Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Kecelakaan!
Siang itu di Kampus Cakrawala, suasana meriah karena ada pameran seni lukis. Semua karya mahasiswa seni lukis dipajang rapi, termasuk lukisan milik Tessa Alodia Kamani. Sebelumnya sudah ada penilaian, dan lukisan Tessa berhasil keluar sebagai pemenang utama.
Tessa, mahasiswi jurusan Seni semester 4, tersenyum bangga melihat namanya tertera di papan pengumuman. Sebagai anak semata wayang pasangan Dimas Kamani dan Erna Wijaya, hidup Tessa selalu dipenuhi kasih sayang. Meski ayahnya hanya seorang karyawan swasta dan ibunya seorang ibu rumah tangga, Tessa tumbuh menjadi gadis yang sederhana dan penuh semangat.
Pagi itu, saat sarapan bersama orang tuanya, Tessa berbinar penuh semangat.
"Ayah sama Bunda jangan lupa yaa... kalian harus jadi saksi aku terima piala nanti siang!" ucap Tessa sambil menyeruput susu hangatnya.
"Iyaaa... kamu mau kado apa nih dari Ayah sama Bunda?" tanya Bunda Erna, tersenyum hangat.
"Aku mau alat lukis yang banyaaaakkk..." seru Tessa sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Oke, nanti ayah belikan!" jawab Dimas sambil mengacak rambut putri semata wayangnya.
"Yeeeyyy!" Tessa bersorak gembira.
Kebahagiaan itu terasa sempurna... sebelum semuanya berubah dalam sekejap di siang hari itu.
Sebelum menuju Kampus Cakrawala untuk menghadiri pameran seni putri mereka, Tessa. Erna dan Dimas menyempatkan diri mampir ke sebuah toko kesenian. Mereka hendak membeli hadiah yang sudah lama diminta anak semata wayang mereka itu.
"Tessa pasti seneng banget kalau lihat ini nanti, ya?" kata Erna sambil membelai kotak besar berisi seperangkat alat lukis yang baru saja mereka beli.
"Iya... Ayah jadi nggak sabar mau lihat wajahnya waktu kita kasih kejutan ini." jawab Dimas dengan senyum hangat.
Setelah keluar dari toko, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dimas menyetir dengan hati-hati sambil sesekali berbincang dengan Erna tentang betapa cepatnya Tessa tumbuh besar.
Namun, di tengah perjalanan menuju kampus, sebuah truk besar dengan muatan penuh di depannya mendadak mengerem mendadak. Dimas, yang mengendarai Honda HR-V putih miliknya, sempat mengerem keras hingga mobil sedikit oleng. Beruntung, dia masih bisa menyeimbangkan lajunya.
Naasnya, dari arah belakang, sebuah sedan BMW yang dikendarai Reza Naradipta melaju terlalu cepat. Reza adalah seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang properti dan teknologi, Reza Naradipta dikenal sebagai sosok perfeksionis dan visioner. Di usia 45 tahun, namanya sudah masuk dalam daftar "100 Orang Paling Berpengaruh di Indonesia" versi majalah bisnis ternama.
Pria paruh baya itu punya segalanya—harta, keluarga bahagia, jaringan bisnis luas—namun hidupnya kini berubah jadi mimpi buruk karena satu detik kelalaiannya. Reza panik, ia tak sempat menginjak rem dengan sempurna. Benturan keras pun terjadi—
BRAAAKKKK!
Mobil Reza menghantam bagian belakang mobil Dimas dengan keras, mendorongnya hingga bagian depan HR-V putih tersebut masuk ke kolong truk. Suara besi beradu, kaca pecah, dan teriakan memenuhi udara.
"ERNA!!!" teriak Dimas sesaat sebelum segalanya menjadi gelap.
Erna tak bergerak. Tubuhnya terjepit di kursi penumpang dengan darah mengalir dari kepalanya. Ia meninggal di tempat.
Sementara Dimas, yang bersimbah darah dengan luka parah di kepala dan bahunya, masih menunjukkan denyut lemah.
Di dalam mobil BMW, Reza tertegun, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar di atas setir.
"Tuhan... apa yang sudah aku lakukan..." bisiknya lirih, penuh rasa bersalah.
Di sudut lain dikampus Cakrawala, seorang pemuda jangkung dengan rambut hitam rapi sedang berdiri di lapangan basket. Rajata Kastara Naradipta, mahasiswa Fakultas Ekonomi semester 4, memimpin latihan tim basket Kampus Cakrawala. Sebagai kapten, ia bukan hanya jagoan di lapangan tetapi juga idola banyak mahasiswi karena ketampanan dan kharisma dinginnya.
"Ja, ayo jangan bengong. Kita masih punya 10 menit buat sparing!" seru salah satu temannya.
Rajata hanya mengangguk ringan. Di luar, ia terlihat tenang, tetapi di dalam pikirannya ada sesuatu yang mengganjal sejak tadi. Ia merasa ada firasat buruk yang tak bisa dijelaskan.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Nama 'papa' muncul di layar.
Biasanya ia akan mengangkat dengan santai, tapi kali ini... entah kenapa firasat nya tidak enak.
