"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Ruang Tak Kasat Mata
Kian terdiam sejenak, pandangannya kosong seolah sedang menimbang sesuatu. Lalu, ia berpikir cepat, membentuk strategi di kepalanya.
“Tinggal di rumah ini… aku tak akan merasa bebas,” gumamnya dalam hati. “Melihat karakter Papa dan Mama, mereka pasti akan mengawasi perkembangan hubungan kami setiap saat.”
Ia menoleh pada Kanya.
“Di apartemen,” putusnya akhirnya. “Tapi sementara ini… kita tinggal di sini dulu. Papa dan Mama pasti tak akan mengizinkan kalau kita langsung tinggal terpisah terlalu cepat.”
Lalu, dengan nada sedikit menggoda dan menantang, ia bertanya, “Kenapa? Kau takut kalau kita tinggal di apartemen aku akan menyiksamu dan tak ada yang belain kamu?”
Kanya menatapnya, matanya tenang di balik cadar, lalu tersenyum tipis.
“Melihat bagaimana kedua orang tuamu memperlakukanku… aku yakin kau tak akan berani melakukan itu.”
Kian tersentak kecil.
Skak mat.
Jawaban yang tak langsung menuduh, tapi jelas—Kanya sengaja menyeret nama baik orang tuanya sebagai tameng. Sekali ia bersikap kasar atau keterlaluan, maka citra orang tuanya yang penuh kasih akan ikut tercoreng.
"Jawaban cerdas," batin Kian mengakui itu, meski enggan.
Kanya kembali bertanya dengan nada ringan, “Kalau tinggal di apartemen… kita akan tinggal di daerah mana?”
Kian mengernyit. “Kenapa? Kau punya impian tinggal di apartemen pilihanmu?”
Kanya menggeleng pelan. “Bukan. Aku hanya ingin tahu tempatnya. Tak masalah di mana, aku terserah kamu.”
Kian menatapnya tajam, matanya seolah menyelami maksud di balik ucapan sederhana itu.
“Lalu kenapa kau begitu penasaran… di mana kita akan tinggal?” tanyanya, setengah menyelidik.
Kanya menghela napas panjang, pelan namun terdengar berat.
“Aku kuliah,” jawabnya akhirnya. “Jadi aku harus perhitungkan jarak tempat tinggal dan kampus.”
Kian terdiam sejenak, sedikit terkejut.
Kuliah?
Bukan sesuatu yang ia duga dari gadis bercadar yang telah lama ia nikahi—yang awalnya ia pikir hanya boneka polos dan bisa ia permainkan sesukanya.
Kanya kembali membuka suara, nada suaranya lembut namun jelas.
“Mungkin… aku akan pertimbangkan untuk pindah kuliah,” ujarnya hati-hati. “Kalau ternyata tempat tinggal kita terlalu jauh dari kampusku sekarang.”
Ia tidak ingin menyulitkan, tapi juga tak ingin kehilangan pendidikannya. Ada sedikit beban di suaranya, namun ia menyembunyikannya dengan baik.
Kian mengangguk pelan. “Nanti aku kabari. Sekarang… aku belum punya gambaran pasti mau tinggal di apartemen mana.”
Suaranya datar, seperti biasa. Ia belum ingin membuat keputusan besar malam ini—atau belum ingin terlalu terikat.
Kanya menunduk, menerima jawaban itu tanpa desakan.
Lalu ia melanjutkan, pelan namun tegas, “Besok… aku minta izin kembali ke pondok. Bersama Kyai dan Umi. Aku harus membereskan semua barang-barangku.”
Kian meliriknya sekilas. “Berapa lama?”
“Mungkin dua atau tiga hari.”
Kian tak menjawab, hanya mengangguk sekali. Ia lalu memalingkan wajah ke arah ponselnya, namun pikirannya tak benar-benar fokus.
Ada sesuatu dalam cara Kanya bicara… sikapnya yang tenang, suaranya yang jernih, dan keputusannya yang selalu ia kemas dengan sopan—yang membuat Kian sedikit terusik.
Perempuan ini… terlalu tenang. Terlalu rasional. Terlalu berbeda dari yang dulu ia kenal.
Dan itu justru membuatnya semakin penasaran.
Dalam hati, Kian bertanya-tanya.
"Dua tahun berpisah dengannya, dan aku merasa seperti sedang berhadapan dengan orang asing yang memakai wajah Kanya.
Gadis yang dulu pendiam, keras kepala, dan seolah ingin selalu menjauh dariku—kini kembali dengan ketenangan yang nyaris mengganggu.
Ada penerimaan dalam sikapnya, tapi juga jarak yang dingin. Seakan-akan... ia sudah berdamai dengan segalanya, tanpa perlu melibatkanku.
Apa yang sebenarnya ia lalui selama dua tahun itu? Apa yang membentuk keteguhan dalam caranya bicara, menatap, bahkan diam?
Seolah ia menyimpan dunia yang tak akan pernah bisa kubaca—dan itu justru membuatku ingin tahu lebih."
Tak ada lagi percakapan.
Malam itu berlalu begitu saja—dingin, sunyi, dan jauh dari hangatnya awal kebersamaan yang seharusnya menyertai sebuah pernikahan.
Mereka tidur dalam satu ranjang, tapi dunia mereka masih dipisahkan oleh ruang tak kasatmata. Sama-sama membelakangi, sama-sama menjaga jarak.
