JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. JERITAN SADEWA
Kamar itu semakin terasa sempit. Seolah-olah dindingnya bergerak, merapat, dan menutup ruang bernapas Sadewa. Bau lembap bercampur dengan keringat dingin yang mengalir deras dari tubuhnya. Tirai jendela berkibar perlahan meski tak ada angin. Gelap malam menyusup, menyatu dengan tatapan-tatapan tak kasat mata yang Sadewa tahu kini sedang mengawasinya.
Sejak mata batinnya benar-benar terbuka, dunia yang ia kenal runtuh. Batas antara nyata dan gaib tercerabut begitu saja, meninggalkan dirinya dalam pusaran horor tanpa jeda. Tiap kali ia memejamkan mata, suara-suara bisikan datang, penuh nada ancaman, penuh dendam. Tiap kali ia membuka mata, bayangan-bayangan pucat berdiri di sudut kamar, dengan wajah hancur, mata kosong, dan senyum yang terlalu lebar untuk ukuran manusia.
Sadewa menggenggam rambutnya erat, tubuhnya bergetar hebat.
"Pergi! Pergi!" teriaknya, suaranya serak, hampir tidak terdengar manusiawi. Namun tak ada yang benar-benar pergi. Justru mereka mendekat, semakin dekat, hingga ia bisa merasakan embusan napas dingin di telinganya.
Ibunya, Retno, mendengar teriakan itu dari ruang tamu. Malam itu bukan yang pertama. Sudah berhari-hari Retno harus menahan air mata, mendengarkan putranya merintih, menjerit, bahkan kadang pingsan di lantai. Ia mencoba mengetuk pintu, namun Sadewa tak pernah membukanya. Dan ketika ia mendobrak masuk, pemandangan yang ia dapati selalu sama: Sadewa terkapar, wajah pucat, keringat membasahi tubuh, dengan mata yang menatap kosong ke langit-langit.
Di kamar, Sadewa merasakan lantai bergetar di bawah tubuhnya. Ia mencoba berdiri, namun lututnya tak sanggup menopang. Ia merangkak ke sudut kamar, memeluk kedua lututnya erat-erat. Lalu terdengar suara ... bukan dari luar, bukan dari pintu, bukan pula dari ibunya. Suara itu bergema langsung di kepalanya.
Sadewa ....
Suara itu berat, berlapis, seakan datang dari kedalaman bumi. Sadewa menutup telinga dengan kedua tangannya, berteriak lebih keras. "Diam! Diam! Aku nggak mau dengar!"
Namun suara itu tak berhenti. Justru semakin keras, semakin dekat, sampai Sadewa merasa suara itu berbisik tepat di balik bola matanya.
Sekarang kau melihat kami ....
Sekarang kau tak bisa berpaling ....
Bayangan berkelebat di hadapannya. Seorang perempuan berambut panjang, basah meneteskan air hitam, berdiri di depan pintu kamarnya. Matanya kosong, mulutnya robek hingga ke pipi. Ia tersenyum, mengangkat tangannya yang penuh belatung, lalu menunjuk Sadewa.
Sadewa meraung. Ia mendorong tubuhnya ke dinding, mencoba menjauh, meski tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi. Napasnya memburu, jantungnya menghantam tulang rusuk.
Tiba-tiba, lampu kamar berkelip. Sekali, dua kali, lalu padam. Gelap gulita melingkupi ruangan. Sadewa menggigil. Ia tahu, dalam gelap, mereka lebih bebas.
Benar saja, dalam kepekatan itu, Sadewa mulai mendengar langkah-langkah kaki. Perlahan. Teratur. Mendekat. Langkah itu berputar mengitari tubuhnya yang meringkuk di sudut kamar. Ia bisa merasakan lantai berderit setiap kali langkah itu jatuh.
"Jangan ... jangan mendekat," suara Sadewa pecah.
Sesuatu menyentuh pundaknya. Dingin. Licin. Panjang seperti jemari, tapi terlalu kurus, terlalu banyak. Sadewa menjerit sekencang-kencangnya.
Retno langsung berdiri dari sofa. Jantungnya hampir copot mendengar jeritan itu. Ia berlari menuju kamar anaknya, menubruk pintu berulang kali.
