Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Chana berteriak kencang lantaran tidak terima karena Faiz sengaja menyindir masa lalunya. "Tahu dari mana gembel jalanan itu tentang masa laluku? Barra pasti yang cerita. Anak itu, umbar aib keluarga." gerutu Chana, sembari menjatuhkan bokongnya di kursi.
Bel di luar berdering, Chana tidak mau bangkit, terlebih membuka pintu. "Bibiiii..." panggilnya seperti terompet.
"Saya Nyonya" bibi rupanya sudah dekat dengannya, tanpa disuruh pun ia sebenarnya sudah mendengar. Bibi membungkuk ketika melewati Chana, hendak membuka pintu.
"Anak-anak sudah pulang Bi?" Tanya Barra. Ternyata dia yang menekan bel.
"Sudah Tuan" Bibi menjawab sembari menutup pintu.
Di dalam sepi, seolah tidak terjadi pertengkaran 15 menit yang lalu. Barra tidak menoleh walaupun tahu jika Chana duduk di sofa, andai Barra tahu seperti apa raut wajah ibu tirinya itu. Namun, dia berhenti juga ketika Chana memanggilnya, kali ini tidak dengan nada tinggi.
"Barra, harus ya, kamu menceritakan masa lalu Mama? Pada wanita macam Faiz itu" Chana tidak terima.
"Berarti sekarang kamu sudah sadar jika masa lalu kamu buruk sekali? Kalau memang baik, kamu pasti senang saya cerita seiisi rumah" Barra pun menjawab pelan, tapi menyakitkan Chana. Dia akhirnya ke kamar, berlama-lama di dekat Chana pasti ujung-ujungnya akan bertengkar lebih hebat.
Sementara itu di kamar si kembar, Faiz termenung memikirkan kata-katanya sendiri yang menyindir Chana. Seharusnya dia tidak pantas melakukan itu, tapi dia juga punya perasaan tidak seenak itu Chana menghina.
"Kenapa ya Kak, Nyonya Chana itu jika bicara mulutnya tidak dijaga" dengus Dilla sembari menyusun pakaian si kembar ke lemari.
"Namanya manusia itu tidak semuanya baik La, jika semua baik, tidak ada surga neraka." Faiz tidak mau menimpali kata-kata Dilla yang pada akhirnya akan panjang.
Tok tok tok
Faiz beranjak lalu membuka pintu, muncul Barra yang sudah mengganti kemeja dengan kaos. "Kamu kenapa?" Barra menatap mata Faiz yang masih meninggalkan jejak habis menangis.
"Tidak apa-apa Tuan" Faiz tidak mau cerita jika baru saja bertengkar dengan Chana. "Tuan sendiri tidak apa-apa kan..." Faiz menelisik anggota badan Barra yang terlihat. Wajah, kaki, dan tangan, khawatir ada yang terluka.
"Tidak apa-apa, memang saya kenapa" Barra mengeryit ketika Faiz memperhatikan tubuhnya dan juga pertanyaan Faiz seolah ia sedang pulang perang.
"Soalnya Tuan kan naik mobil orang yang menabrak saya. Saya takut Tuan bertengkar." Faiz menunjukkan rasa khawatir.
Barra mengulum senyum, ada perasaan bahagia ketika diperhatikan Faiz. "Ikut saya" titah Barra, bukan menjelaskan kekhawatiran Faiz.
Faiz mengangguk lalu mengikuti Barra ke ruang keluarga. Mereka duduk di sana berhadapan.
"Kamu kenal foto ini?" Barra memperlihatkan foto di galeri yang dikirimkan si bapak.
"Sepertinya saya tidak asing Tuan..." Faiz mengangkat handphone Barra, kemudian memperbesar foto wanita yang berpakaian pas di badan.
"Wanita ini istri Ahsan Tuan, Tuan dapat foto ini dari mana?" Faiz meletakkan hape di atas meja, lalu menatap Barra.
"Dari pemilik mobil yang parkir tadi Faiz" Barra lantas menyampaikan kecurigaannya jika istri Ahsan lah yang sengaja menabrak Faiz. Karena saat kejadian, wanita itu yang menyewa mobil si bapak.
"Masuk akal Tuan" Faiz sebenarnya sudah curiga, jika bukan Ahsan pasti wanita itu pelakunya, atau justru kerja sama. Wajah Faiz tiba-tiba murung, jika memang mantan suaminya benar pelakunya sungguh tega, walaupun selama berumah tangga sering diwarnai pertengkaran, seharusnya Ahsan tidak melakukan itu.