"Halo, Pa?" suaranya terdengar kaku.
"Ja... kamu dimana?!" suara Reza terdengar panik di ujung telepon.
"Di kampus, kenapa pa?"
"Cepat ke Rumah Sakit Bina Sehat. Papa ada disini... ada kecelakaan besar... Papa nggak bisa jelasin panjang di telepon. Kamu cepat kesini ya!"
Tut. Sambungan terputus.
Rajata terdiam sesaat, lalu menghampiri pelatihnya.
"Coach, saya izin pulang dulu. Ayah saya kecelakaan," ujarnya singkat.
Tanpa menunggu jawaban, ia segera berlari ke parkiran dan melesat keluar kampus.
Di lorong rumah sakit, Reza Naradipta mondar-mandir dengan gelisah. Jemarinya terus meremas rambutnya sendiri, sementara pikirannya dipenuhi rasa bersalah. Ia bahkan tak mengenal orang yang kini berjuang antara hidup dan mati di ruang ICU.
"Seharusnya aku lebih fokus... kalau saja aku tidak menyetir sambil memikirkan pekerjaan... ini tidak akan terjadi..." gumamnya lirih.
Seorang dokter keluar dari ruang ICU, melepas masker dengan wajah muram.
"Anda keluarga pasien?" tanyanya.
Reza menggeleng pelan. "Saya... bukan... saya hanya—"
"Silakan masuk, Pak. Pasien ingin bicara dengan Anda," ucap dokter itu, suaranya berat.
Reza diam membeku. Tapi entah bagaimana, langkah kakinya mulai bergerak menuju pintu ruang ICU.
Saat memasuki ruangan, rasa bersalahnya semakin menyesakkan dada. Tubuh Dimas terbaring lemah di atas ranjang, dipenuhi selang dan alat medis yang berbunyi lirih.
Dengan sisa tenaga, Dimas mengangkat tangannya. Reza tersentak, tapi segera mendekat dan meraih tangan itu.
"Tolong... jaga putri saya..." bisik Dimas lirih, matanya berkaca-kaca. "Dia sendirian... dia nggak punya siapa-siapa... tolong jaga dia..."
"Tunggu... Pak... saya—" Reza hendak bicara, tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya...
Tiiit... tiiit... tiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttt.
Bunyi monitor jantung berubah menjadi garis lurus panjang.
"Pak! Pak, tolong bertahan demi putri anda!" Reza mengguncang tangan Dimas yang kini terkulai lemas.
Namun Dimas telah menghembuskan napas terakhir.
Reza hanya bisa berdiri kaku di samping ranjang, matanya merah menahan air mata. Di kepalanya, suara Dimas terus terngiang:
"Tolong... jaga putri saya..."
Seorang dokter bersama perawat buru-buru masuk. Mereka memeriksa tubuh Dimas yang sudah terkulai lemah. Setelah memastikan tak ada lagi tanda kehidupan, dokter menatap Reza dengan sorot mata penuh iba.
"Maaf... pasien sudah meninggal dunia," ucapnya pelan.
Reza hanya berdiri membeku, dadanya terasa sesak mendengar kalimat itu. Ia menunduk, jemarinya mengepal erat menahan rasa bersalah yang semakin menggunung.
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari lorong rumah sakit. Seorang gadis dengan rambut tergerai, mengenakan almamater biru tua, berlari dengan wajah panik. Tas selempangnya nyaris terjatuh saat ia mendorong pintu ruang ICU dengan tergesa-gesa.
"Dokter! Dimana ayah saya? Dimana bunda saya?!" teriaknya dengan napas memburu.
Dokter itu tampak terkejut, mencoba menahan gadis itu agar tidak langsung masuk.
"Maaf, Anda siapa?" tanyanya lembut.
"Saya... saya Tessa... Tessa Alodia Kamani... anak dari korban kecelakaan"
Napas nya memburu, dada nya naik turun tidak beraturan.
"Dimana Ayah dan Bunda saya dok?"
Dokter hanya diam sejenak, lalu menunduk dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata,
"Maaf... kami sudah melakukan yang terbaik. Ibunda anda meninggal di tempat... dan... ayah anda tidak tertolong. Beliau baru saja berpulang."
Suara detak jam dinding mendadak terasa lebih keras daripada degup jantungnya. Pandangan Tessa kabur. Dunia seolah berhenti berputar, tubuhnya nyaris ambruk kalau saja seorang perawat tak sigap menopangnya.
"Nggak... nggak mungkin... AYAH! BUNDA! KALIAN NGGAK MUNGKIN NINGGALIN AKU!!" teriaknya histeris.
Air mata bercucuran, tangannya menggapai-gapai seolah memohon agar ada keajaiban.
Reza yang berdiri tak jauh di sana menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dadanya sesak, perasaan bersalah mencengkram pikirannya.
"Ini semua salahku... kalau saja aku lebih hati-hati..." batinnya berperang.
Dokter menatap Reza dengan raut prihatin. "Pak... untuk saat ini hanya Anda yang ada di sini. Bisa tolong tenangkan dia? Gadis itu pasti sangat terpukul."
