Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Bab 15
...“Aku tidak pernah bilang ingin membeli dirimu Revana. Aku ingin memilikimu… dengan cara yang sah.”...
...-Adrian-...
Revana berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Matanya sayu karena semalam ia hampir tidak tidur, terlalu banyak memikirkan soal lamaran Adrian dan beban keluarga yang menumpuk di pundaknya.
Sampai di meja resepsionis, ia berusaha menegakkan tubuh, merapikan blazernya, lalu berjalan menuju ruang kerja Adrian. Seperti biasa, ia membawa agenda harian dan secangkir kopi hitam yang baru saja dibuat.
Ketika pintu ruang kerja terbuka, Adrian sudah duduk di balik meja, rapi dengan jas abu-abu tua, wajahnya masih sedikit pucat sisa kelelahan perjalanan. Namun tatapannya langsung tertuju pada Revana.
Adrian tersenyum tipis
“Pagi, Revana.”
“Pagi, Pak. Ini agenda meeting hari ini… dan kopi seperti biasa.” jawab revana pelan.
Adrian menerima kopi itu, tapi matanya tidak lepas dari wajah Revana. Ia bisa membaca jelas ada sesuatu yang berbeda pagi ini.
Adrian mencondongkan tubuh mendekat ke arah Revana.
“Kamu terlihat lelah. Apa kamu tidak tidur semalam?”
Revana terkejut, lalu buru-buru menggeleng.
“Saya tidak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja. Hanya… sedikit sulit tidur, mungkin lelah karena perjalanan kemarin masih terasa.”
Adrian mengangkat alis, ekspresinya penuh selidik, seolah tahu Revana sedang menyembunyikan sesuatu. Namun ia tidak mau memaksanya untuk berbicara. Adrian hanya menyesap kopi perlahan, lalu berucap dengan nada serius.
“Revana… keinginanku tempo hari, itu masih berlaku. Kamu tidak perlu jawab sekarang. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak main-main dengan ucapanku.”
Revana langsung menunduk, jantungnya berdetak kencang. Wajahnya panas, tangannya sedikit bergetar.
“Pak Adrian… saya… saya akan memikirkannya.” jawab Revana pelan, menahan perasaannya.
Adrian tersenyum samar, lalu berdiri mendekat. Ia berhenti hanya selangkah di depan Revana, cukup membuat gadis itu menahan napas.
Dengan suara dalam Adrian berkata.
“Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi jangan terlalu lama, Revana. Kadang, kesempatan hanya datang sekali.”
Revana menelan ludah, mencoba tetap tegar meski hatinya semakin kacau. Ia buru-buru mundur sedikit, lalu berpura-pura sibuk membetulkan map agenda di tangannya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” jawab Revana singkat.
Ia segera keluar, meninggalkan Adrian yang masih menatap punggungnya dengan senyum samar.
Di balik pintu, Revana bersandar pada dinding, menutup mata sebentar sambil berbisik lirih.
“Tuhan… aku harus bagaimana? Jika aku memilih dia… apa aku akan kehilangan diriku sendiri?”
Hari itu suasana kantor begitu sibuk, telepon masuk dan keluar silih berganti, meeting demi meeting berlangsung tanpa henti. Revana berusaha bekerja seprofesional mungkin, walaupun pikirannya terus terpecah.
Saat ia sedang merapikan beberapa dokumen di mejanya, ponselnya bergetar. Nama ibunya muncul. Revana buru-buru mengangkatnya, agak menjauh agar tidak terdengar staf lain.
“Revana, maaf Nak… tapi obat ayahmu yang untuk jantung itu harganya naik lagi. Apotek bilang stoknya terbatas. Kita butuh segera membeli sebelum habis. Ibu… ibu tidak tahu lagi harus bagaimana.” ucap Bu Mira panik.
Revana memejamkan mata, menahan tangis.
“Iya, Bu. Tenang saja. Nanti sore aku tambah lagi uangnya. Jangan sampai Ayah putus obat, itu bahaya.”
terdengan desahan nafas lega dari Bu Mira.
“Tapi Nak… Apa tabunganmu cukup? Jangan terlalu memaksakan diri.”
“Tidak apa-apa, Bu. Aku akan usahakan. Itu tanggung jawab aku.”
Setelah telepon ditutup, Revana meremas erat ponselnya. Air matanya hampir jatuh, tapi buru-buru ia hapus. Tabungannya semakin menipis. Bagaimana jika benar-benar habis nanti?
Pekerjaan akhirnya selesai menjelang malam. Revana sudah berniat langsung pulang, tapi baru saja ia berkemas, pintu ruangannya diketuk. Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja biru gelap, jas ia sudah lepaskan dan ditenteng di tangannya, wajahnya terlihat lelah namun tetap memancarkan kharisma.
“Kamu sudah mau pulang?” tanya Adrian sambil tersenyum.
“Iya, Pak. Ada yang perlu saya bereskan di rumah.” jawab Revana.
Adrian menatapnya dalam, lalu dengan nada ringan namun penuh maksud ia berkata,
“Kalau begitu, temani aku makan malam dulu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih atas kerja kerasmu belakangan ini.”
Revana tertegun. Ia ingin menolak, tapi kata-kata ibunya siang tadi terngiang lagi. Kebutuhan keluarga, ayahnya yang sakit, tabungan yang makin menipis. Hatinya bimbang.
“Pak, saya… mungkin kurang pantas makan malam bersama Anda.” ucap Revana lirih, memberi alasan.
Adrian mengangkat alis, senyumnya samar.
“Kenapa tidak pantas? Aku hanya ingin ditemani. Jangan pikir yang aneh-aneh. Lagipula… aku rasa kita berdua butuh bicara lebih banyak, bukan?”
Revana menunduk, jantungnya berdetak kencang. Ia akhirnya menghela napas panjang.
“Baiklah… hanya makan malam, bukan?”
Adrian senyum puas.
“Hanya makan malam. Tapi jangan salah… makan malam ini bisa jadi awal dari banyak hal.”
Revana terdiam, tak sanggup menjawab. Ia hanya bisa mengikuti langkah Adrian keluar dari kantor. Dalam hatinya, perasaan takut dan ragu bercampur dengan rasa penasaran yang tak bisa ia kendalikan.
☘️☘️⚘️⚘️
Adrian memilih restoran fine dining yang elegan, dengan lampu remang dan musik jazz mengalun lembut.
Revana duduk berhadapan dengannya, merasa canggung sejak awal. Ia jarang sekali datang ke tempat semewah itu, apalagi berdua dengan atasan yang diam-diam membuat hatinya berdebar.
Seorang pelayan menuangkan wine ke gelas Adrian, lalu menoleh ke Revana.
“Untuk saya… air mineral saja.” ucap Revana cepat-cepat.
Adrian menoleh, tersenyum geli.
“Kamu selalu menjaga diri, ya?”
Revana menahan rasa kesalnya.
“Saya tidak terbiasa, Pak. Lagipula… saya ingin tetap sadar.”
Adrian tertawa pelan, lalu menatapnya lama. Tatapannya dalam, membuat Revana salah tingkah. Sepanjang makan, Adrian sengaja melontarkan godaan halus.
“Kalau kamu jadi milikku, aku pastikan kamu tidak perlu lagi pusing memikirkan kebutuhan keluargamu. Semua akan kutanggung.” ucap Adrian seolah-olah pria itu tahu kegelisahan Revana saat ini.
Revana terdiam, menaruh sendok dengan hati-hati.
“Pak Adrian… berhentilah bicara seperti itu. Saya bukan perempuan yang bisa dibeli.”
Adrian mencondongkan tubuh ke depan, suaranya lebih pelan namun tegas.
“Aku tidak pernah bilang ingin membeli dirimu Revana. Aku ingin memilikimu… dengan cara yang sah.”
Revana menelan ludah, jantungnya berdetak kencang. Tatapan mata Adrian terlalu serius untuk dianggap bercanda.
⚘️
Malam semakin larut ketika Adrian mengantarkan Revana pulang. Sepanjang jalan, Revana hanya diam, memandangi lampu kota dari balik jendela mobil. Ucapan Adrian di restoran terus terngiang di telinganya.
Sampai di depan rumah, Adrian menghentikan mobil. Ia menoleh, menatap Revana dengan lembut.
“Pikirkan baik-baik, Revana. Aku tidak menuntut jawaban sekarang. Tapi aku serius… sangat serius.”
Revana menunduk, menggenggam erat tasnya.
“Kenapa saya? Kenapa harus saya, Pak? Anda sudah punya segalanya.”
Adrian menatapnya lekat-lekat.
“Karena hanya bersamamu aku merasa hidup kembali.”
Revana terdiam, hatinya semakin kacau. Ia buru-buru membuka pintu mobil, ia menunduk sedikit.
“Selamat malam, Pak Adrian.”
Ia berjalan masuk, sementara Adrian masih tetap duduk di mobil, menatap punggungnya dengan tatapan penuh arti.
Sesampainya di kamar, Revana menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Air mata mengalir begitu saja. Ia menatap langit-langit kamar, suaranya lirih bergetar.
“Kalau aku menerimanya… hidup Ayah dan Ibu akan terjamin. Aku tidak perlu lagi takut besok tabunganku habis. Tapi… apa aku tega menikah dengan suami orang? Apa aku sanggup menanggung dosanya?”
Di satu sisi, ia ingin mempertahankan harga dirinya. Tapi di sisi lain, wajah orangtuanya, terutama Ayah yang sakit, terus menghantui pikirannya.
Untuk pertama kalinya, Revana mulai benar-benar menimbang lamaran Adrian dengan serius.
...⚘️☘️⚘️☘️...