"Kamu jangan sedih Faiz, saya akan membantu kamu meringkus mereka jika memang terbukti" Barra rencananya nanti malam akan datang ke rumah Ahsan, lalu minta alamat lengkap Faiz.
Tentu saja Faiz senang karena Barra rupanya benar-benar ingin membantunya. Saat itu juga Faiz memberikan alamat rumah. "Terima kasih Tuan, tapi Tuan tidak sendiri kan?" Faiz menunjukkan rasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan Barra.
"Kamu tenang saja." Barra menggenggam punggung tangan Faiz di atas meja. Faiz terkejut, secepatnya menarik tangannya.
Mereka tidak tahu, jika sepasang mata memperhatikan dari depan kamar, bahkan sempat ambil gambar adegan romantis Barra. Dia lantas masuk ke kamarnya mengirimkan foto kepada seseorang.
Jam tujuh malam, selepas makan, Barra pergi di temani Abdullah dan supir yang menyetir.
"Kita mau kemana Bang?" Abdullah tidak tahu tujuan Barra, karena Barra menariknya begitu saja. Padahal biasanya selepas makan duduk santai terlebih dahulu.
"Kamu nanti juga tahu" Barra menjawab, membuat teka teki di pikiran Abdullah.
Mobil melaju sedang membelah jalan raya, supir fokus mengemudi tidak begitu mendengar perbincangan dua pria di jok belakangan. Suara mesin yang stabil, dan jalankan lancar menambah semangatnya mengarahkan kendaraan melaui jalur yang berliku, mengantar Barra bersama Abdullah sampai tujuan.
Barra melangkah keluar dari mobil mewahnya, menatap rumah sederhana yang kontras dengan kemewahan yang biasa dia nikmati. Namun, kesederhanaan rumah itu membuatnya terkesan, mungkin saja karena Faiz pemiliknya.
"Rumah siapa ini Bang?" Tanya Abdullah yang membuntuti di belakang. Dia menatap ke dalam rumah dari kaca yang belum ditutup dengan gorden. Namun tidak begitu jelas karena lampu di sana bersinar redup seperti di teras rumah itu.
"Rumah Faiz" Barra mengatakan jika ini rumah Faiz dengan suaminya yang dulu. Ia angkat tangan, kemudian mengetuk pintu. Namun, sudah berkali-kali tidak ada yang membuka.
"Mungkin pergi Bang, di rumah lampu redup gitu" Abdullah kembali melongok ke dalam melaui kaca.
Barra dan Abdullah tidak tahu jika di dalam sana suami istri yang mereka cari tengah kebingungan di dalam kamar, mencari sesuatu.
"Kemana sertifikat itu" Ahsan menarik laci lemari sudah berkali-kali tapi tidak menemukan yang dia cari.
"Mungkin kamu lupa bukan di situ simpannya, Mas." istri Ahsan menurunkan semua pakaiannya, tapi tetap tidak ada.
"Tidak mungkin di lemari itu Yang, kamu kan naroh baju itu belum lama." Ahsan akhirnya menurunkan pakaian miliknya, mungkin saja Faiz memindahkan sertifikat ke tempat lain, karena Faiz rajin beres-beres walaupun hamil besar.
"Bagaimana dong Mas..." istri Ahsan menghentakkan kakinya kesal. Calon pembeli rumah ini tidak mau tanpa sertifikat.
Benar saja, firasat Faiz jika rumah itu akan Ahsan jual.
"Pasti ulah mantan istrimu yang menyembunyikan sertifikat tanah ini, Mas." istri Ahsan benar-benar kesal.
Tok tok tok
"Ada tamu lagi, itu pasti teman-temanmu yang akan mengajak main kartu. Buka sana Mas, aku malas" istri Ahsan membanting bokongnya di tempat tidur.
"Iya, iya... aku yang buka." Ahsan meninggalkan kamar membuka pintu.
"Ka-kamu?" Ahsan gemetar menatap pria yang berdiri tegap di depan pintu.
...~Bersambung~...
ayooo trima faiz, jngan lama lama kalau mikir....
lanjut...
semangat...
terima ajaaa
mau dkasih hadiah kah.?? atau perpnjang kontrak... 🤭
lanjut kak