Reza menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum melangkah mendekati Tessa yang kini terduduk di lantai rumah sakit. Gadis itu menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat.
"Nak..." panggil Reza dengan suara pelan. Ia mendekat perlahan, lalu meraih bahu Tessa yang gemetar hebat.
"Kamu harus kuat... ya. Ayahmu... sebelum pergi, dia sempat menitipkanmu padaku."
Tessa perlahan mengangkat wajahnya. Matanya sembab, air mata terus mengalir
"Maaf... Anda siapa?" suaranya lirih, nyaris patah.
"Nama saya Reza..." ucap Reza lembut, menunduk. "Saya juga korban tabrak beruntun seperti ayahmu. Kebetulan... mobil saya ada tepat di belakang mobil ayahmu saat kejadian."
Tessa hanya menatap kosong. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada lagi tenaga untuk berteriak atau marah. Tubuhnya lemas. Perlahan ia menunduk, membiarkan air matanya jatuh membasahi tangannya sendiri.
Reza merasakan sesak yang sama di dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia merengkuh Tessa ke dalam pelukannya.
"Tidak apa-apa... Menangislah... mulai sekarang, biar saya yang menjaga kamu."
Tessa tak merespon. Ia hanya diam dalam pelukan itu, pasrah, sementara dunia di sekitarnya terasa runtuh.
***
Setelah sedikit tenang, Reza akhirnya mengajak Tessa ke ruang jenazah. Begitu melihat kedua orang tuanya terbaring kaku di atas ranjang, tangis Tessa pecah tak tertahankan.
"Ayah... Bunda..." Suaranya bergetar, tubuhnya gemetar. "Harusnya... harusnya hari ini aku dapat hadiah dari kalian... kenapa malah kabar duka yang kalian kasih ke aku?" racau Tessa sambil berlutut di samping jenazah.
Reza berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu dengan dada sesak. Rasa bersalah menekannya hingga nyaris membuatnya kehilangan napas. Ia tidak sanggup lagi... akhirnya memilih keluar dan menunggu di lorong.
Di saat bersamaan, Renata—istrinya—datang bersama kedua anak mereka, Rajata dan Carissa.
"Sayang!" seru Renata begitu melihat suaminya. Ia segera memeluk Reza erat, kemudian memeriksa tubuh sang suami dari kepala hingga kaki. "Kamu baik-baik saja, kan? Ada luka? Ada yang sakit?" suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Pa, Papa nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang terluka?" tanya Carissa panik.
Reza hanya diam. Sorot matanya berat tertuju pada Rajata Kastara Naradipta—putra sulungnya yang kini berdiri tegap, menatap ayahnya dengan dahi berkerut.
"Ja..." panggil Reza lirih.
Rajata mengernyit, bingung melihat ekspresi ayahnya yang tak biasa. Ia pun melangkah mendekat. "Kenapa, Pa? Ada yang sakit? Kita ke dokter dulu, ya?"
Reza menggeleng lemah. "Papa nggak apa-apa secara fisik..." katanya lirih, "Tapi... batin Papa... hancur, Ja."
Semua yang mendengar itu langsung menatap Reza dengan tatapan heran.
"Maksud Papa apa?" tanya Renata, suara lembutnya kini terdengar cemas.
Reza menarik napas panjang, berusaha meredam sesak di dadanya. "Kalau saja Papa lebih fokus... kalau saja Papa tidak menyetir sambil memikirkan pekerjaan... mungkin tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu."
"Kalau saja Papa lebih hati-hati... mungkin gadis itu... masih punya orang tuanya."
"Gadis?" Rajata menatap ayahnya, keningnya berkerut makin dalam. "Gadis siapa?"
Reza menatap mata putranya dengan sorot memohon. "Ja... kamu satu-satunya harapan Papa. Tolong... tolong nikahi Tessa. Jagalah dia... sebagai bentuk rasa tanggung jawab Papa, sebagai cara Papa menebus dosa ini..."
Rajata mundur satu langkah, tubuhnya terasa membeku mendengar ucapan ayahnya.
"Apa, Pa?!" suaranya meninggi. "Nikahi siapa? Tessa? Siapa dia?! Dan kenapa Papa menyuruh aku menikahi gadis yang bahkan nggak aku kenal?"
Suara Rajata terdengar getir. "Pa... aku udah punya Liora! Aku nggak bisa nikah sama orang lain. Apalagi dengan gadis asing itu!"
"Kalau Papa mau bertanggung jawab, Papa bisa angkat dia jadi anak. Jangan paksa aku menikahinya!"
"Ja... Papa mohon..." suara Reza bergetar, tangannya meremas sisi dadanya. Rasa nyeri tiba-tiba menjalar hingga ke lengan kirinya. Nafasnya mulai memburu, wajahnya pucat pasi.
"Pa? Papa kenapa?!" teriak Renata panik sambil memegang lengan suaminya.
Rajata melangkah cepat dan memegang bahu ayahnya. "Pa! Jangan bikin aku takut! Papa kenapa?!"
Reza jatuh berlutut, tangannya menekan dadanya erat-erat. "J-jantung... Papa..." gumamnya sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.
"PAPA!!"
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa