Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Identitas yang tersembunyi
"Deal." Mr. Chen Wei Long menyerahkan koper hitam berisi uang cash kepada Bos Heri setelah 'memeriksa' Najwa dan Sinta dengan cara yang sangat menjijikkan. "Satu juta dollar untuk kedua gadis ini. Sesuai kesepakatan."
Bos Heri membuka koper dan matanya berbinar melihat tumpukan uang dollar yang tersusun rapi. Aroma kertas uang segar tercium kuat dari koper itu. "Pleasure doing business with you, Mr. Chen. Mereka sepenuhnya milik Anda sekarang."
"Good. Siapkan mobil untuk ke bandara." Mr. Chen memerintahkan dengan suara dingin yang membuat Najwa dan Sinta merinding ketakutan. "Kita berangkat ke Hong Kong malam ini juga."
"Riski, siapkan van untuk mengangkut 'barang' ke bandara!" Bos Heri berteriak pada anak buahnya.
Najwa dan Sinta diseret ke van lain yang lebih mewah. Interior van sudah dimodifikasi khusus untuk mengangkut "cargo hidup". Bau kulit sintetis dan pengharum mobil menyengat hidung mereka.
Mereka ditempatkan di kompartemen tertutup yang gelap dan pengap. Tangan dan kaki masih terikat kencang dengan mata tertutup kain hitam. Udara di dalam kompartemen terasa panas dan lembab.
"Sin, kamu oke?" Najwa berbisik di kegelapan sambil berusaha mencari tangan sahabatnya.
"Aku takut banget, Najwa." Sinta menangis dalam diam. "Cara dia menatap kita tadi... ngeri banget."
"Kita harus tetap kuat, ya. Pasti ada jalan keluar dari ini."
Perjalanan terasa sangat lama dan menyiksa. Najwa mencoba memperkirakan arah berdasarkan belokan dan suara lalu lintas. Suara klakson mobil dan motor terdengar dari luar. Tapi dia semakin bingung karena rute yang dilalui tidak seperti jalan menuju bandara.
"Aneh deh, kenapa jalannya ke arah Jakarta gini?" Najwa bergumam pelan.
Setelah hampir dua jam perjalanan, van berhenti di tempat yang terasa berbeda. Udara yang masuk ketika pintu dibuka tidak berbau seperti bandara. Lebih seperti... hotel mewah dengan aroma parfum ruangan yang mahal.
"Turunkan mereka dengan hati-hati," suara Mr. Chen terdengar dari luar. "Jangan sampai ada yang melihat."
Najwa dan Sinta dibawa melalui lorong belakang hotel yang dingin. Lantai terasa licin di bawah kaki mereka. Mereka naik lift service yang berbau pembersih lantai yang menyengat. Suara lift bergerak naik dengan pelan, membuat perut mereka bergejolak.
"Dudukkan mereka di sofa," Mr. Chen memerintahkan setelah memastikan pintu terkunci dengan bunyi klik yang keras. "Dan lepas penutup mata mereka."
Ketika kain hitam di mata mereka dilepas, cahaya terang langsung menyilaukan. Najwa dan Sinta mengerjapkan mata berkali-kali. Mereka terkejut melihat diri berada di suite hotel yang sangat mewah. Bukan di pesawat menuju Hong Kong seperti yang mereka kira.
Pemandangan kota Jakarta terhampar luas dari jendela besar. Lampu-lampu gedung berkilauan di kejauhan. Udara ruangan sejuk dengan AC yang dingin.
"Selamat datang di Jakarta." Mr. Chen berkata sambil melepas jas hitamnya.
"Jakarta?" Najwa bertanya dengan bingung. "Bukannya kita mau dibawa ke Hong Kong?"
"Change of plans." Mr. Chen berjalan ke telepon hotel dan menelepon seseorang. "Sir, the packages have been delivered safely to the suite. Yes sir, both of them are here."
Najwa dan Sinta saling berpandangan. Keringat dingin mulai mengalir di punggung mereka. Ada yang sangat aneh dengan situasi ini. Mr. Chen seperti melaporkan kepada seseorang.
"Lepas ikatan mereka," Mr. Chen memerintahkan anak buahnya setelah selesai menelepon.
"Tapi Boss, gimana kalau mereka kabur?"
"Lantai 50, jendela gak bisa dibuka, pintu dikunci dari luar pake kartu akses khusus." Mr. Chen menjawab sambil menatap keluar jendela. "Mau kabur kemana?"
Setelah tangan dan kaki mereka dilepas, Najwa langsung memeluk Sinta yang masih gemetar ketakutan. Kulit Sinta terasa dingin dan basah karena keringat. Detak jantung mereka berdua masih sangat kencang.
"Kalian pasti lapar," Mr. Chen menunjuk meja makan yang sudah disiapkan dengan berbagai makanan mewah. Aroma steak dan pasta tercium dari arah meja. "Aku udah pesan room service."
"Kami gak mau makan apapun dari kamu," Najwa berkata dengan keras meski suaranya bergetar.
"My boss bilang kalian harus makan untuk menjaga stamina," Mr. Chen mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu. "Besok akan jadi hari yang sangat penting."
Bunyi notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya. Mr. Chen membaca pesan itu dengan seksama.
"Boss ku akan datang besok pagi. Dia ingin ketemu langsung sama kalian." Mr. Chen berkata sambil menatap Najwa dengan pandangan aneh yang sulit diartikan.
"Siapa boss kamu?" Najwa bertanya dengan nada menantang. "Orang yang lebih bejat dari kamu?"
Mr. Chen terdiam sejenak. Wajahnya menunjukkan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Kalian akan tahu besok. Tapi... dia bukan seperti yang kalian kira."
Malam itu, Mr. Chen tidur di kamar terpisah dan mengunci pintu dari dalam. Bunyi kunci berputar terdengar jelas. Najwa dan Sinta tidak bisa tidur karena ketakutan dan kebingungan. Udara malam terasa dingin meski AC sudah dimatikan. Mereka bergantian jaga-jaga, takut terjadi sesuatu yang mengerikan.
"Najwa, kenapa kita gak dibawa ke Hong Kong?" Sinta berbisik sambil memeluk Najwa. "Kenapa malah ke hotel mewah di Jakarta gini?"
"Aku juga gak ngerti, Sin." Najwa membalas bisikan sambil membelai rambut sahabatnya. "Dan kenapa Mr. Chen kayak nungguin perintah dari boss nya? Bukankah dia yang harusnya jadi boss?"
"Pokoknya ada yang aneh banget sama semua ini."
Baru menjelang subuh, karena kelelahan luar biasa setelah mengalami trauma penculikan dan perjalanan panjang, Najwa akhirnya tertidur di sofa sambil memeluk Sinta. Napas mereka mulai teratur meski masih sesekali tersendat.
Ketika terbangun, matahari sudah tinggi. Cahaya emas pagi menerangi suite mewah itu dengan hangat. Najwa mengerjapkan mata berkali-kali. Masih tidak percaya bahwa dia berada di tempat seperti ini.
"Sin, bangun," Najwa menggoyangkan sahabatnya pelan. "Udah pagi."
Sinta terbangun dengan mata bengkak karena menangis sepanjang malam. Kelopak matanya merah dan sembab. "Najwa, ini bukan mimpi kan?"
"Sayangnya bukan, Sin."
Tiba-tiba terdengar suara pintu utama suite dibuka dengan kartu akses. Bunyi beep elektronik terdengar jelas. Mr. Chen masuk bersama seorang pria tinggi berkemeja putih dan celana hitam yang sangat rapi.
Pria itu berusia sekitar 45 tahun dengan wajah yang sangat tampan meski sudah mulai menua. Rambutnya tersisir rapi dengan sedikit uban di bagian samping. Matanya hangat tapi penuh dengan kesedihan mendalam.
"Sir, ini mereka," Mr. Chen melaporkan kepada pria itu dengan nada yang sangat hormat.
Pria itu berjalan mendekat dengan langkah yang pelan dan hati-hati. Sepatu kulit hitamnya berdetak pelan di lantai marmer. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Najwa. Ada sesuatu dalam pandangan matanya yang sangat intens. Seperti sedang melihat hantu dari masa lalu.
"Terima kasih, Chen," pria itu berkata dengan suara yang bergetar. "Kamu udah melakukan pekerjaan yang sangat baik. Sekarang tinggalin kami sendirian."
"Baik, Sir." Mr. Chen membungkuk hormat dan keluar dari suite. Bunyi pintu tertutup meninggalkan Najwa dan Sinta sendirian dengan pria misterius itu.
"Jangan takut," pria itu berkata dengan lembut sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan sofa. "Aku gak akan nyakitin kalian."
"Siapa kamu?" Najwa bertanya dengan suara bergetar sambil melindungi Sinta di belakangnya. "Boss dari si bejat itu?"
"Chen bukan orang bejat. Dia cuma nyamar buat nyelamatin kalian dari Bos Heri."
"Nyelamatin?" Sinta berteriak dari belakang Najwa. "Dia udah BELI kami pake uang!"
"Karena itu satu-satunya cara buat dapetin kalian dari tangan Bos Heri tanpa bikin curiga," pria itu menjelaskan dengan sabar. "Chen adalah agen terbaik ku."
"Agen?" Najwa semakin bingung. Kepalanya terasa pusing mencoba memahami situasi.
Pria itu menarik napas panjang. Dadanya naik turun dengan berat. Seperti sedang mempersiapkan mental untuk mengatakan sesuatu yang sangat penting dan mengubah hidup.
"Nama ku David Diningrat," katanya pelan. "CEO Nexus Liberty Corporation."
Najwa merasakan darah di wajahnya mengalir turun. Nexus Liberty. Perusahaan teknologi terkaya nomor satu di dunia yang namanya selalu muncul di berita. Musuh bebuyutan Immortal Whitening Corporation.
"Nexus Liberty?" Najwa berkata dengan tidak percaya. "Perusahaan yang selalu berantem sama Immortal Whitening?"
"Bukan cuma berantem. Immortal Whitening adalah musuh terbesar ku," David menjelaskan dengan nada serius. "Mereka pake bisnis trafficking buat dapetin dana operasi gelap. Termasuk berkali-kali nyoba hancurin perusahaan ku."
"Tapi kenapa CEO perusahaan terkaya di dunia mau repot-repot nyelamatin kami?" Sinta bertanya dengan polos.
David menatap Najwa dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Air mata sudah mulai terkumpul di pelupuk matanya. "Karena aku udah nyari Najwa selama sebelas tahun."
"Nyari aku?" Najwa merasa jantungnya berdetak sangat kencang. "Kenapa?"
"Karena kamu adalah anak perempuan satu-satunya ku yang hilang pada tanggal 15 Maret 2011." Suara David bergetar penuh emosi. "Saat itu kamu berusia lima tahun."
Suasana ruangan tiba-tiba menjadi sangat hening. Hanya terdengar suara AC yang berderik pelan. Najwa dan Sinta menatap David dengan mata terbelalak. Mulut mereka menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"APAAAAA?!" Najwa dan Sinta berteriak bersamaan.
"Nama asli mu bukan Najwa Kusuma," David melanjutkan dengan air mata yang mulai mengalir. "Nama asli mu adalah Lia Diningrat. Putri dari David Diningrat, CEO Nexus Liberty Corporation."
Najwa merasakan seluruh dunianya runtuh seketika. Lantai terasa bergoyang di bawah kakinya. "GAAAK MUNGKIN! Aku anak Hasan Kusuma! Kamu salah orang!"
"Kamu punya tanda lahir berbentuk bulan sabit kecil di pergelangan tangan kiri," David berkata sambil menunjuk tangan Najwa.
Najwa langsung melirik pergelangan tangannya. Tanda lahir itu memang ada. Dia selama ini tidak pernah memikirkannya.
"Kamu juga punya bekas luka kecil di lutut kanan," David melanjutkan. "Dari jatuh waktu belajar naik sepeda di halaman rumah kita di Singapura."
Mata Najwa melebar. Bekas luka itu memang ada. Dan dia selalu merasa aneh kenapa dia tidak ingat kapan dan bagaimana lukanya itu terjadi.
"Dan..." David mengangkat tangannya yang gemetar, "kamu dulu punya boneka kelinci pink bernama Mr. Fluffy yang selalu kamu peluk waktu tidur."
Tiba-tiba, seperti pintu yang terbuka paksa, kilasan-kilasan memori yang sangat samar mulai bermunculan di kepala Najwa. Seorang pria tinggi yang menggendongnya di taman yang luas dengan bunga-bunga warna-warni. Seorang wanita cantik berambut panjang yang menyanyikan lagu pengantar tidur dengan suara merdu.
Boneka kelinci pink yang sangat lembut dan berbau parfum lembut. Suara ledakan keras yang sangat menakutkan. Api besar yang panas membakar kulit. Air laut yang asin masuk ke mulut dan hidung.
"Tidak..." Najwa berbisik sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit luar biasa. "Ini gak mungkin..."
"Lia, anak ku..." David berdiri dan mendekat dengan hati-hati. Air matanya mengalir sangat deras. "Aku udah nyari kamu ke mana-mana. Tapi baru beberapa bulan lalu aku dengar berita tentang penghancuran cabang trafficking Indonesia."
"NAJWA!" Sinta langsung melompat dan memeluk sahabatnya yang tampak akan pingsan karena shock berat. "Najwa, tenang! Napas pelan-pelan!"
"Sin..." Najwa menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar. "Selama ini... aku bukan siapa yang aku kira?"
"Keluarga Hasan Kusuma memang nyelamatin kamu, Lia," David berkata dengan suara lembut sambil berlutut di hadapan kedua gadis itu. "Tapi mereka gak pernah lapor ke polisi bahwa mereka nemuin anak kecil yang selamat dari kecelakaan kapal."
"Kecelakaan kapal?" Najwa bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Kapal pesiar pribadi kita karam dalam perjalanan dari Singapura ke Batam pada 15 Maret 2011," David harus berhenti bicara sebentar untuk menahan tangisnya. "Aku gak ikut karena ada meeting mendadak. Ibumu, Melissa Diningrat, dan kamu ada di kapal itu."
Najwa merasakan dadanya sesak dan sulit bernapas. Memori-memori samar mulai bermunculan seperti puzzle yang perlahan tersusun. Suara orang-orang berteriak panik. Air laut yang dingin dan asin. Kayu kapal yang patah dan mengapung. Rasa sakit di seluruh tubuh.
"Hasan Kusuma waktu itu kerja sebagai nelayan di pantai Batam," David melanjutkan. "Dia nemuin kamu terdampar di pantai dalam kondisi gak sadarkan diri dengan luka parah di kepala."
"Terus kenapa Pak Hasan gak lapor?" Sinta bertanya sambil masih memeluk Najwa yang gemetar hebat.
"Karena saat itu, Hasan dan istrinya Siti Masitoh baru aja kehilangan anak perempuan mereka yang juga namanya Najwa karena sakit," David menghapus air matanya. "Ketika liat Lia yang gak ingat apa-apa karena amnesia parah... mereka ngeliat kesempatan buat dapetin anak lagi."
"Jadi mereka... mereka sengaja gak lapor?" Najwa bertanya dengan suara bergetar.
"Ya. Mereka bawa kamu ke dukun kampung buat ngobatin luka kamu. Dan ketika kamu bangun udah gak ingat siapa diri kamu sebenarnya..."
Tiba-tiba memori-memori lain mulai berdatangan ke kepala Najwa. Memori yang menyakitkan. Hasan Kusuma yang mabuk dan memukul dia dengan kayu. Aroma alkohol dan rokok yang menyengat. Teriakan marah karena kalah judi.
Siti Masitoh yang hanya diam saat Najwa dipukuli. Rumah yang kumuh dan pengap. Tidak ada makanan yang cukup. Najwa kecil yang menangis minta tolong tapi tidak ada yang memedulikan.
"Oh Tuhan..." Najwa menangis sangat keras. "Pak Hasan... dia sering mukul aku. Dia pemabuk, penjudi, perokok. Aku sering kelaparan."
David langsung berdiri dan memeluk Najwa dengan erat. Tubuhnya bergetar menahan amarah dan kesedihan. "Maafkan aku, Lia. Maafkan Ayah yang gak bisa melindungi kamu selama ini."
"Ayah..." kata itu keluar dari bibir Najwa untuk pertama kalinya kepada David. Air matanya mengalir seperti air terjun. "Selama ini aku pikir... aku pikir gak ada yang sayang sama aku."
"Ada, sayang. Ayah selalu sayang sama Lia," David menangis sambil mencium kepala Najwa. "Setiap hari Ayah berdoa semoga kamu masih hidup di suatu tempat."
Sinta ikut menangis melihat pertemuan ayah dan anak yang sangat mengharukan. "Najwa... eh, Lia... kamu beneran anak orang terkaya di dunia?"
David mengangguk sambil tersenyum di antara air matanya. "Nexus Liberty Corporation punya aset lebih dari 500 miliar dollar. Dan Lia adalah pewaris tunggal dari semuanya."
"Gak percaya..." Najwa masih menangis dalam pelukan ayah kandungnya. "Selama ini aku pikir aku anak gak punya apa-apa. Ternyata..."
"Ternyata kamu putri yang paling berharga di dunia," David berkata sambil menghapus air mata di pipi Najwa. "Dan sekarang Ayah gak akan pernah biarkan siapapun nyakitin kamu lagi."
"Tunggu," Najwa tiba-tiba teringat sesuatu penting. "Kamu bilang Immortal Whitening itu musuh kamu. Berarti organisasi trafficking yang nculik kami..."
"Adalah strategi jahat mereka buat ngehancurin Ayah," David mengepalkan tangannya dengan keras. "Begitu mereka tau bahwa anak Ayah yang hilang berhasil ngehancurin cabang trafficking Indonesia, mereka langsung ngerencanain buat nangkap kamu."
"Jadi tanpa sadar aku terlibat dalam perang bisnis dua perusahaan terbesar di dunia?" Najwa menatap David dengan masih tidak percaya.
"Ya, Lia. Tapi sekarang dengan kembalinya kamu..." David tersenyum dengan penuh kelegaan dan kebahagiaan. "Perang itu akan berakhir dengan kemenangan kita."