"Dewa! Nak, buka pintunya! Tolong buka pintunya!" Retno hampir menangis.
Namun yang terdengar hanya suara benturan, suara barang-barang jatuh di dalam kamar, dan jeritan Sadewa yang semakin kacau. Retno panik, ia meraih kunci cadangan di lemari, membuka pintu dengan tangan gemetar.
Ketika pintu terbuka, Retno menemukan Sadewa terkapar di lantai, matanya terbalik, bibirnya bergetar seperti menggumamkan sesuatu. Udara kamar begitu dingin, menusuk tulang, padahal AC mati. Retno mendekap tubuh anaknya, mengguncangnya berkali-kali.
"Dewa! Nak, sadar, tolong sadar!" Retno berusaha membangunkan putranya.
Sadewa tiba-tiba terbatuk keras, lalu menjerit lagi, "Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!" Ia menepis pelukan ibunya dengan tenaga panik, membuat Retno terlempar ke belakang. Mata Sadewa menatap ke arah yang tak terlihat Retno. Pandangan itu begitu penuh teror, seakan ia sedang menyaksikan sesuatu yang tak mampu manusia biasa lihat.
Malam itu tak berakhir dengan tenang. Sadewa terjebak dalam siklus menjerit, terdiam, lalu menjerit lagi. Kadang ia memukul dinding, kadang merobek kulit lengannya sendiri. Retno hanya bisa menangis di depan pintu, tak berani lagi mendekat.
Sadewa di dalam kamar kini benar-benar kehilangan pijakan pada realitas. Suara-suara semakin banyak. Ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang menyebut namanya berulang-ulang. Di antara semua itu, satu suara terdengar paling jelas:
Sadewa, kau milik kami sekarang ....
Dari kegelapan kamar, sosok-sosok itu keluar satu per satu. Ada anak kecil tanpa wajah, merangkak dengan tubuh patah. Ada lelaki tua dengan leher tergantung tali, tubuhnya melayang. Ada wanita bergaun putih penuh darah, berjalan mendekat dengan kaki terbalik. Mereka semua menatap Sadewa.
Tubuh Sadewa membeku. Ia ingin lari, tapi kakinya berat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menangis tanpa suara, air matanya mengalir deras, jatuh ke lantai.
Mereka terus mendekat. Napas dingin memenuhi ruangan. Sadewa tahu, ia tak mungkin lolos.
Sadewa masih meringkuk di sudut, tubuhnya gemetar hebat. Suara-suara itu kini tak hanya datang dari kepalanya, tapi juga dari segala penjuru kamar. Dinding seolah bergema dengan jeritan. Lantai seolah bernapas, naik-turun dengan ritme yang aneh. Tirai bergerak liar padahal jendela terkunci rapat.
Ia berusaha menutup mata, tapi itu justru membuat semuanya lebih nyata. Dalam gelap kelopak matanya, wajah-wajah hancur berjejer. Ada yang tanpa bola mata, ada yang rahangnya patah, ada yang terus tersenyum dengan gigi penuh darah. Mereka berdesakan, memelototinya.
"Berhenti ... tolong berhenti ... aku nggak kuat lagi," isak Dewa pelan.
Namun suara anak kecil tiba-tiba menjawab, sangat dekat, seolah tepat di samping telinganya.
"Main sama aku, Kak."
Sadewa menoleh spontan. Di sampingnya, seorang anak kecil duduk bersila, tubuhnya pucat kebiruan. Bola matanya hilang, hanya rongga hitam yang menganga. Senyumnya lebar, meneteskan darah dari sudut bibir.
Sadewa berteriak sekencang mungkin, merangkak ke arah pintu. Tangannya menggapai-gapai gagang pintu, namun sesuatu menahan kakinya. Ia menoleh, dan hampir pingsan melihat tangan kurus panjang keluar dari bawah ranjang, mencengkeram pergelangan kakinya erat-erat. Tangan itu penuh kuku panjang yang menusuk kulit, menimbulkan darah segar.
"Aaaarghhh! Lepaskan aku! Lepaskan!" raung Sadewa.
Ia menendang sekuat tenaga, meronta seperti binatang terperangkap. Akhirnya cengkeraman itu terlepas, tapi meninggalkan bekas luka menganga di kulitnya. Sadewa terguling, menabrak meja belajar, menjatuhkan buku-buku ke lantai.
Ibunya yang masih di luar kamar mendengar semua keributan itu. Ratna mengetuk pintu keras-keras, suara paniknya terdengar hampir histeris.
"Dewa! Nak, apa yang terjadi?! Tolong buka pintunya, Ibu mohon! Jangan buat Ibu khawatir begini!" Panik Retno.
Namun Sadewa tak bisa menjawab. Napasnya tersengal, matanya liar, dan di depannya kini berdiri sosok yang paling menyeramkan malam itu.
Seorang lelaki, tinggi menjulang, mengenakan jas hitam kusam yang robek-robek. Kepalanya bukan kepala manusia, melainkan tengkorak dengan daging membusuk menggantung. Dari lubang matanya, api hitam berkilat. Suaranya berat, menghantam langsung dada Sadewa.
Sadewa ....
Sekarang kau bisa melihat kami. Kau akan melihat sampai akhir hidupmu ....
Sadewa terisak, lututnya lemas. "Aku ... aku tidak mau! Kembalikan aku seperti dulu! Tolong, aku tidak mau melihat ini!"
Sosok itu tertawa rendah, menggema, membuat bulu kuduk berdiri.
Terlambat. Kau sudah membuka pintu. Dan pintu itu takkan pernah tertutup lagi ....
Malam terasa panjang, seakan-akan jam tak bergerak. Sadewa akhirnya jatuh pingsan di lantai, tubuhnya gemetar meski tak sadar. Retno yang berhasil masuk kamar mendekap tubuh anaknya erat, menangis tanpa suara. Air matanya jatuh membasahi rambut Sadewa.
Namun bahkan dalam pingsannya, Sadewa tidak bebas. Ia terseret ke dalam mimpi yang lebih menyeramkan daripada kenyataan.
Ia berdiri di sebuah lorong panjang, gelap, basah. Dinding lorong itu penuh coretan darah yang membentuk simbol-simbol aneh. Bau busuk menusuk hidung. Dari ujung lorong terdengar suara langkah kaki menyeret.
Sadewa berlari, kakinya menghantam genangan air dingin. Namun sejauh ia berlari, lorong itu tak pernah berakhir. Suara langkah semakin dekat, dan ketika ia menoleh, ia melihat bayangan hitam raksasa, tinggi hingga menyentuh langit-langit lorong. Bayangan itu memiliki banyak tangan, ratusan, menjulur-julur mencoba meraih dirinya.
"Tidak! Jangan sentuh aku!" Sadewa menjerit dalam mimpi.
Namun tangan-tangan itu berhasil mencengkeram bahunya, menariknya mundur. Ia berteriak sampai tenggorokannya perih.
Pagi menjelang, tapi cahaya matahari tak mampu mengusir kegelapan di hati Sadewa. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat seperti orang sakit keras. Retno menyiapkan bubur dan segelas air hangat, berusaha membujuknya makan.
"Nak, kamu harus makan sedikit. Tolong, demi Ibu," suaranya lirih penuh kasih.
Namun Sadewa hanya menatap sendok di tangan ibunya, lalu kembali memelototi sudut ruangan. Matanya melebar, tubuhnya menegang.
"Ibu ... lihat itu ... lihat! Mereka ada di sana! Mereka menatap kita!"
Retno menoleh ke arah yang ditunjuk anaknya. Tapi ia hanya melihat dinding kosong. Air matanya semakin deras.
"Tidak ada apa-apa, Dewa ... tidak ada apa-apa, itu cuma bayangan pikiranmu."
Sadewa menggeleng keras. "Nggak! Mereka nyata! Mereka ada di sini, Bu! Aku ... aku nggak kuat lagi ... aku takut."
Tangannya menggenggam lengan ibunya kuat-kuat, hingga kuku-kukunya hampir menembus kulit. Retno meringis kesakitan, tapi ia tak melepas genggaman anaknya.
"Mereka mau aku ikut, Bu. Mereka bilang aku milik mereka," suara Sadewa parau, matanya kosong.
Retno mendekap wajah anaknya, menempelkan keningnya. "Nggak, Dewa. Kamu milik Ibu. Kamu anak Ibu. Kamu nggak akan pergi ke mana pun. Ibu akan jaga kamu."
Namun Sadewa hanya menangis, suaranya patah. "Ibu nggak bisa melihat mereka. Ibu nggak bisa mendengar mereka ... aku sendirian di sini."
Hari-hari berikutnya berubah menjadi siksaan. Sadewa semakin jarang keluar kamar. Tubuhnya kurus, matanya cekung, kulitnya pucat. Jeritan dan tangisan di malam hari menjadi rutinitas. Retno mencoba menghubungi dokter, ustaz, bahkan orang pintar. Tapi tak satu pun yang mampu menenangkan Sadewa.
Setiap malam, teror datang dengan cara berbeda. Kadang suara langkah di langit-langit. Kadang bayangan melintas cepat di depan matanya. Kadang suara-suara berbisik dari dalam cermin.
Yang paling membuat Sadewa hampir gila adalah ketika bayangan itu menyentuhnya. Rasa dingin seperti es, bercampur bau busuk tanah kuburan. Tubuhnya gemetar tiap kali itu terjadi.
Ia tak lagi bisa membedakan mana nyata, mana halusinasi. Kadang ia merasa ibunya sendiri adalah salah satu makhluk itu. Pernah suatu malam ia menatap wajah Ratna, lalu berteriak histeris, "Kau bukan Ibu! Pergi! Jangan samarkan dirimu jadi Ibu!"
Retno hanya bisa menangis, memeluk anaknya meski ditolak.
Hujan deras mengguyur kota. Petir menyambar, kilatan cahayanya masuk ke kamar Sadewa yang gelap. Retno tertidur di kursi dekat pintu, tubuhnya lelah karena beberapa malam tak istirahat.
Sadewa terbangun karena suara berisik di atas ranjang. Ia menoleh, dan hampir kehilangan akal sehat.
Di ranjangnya, seekor tubuh manusia tanpa kepala duduk. Tubuh itu bergerak pelan, mengeluarkan suara napas berat. Darah menetes dari lubang leher yang kosong. Tubuh itu menoleh padanya meski tak punya kepala, lalu perlahan merangkak turun dari ranjang.
Sadewa terpaku, tak bisa bergerak. Kakinya kaku, suaranya hilang. Tubuh tanpa kepala itu berjalan menuju dirinya, darah menetes di lantai setiap langkahnya.
Akhirnya Sadewa menjerit panjang, begitu keras hingga membuat Retno terbangun ketakutan. Retno berlari ke arah anaknya, tapi Sadewa sudah terduduk di lantai, wajahnya pucat pasi, mulutnya bergetar tanpa suara.
Retno mengguncang tubuh anaknya. "Nak! Bangun! Tidak ada apa-apa! Itu cuma mimpi!"
Namun Sadewa hanya menatap sudut ruangan. Matanya melebar, pupilnya mengecil. Dengan suara hampir tak terdengar, ia berbisik, "Mereka ... udah di sini, Bu. Mereka ... nggak akan pernah pergi."
Kehidupan Sadewa runtuh. Ia kehilangan dirinya perlahan, larut dalam dunia yang tak bisa dijelaskan akal. Dan ibunya hanya bisa menyaksikan, tak berdaya, bagaimana putranya dicabik-cabik oleh teror yang tak terlihat mata biasa.
Malam-malam berikutnya, Retno mulai takut tidur. Ia takut jika tiba-tiba suara Sadewa berhenti, bukan karena tenang, melainkan karena sesuatu telah membawanya pergi.
Di dalam kamar itu, Sadewa terus berperang dengan kengerian. Dan satu hal semakin jelas: pintu mata batin yang terbuka sudah tak bisa ditutup lagi. Dunia gaib kini menempel padanya, mengintai, menggerogoti, menunggu saat yang tepat untuk menyeretnya ke kegelapan abadi.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???