Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Apa Aja Mau, Asal Jangan Rugi!
Tahun ini musim dinginnya terasa lebih menusuk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Padahal bulan besar belum masuk, tapi hawa dinginnya udah bikin menggigil! Begitu keluar rumah, Mu Cheng dan putrinya langsung disambut angin yang menusuk wajah dan menyelinap masuk ke dalam baju. Tapi walau dingin begitu, semangat warga desa buat pergi ke pasar tetap tinggi.
Baru sampai di jalanan, Mu Cheng dan anaknya udah lihat banyak warga desa yang bergerombol menuju pasar. Pas lihat Mu Cheng bawa keranjang bambu dan mau ikut ke pasar, mereka langsung kaget. Orang yang setahun lebih cuma bisa tiduran kok sekarang bisa jalan-jalan ke pasar juga? Bukannya baru beberapa hari lalu dia baru bisa duduk sendiri?
Di antara kerumunan itu ada Tabib Xiao. Hari ini dia juga mau ke toko obat di kota buat beli lagi beberapa bahan. Waktu ayahnya masih hidup, dia dulu praktek di toko obat itu. Harga obat dan jasanya memang lebih murah dibanding klinik Ji Shi Tang, makanya banyak tabib dari desa sekitar ambil obat dari sana.
Pas lihat Mu Cheng juga naik ke gerobak sapi, Tabib Xiao langsung menghampiri, “Kakak Mu, pinggangmu udah sembuh total?”
Mu Cheng mengangguk, “Iya, udah sembuh banget. Ini semua juga berkat bantuanmu waktu itu. Kalau nggak ada kamu, mungkin sampai sekarang aku masih tergolek di tempat tidur.”
Dulu waktu Mu Cheng jatuh dan pinggangnya parah, pulang-pulang bagian belakang tubuhnya lebam semua. Tabib Xiao langsung nyaranin ke kota buat berobat lebih lanjut. Tapi keluarga Liu nggak punya uang. Keluarga mereka memang susah dari dulu, dan sejak kejadian itu makin susah hidupnya. Karena kasihan, Tabib Xiao kasih obat pelancar darah dan pereda bengkak selama beberapa hari. Bahkan sempat ngasih salep dan beberapa kali antar obat ke rumah, tanpa minta bayaran. Tapi karena dia juga harus menghidupi keluarga, begitu kondisi Mu Cheng stabil, dia berhenti kirim obat. Utangnya baru lunas pas Mu Yao transmigrasi ke dunia ini.
Keluarga Mu nggak pernah lupa jasa baik itu. Makanya setiap kali Mu Yao dapat hasil buruan, Liu pasti yang pertama ngirimin ke rumah Tabib Xiao. Kadang ngasih kelinci liar utuh, kadang jamur segar yang udah dibersihin. Malam sebelumnya mereka bahkan baru ngirimin satu batang besar akar manis. Istri Tabib Xiao sampai merasa keluarga Mu terlalu baik. Dia sering pesan ke suaminya, “Kamu harus jadi tabib yang jujur, jangan cari uang yang nggak halal!” Kebaikan hati mereka inilah yang nanti menyelamatkan nyawa anak mereka sendiri.
Sepanjang perjalanan, Mu Cheng dan Tabib Xiao ngobrol terus, nggak terasa gerobak udah sampai di kota.
Pertama, Mu Yao dan ayahnya mampir ke toko obat. Si pelayan toko yang udah kenal langsung menyambut ramah dan mengantar mereka ke ruang belakang. Begitu lihat Mu Yao datang, Manajer Wan langsung nyuruh pelayan nyiapin teh dan nanya, “Anak manis, kali ini bawa barang bagus apaan lagi? Ayo cepet tunjukin!”
Dia bahkan ngelupain kehadiran Mu Cheng sama sekali.
Mu Yao sambil mengeluarkan barang sambil ngomong, “Ini ada ubi liar dan akar manis.”
“Cuma itu?” Nada suaranya agak kecewa.
Mu Yao cuma senyum dalam hati: nanti lihat aja kalau udah tahu barangnya seberapa bagus!
Manajer Wan baru mau minum teh, tapi tangannya berhenti di tengah jalan. Dia langsung berdiri pas lihat isi keranjang, sampai nggak sadar teh panasnya tumpah ke bajunya. Asisten pribadinya buru-buru ambil handuk buat ngelap baju sutra mahal itu. Dalam hati dia ngomel, “Kenapa setiap kali ketemu anak ini, si bos selalu hilang kontrol begini?”
Manajer Wan langsung taruh cangkir dan ambil ubi liar yang dibawa Mu Yao. Begitu lihat ukuran dan bentuknya, matanya langsung berbinar. Ubi sebesar ini, lengkap akar dan ujungnya, pasti umurnya udah lima tahun! Biasanya bahan kayak gini langka banget, apalagi yang masih utuh begini. Bahkan di toko obat di ibu kota pun jarang ada yang bisa nyamai ini!
Dia lalu periksa akar manis lainnya. Meskipun nggak seistimewa ubinya, tetap jauh lebih bagus dari akar manis biasa.
Mu Yao nanya sambil senyum, “Gimana, Manajer Wan? Puas nggak sama barangnya?”
“Puas?” Dalam hati dia udah teriak seribu kali “PUAS BANGET!” Tapi mulutnya tetap jaga harga diri, “Ubinya memang bagus, kalian juga susah payah gali, gini aja ya, aku kasih tiga ratus wen…”
Belum sempat dia selesai, Mu Yao langsung potong, “Oh, tiga ratus ya? Tapi guruku bilang di ibu kota ini bisa laku enam atau tujuh ratus loh! Ya sudahlah, mungkin mending langsung dikirim ke ibu kota aja…”
Manajer Wan: “Enam tujuh ratus? Kamu kira kamu perampok apa?! Dasar bocah, semua mau dimakan asal jangan rugi ya?!”
Mu Yao: “Betul banget! Apa aja aku makan, asal jangan rugi!”
Takut barangnya beneran dibawa pergi, Manajer Wan buru-buru nawar lagi, “Gini aja, 400 wen per jin. Tapi pikir juga, biaya kirim ke ibu kota juga nggak murah kan?”
Mu Yao pura-pura mikir, hitung jari segala. Akhirnya menghela napas dan angguk pelan, “Ya udah deh, 400 juga nggak apa-apa… walau sebenernya masih kurang sih.”
Manajer Wan: “Masih kurang katanya!!”
Dalam hati: pengen cabut jenggot sendiri rasanya!
Akhirnya, setelah ditimbang, harga totalnya gini:
Ubi besar: 7 jin 8 liang × 400 \= 3.120 wen
Ubi kecil: 2 jin 4 liang × 150 \= 360 wen
Akar manis manis: 1 jin 8 liang × 150 \= 270 wen
Akar manis biasa: 5 jin 3 liang × 120 \= 636 wen
Total: 4.386 wen \= 4 tael perak + 386 wen koin.
Setelah itu, Mu Yao minta tabib buat periksa ayahnya. Setelah dipastikan udah sembuh total, barulah dia lega.
Keluar dari toko obat, Mu Cheng tanya, “Lho, kok bisa dapat sebanyak itu ya? Jangan-jangan si manajer rugi?”
Mu Yao nyengir, “Tenang, Ayah. Itu manajer licik banget, dia nggak mungkin mau rugi!”
Mu Cheng tertawa, “Ya udah, asal kita nggak ambil untung dari orang, Ayah senang.”
Mu Yao pun mengangguk serius.
Setelah jualan, mereka mampir ke rumah makan kecil Wei Mei Ju. Mu Yao bawa satu ekor kelinci. Walaupun cuma satu, dia tahu nanti pasti bakal sering naik gunung dan hasil buruan juga makin banyak. Ini sekalian mau lihat-lihat harga pasaran.
Pas masuk, pelayan kira mereka mau makan. Tapi Mu Yao langsung bilang, “Kami bawa kelinci, bukan mau makan.”
Pelayan semangat sebentar, tapi langsung lemas lagi. Rumah makan itu sepi banget, menjelang jam makan pun baru beberapa meja terisi. Dia buru-buru panggil manajernya.
Manajernya kelihatan tinggi besar, alis tebal dan mata besar, cuma kulitnya agak gelap. Begitu dengar ada orang bawa hasil buruan, langsung datang. Lihat kelincinya besar dan berbulu mulus, dia nawar empat puluh wen per jin.
Mu Yao langsung protes, “Lho, daging babi aja 32 wen, masa kelinci cuma 40? Padahal lebih enak dari babi. Kalau segitu sih, aku ke tempat lain aja.” Dia langsung masukin kelinci ke tas dan keluar.
Manajer nggak nahan juga, karena dia tahu empat puluh itu emang kelewat murah. Lagian tokonya juga nggak rame, bisa-bisa kelinci segede itu berhari-hari nggak habis dan malah basi.
Akhirnya mereka ke restoran paling besar di kota, Zui Xian Lou. Toko itu tiga kali lebih besar dari Wei Mei Ju, bahkan sebelum jam makan udah ramai. Ada beberapa kereta mewah juga parkir di depannya, kayaknya pelanggan dari kalangan pedagang besar.
Pelayan langsung bawa Mu Yao ke dapur belakang. Manajer restoran lihat kelinci gede, bulunya licin dan tanpa luka, langsung nawar lima puluh wen per jin. Karena manajernya cepat tanggap dan tawarannya wajar, Mu Yao langsung setuju. Berat kelinci total delapan jin, jadi mereka dapet 400 wen, lumayan banget!
Setelah itu mereka mampir ke toko kulit tempat Mu Yao pesan sepatu. Nenek pemilik toko langsung kasih sepatu yang udah jadi. Sepatunya bagus banget, bahkan nggak kalah dari buatan mesin zaman modern! Mu Yao langsung cobain, makin dilihat makin suka, akhirnya langsung dipakai pulang. “Lha sepatu baru emang buat dipakai, kan?”
Sementara itu, Mu Cheng coba sepatunya tapi langsung simpan lagi, “Nanti aja deh dipakai pas Tahun Baru.”
Setelah semua urusan selesai, Mu Cheng nanya, “Nak, kamu lihat ada barang yang perlu dibeli lagi nggak? Kayaknya pasar ini lengkap juga.”
Mu Yao yang udah mikir dari rumah langsung jawab, “Ayah, penghangat arang kita udah rusak parah, aku mau beli yang baru. Sekalian beli arangnya juga. Kan cuaca makin dingin.”
Arang di masa itu mahal banget. Proses bikinnya susah, jadi cuma keluarga bangsawan yang biasa pakai. Rakyat biasa paling-paling cuma berani nyalain satu baskom kecil malam Tahun Baru. Keluarga Mu juga gitu.
Mu Cheng sebenernya nggak terlalu kedinginan, tapi dia kasihan sama anak-anaknya. Sekarang mereka nggak perlu mikirin makanan lagi, jadi dia juga ingin anak-anaknya hidup lebih enak. Apalagi semua ini berkat anak perempuannya. “Nak, kamu mau beli apa aja, Ayah dukung. Ibu kamu juga pasti nggak keberatan. Kamu itu sekarang kepala keluarga.”
Mu Yao: “Dulu di kehidupan lama aku kepala keluarga, sekarang pun sama. Cuma sekarang bawahan aku baru tiga orang, kayaknya kurang banyak!”
Akhirnya mereka beli 50 jin arang. Bayangin, beras putih cuma 15 wen per jin, sementara arang sampai 14 wen. Pantesan rakyat biasa ogah beli. Terakhir, Mu Yao beli 3 jin daging babi dan beberapa bumbu dapur.
Pulang nanti mau masak enak!