Pagi datang tanpa alarm.
Kanya membuka mata saat cahaya fajar masih remang-remang. Ia selalu terjaga di jam yang sama—sudah terbiasa.
Dengan gerakan pelan, ia menoleh.
Kian masih terlelap. Tubuhnya bergelung dalam selimut, napasnya berat dan stabil. Begitu tenang… dan begitu jauh.
Pria itu sudah lama sah menjadi suaminya.
Tapi hatinya, Kanya tahu—bukan miliknya.
Perkataan Umi Farida di pondok—yang dulu terdengar setelah berkali-kali Kanya menolak pinangan untuknya—kini kembali menggema, seperti bisikan yang menolak menghilang dari pikirannya.
“Tubuh indah dan wajah menawan hanyalah perhiasan. Tapi cinta… dan rasa nyaman… itulah pondasi dan jiwa dalam hubungan.
Seindah apapun parasnya, tak akan cukup membuatmu bahagia jika ia tak mencintai… dan tak mampu membuatmu merasa tenang.”
Kanya menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, seperti berusaha mengusir rasa perih yang menyelinap di dada.
Perlahan, ia bangkit dari ranjang. Melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Mukena dan sajadah pemberian ibu mertuanya sudah tertata di kursi. Ia memakainya—dan menunaikan salat Subuh dengan khusyuk, meski hati dan pikirannya tetap berkecamuk.
Usai berdoa, Kanya menoleh lagi ke arah ranjang.
Kian masih di sana. Tak bergerak.
Selimutnya masih menutupi hampir seluruh tubuh, hanya sebagian rambut dan pundaknya yang terlihat.
Diam sejenak. Ragu.
"Apa dia tidak biasa salat subuh?
Atau... memang tidak peduli?
Atau... sedang pura-pura tidur karena malas salat?"
Kanya menatapnya beberapa detik.
Lalu melipat mukena dan sajadahnya. Setelah terdiam sejenak, akhirnya memberanikan diri. Mendekat. Menunduk perlahan. Menepuk lengan suaminya dengan hati-hati.
“Sudah pagi... Salat Subuh,” bisiknya lembut, nyaris seperti gumaman.
Namun, yang ia dapat hanyalah... gerakan menggulung.
Kian menarik selimutnya lebih rapat, memeluk dirinya sendiri, seperti menolak masuk ke dunia nyata.
Kini hanya ada gundukan selimut di atas ranjang.
Kanya terdiam.
Lalu menghela napas pelan. Ada kecewa yang tak ia ucapkan, ada luka kecil yang ia telan sendirian.
Tanpa suara, ia melangkah keluar dari kamar.
Sejenak ia berhenti dan melihat ke sekeliling yang terasa sepi.
Seperti hatinya pagi itu.
Sepi. Tapi tetap berusaha menghangatkan hari.
Langkah Kanya menuruni anak tangga terdengar nyaris tanpa suara, hanya dentingan kecil dari hentakan kaki pincangnya yang sesekali menyentuh lantai marmer dingin.
Ketika tiba di dapur, aroma bawang tumis dan air rebusan kaldu mulai merebak. Tiga wanita bercelemek dapur tampak sibuk menyiapkan bahan: memotong sayuran, menyalakan kompor, meracik bumbu.
Namun, aktivitas mereka terhenti saat suara lembut menyapa dari balik cadar.
“Boleh saya ikut menyiapkan sarapan?”
Ketiganya sontak menoleh. Alis mereka berkerut, saling bertukar pandang dengan tatapan bertanya-tanya.
Bukan karena suara itu mengganggu, tapi karena mereka tak mengenali siapa gerangan wanita asing yang muncul sepagi ini di dapur keluarga utama.
Kanya tetap berdiri tenang, tak terganggu oleh tatapan bingung itu. Ia melangkah pelan, namun pincangnya tak bisa disembunyikan. Satu kakinya menyeret sedikit, membuat langkahnya terlihat berbeda. Ia tahu mereka memerhatikan.
“Saya istri Kian,” ujarnya pelan. “Saya ingin tahu… menu kesukaan keluarga ini. Terutama menu favorit suami saya.”
Tiga pelayan itu makin bingung. Mereka tahu bagaimana rupa calon istri tuan muda mereka—cantik, elegan, dan modern. Tak berhijab, apalagi bercadar. Gaya hidupnya sangat berbeda dari gadis yang kini berdiri di hadapan mereka.
Salah satu dari mereka akhirnya memberanikan diri berbicara.
“Nona… tak perlu membantu. Kami akan menyiapkan semuanya. Dan soal menu—kami bisa memberitahu.”
Nada suaranya terdengar sopan, tapi jelas penuh keraguan.
Wajahnya menyiratkan satu pertanyaan yang tak terucap: Benarkah wanita ini istri Tuan Kian?
Namun Kanya tak tersinggung. Ia justru melangkah lebih dekat, walau pincangnya kian tampak jelas.
“Tolong izinkan saya membantu,” pintanya sekali lagi. Ada kelembutan tulus dalam suaranya—bukan paksaan, tapi juga bukan permohonan lemah.
Ketiganya masih ragu. Saling melirik.
Dan sebelum sempat memutuskan harus bagaimana, suara lain terdengar dari arah pintu.
“Tolong biarkan dia melakukan apapun yang ia suka.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