat. “Aku… hanya perlu menghunus.”
Ia berdiri di depan sebuah batu besar.
“Shadowlesh.”
Pedangnya bersinar. Tebasan demi tebasan terjadi begitu cepat, lalu ia menyarungkannya kembali.
“Divine Slash!”
Dengan sekali gerak, ia menghantam batu itu.
Sekilas tak terjadi apa-apa. Ryan berjalan menjauh dengan tenang.
BOOM!
Batu itu meledak berkeping-keping di belakangnya.
Kami semua terdiam, membeku.
Aku terpaku pada keindahan seni pedang itu.
“Jadi ini… pengguna pedang Nodachi no Katana.” batinku, terpesona sekaligus gentar.
Aku teringat kembali.
Sistem pernah berkata—aku adalah Boss Akhir dari novel Pe and Kob.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.