Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Nara dan orang tuanya kini sudah sampai di restoran mewah yang dipesan Devan. Restoran itu tampak elegan dan berkelas, dengan interior yang didominasi warna cokelat tua dan pencahayaan yang lembut.
Suasana di restoran tampak sepi, seolah tidak ada pengunjung lain selain mereka malam itu. Privasi yang diberikan restoran ini tampaknya sangat sesuai untuk pertemuan keluarga yang sedang dilakukan.
Nara mulai merasakan ketegangan. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Di depannya, Devan dan kedua orang tuanya sudah menunggu mereka di meja yang telah disiapkan. Devan tampak tampan dengan pakaian yang rapi dan berkelas. Orang tua Devan juga tampak ramah dan sopan.
Pria itu berdiri, memegang buket bunga mawar merah muda yang telah disiapkan untuk Nara. Bunga-bunga itu terlihat segar dan harum. Devan berusaha menunjukkan kesungguhannya dan keseriusannya dalam hubungan ini.
“Nara, kamu cantik sekali,” pujinya sembari menyambut kedatangan calon istrinya itu bersama orang tuanya.
Nara yang dipuji begitu, seketika langsung merona pipinya. Pipinya merah padam, menunjukkan bahwa ia merasa malu, tetapi juga senang mendengar pujian dari Devan.
“Kamu jangan berlebihan, aku jadi malu sekali,” balas Nara dengan berbisik, suaranya lembut dan penuh dengan rasa malu. Ia menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan kerendahan hatinya.
Devan tersenyum puas karena berhasil menggoda calon istrinya itu. Senyumnya menunjukkan kegembiraan dan kebahagiaannya. Ia tampak menikmati momen romantis ini.
Sementara itu, para orang tua tampak beramah tamah dan saling berkenalan. Suasana menjadi lebih rileks dan hangat setelah perkenalan awal tersebut. Mereka berbincang dengan santai dan menyenangkan, membangun hubungan yang baik satu sama lain.
Makan malam pun dimulai. Hanya mereka berenam yang ada di sana, membuat kehangatan keluarga begitu terasa.
Suasana restoran yang sepi dan elegan menambah kesan in-tim dan khusus untuk pertemuan keluarga ini. Mereka berbincang dengan santai dan menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Sampai akhirnya, makan malam selesai dan pembicaraan beralih ke arah yang lebih serius. Papa Devan memulai pembicaraan, suaranya lembut tetapi tegas, menunjukkan keseriusannya. “Apakah orang tua Nara sudah mengenal Devan dengan baik? Bagaimana pendapat kalian tentang hubungan Devan dengan Nara?”
Papa Nara menjawab dengan jujur, suaranya penuh dengan kebijaksanaan. “Kami menyerahkan keputusan di tangan Nara, tetapi secara pribadi kami sudah bisa menerima Devan sebagai menantu,” katanya, memberikan kebebasan kepada anak perempuannya untuk memutuskan masa depannya.
Mama Devan ikut bersuara dan kini bertanya pada Nara. “Nara, apakah kamu sudah siap menjadi istrinya Devan?” Pertanyaannya langsung pada intinya, menunjukkan keseriusannya dan keinginannya untuk mengetahui keputusan Nara.
Nara tidak langsung menjawab. Ia menatap Devan dengan intens, menunjukkan bahwa ia sedang mempertimbangkan dan meyakinkan dirinya sendiri.
Devan membalas dengan tersenyum hangat tanpa mengucapkan kata-kata, memberikan dukungan dan ketenangan kepada Nara.
Lalu, Nara teringat bagaimana ia ingin segera keluar dari rumahnya karena ada Endra dan Renata di sana. Kenangan itu memberinya keputusan yang pasti.
Gadis itu mengangguk pelan, menunjukkan persetujuannya. “Aku sudah berpikir matang dan menerima Devan sebagai teman hidupku,” jawabnya dengan tegas.
Semua orang tampak lega dengan jawaban Nara dan suara tawa kembali terdengar renyah. Suasana menjadi lebih rileks dan bahagia setelah Nara menyatakan persetujuannya.
Lalu, Papa Devan kembali bicara. “Kalau semua sudah sepakat, baiknya kapan kita tentukan tanggal pernikahannya?”
Papa Nara tampak diam dan berpikir sejenak, lalu menjawab, “Bagaimana kalau tiga sampai enam bulan ke depan, kita butuh waktu untuk persiapan?” Ia menyarankan untuk memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan.
Devan langsung melayangkan protes dan merasa keberatan. “Itu terlalu lama. Aku tidak mau Nara menunggu lama dan merasa takut pernikahannya batal lagi,” katanya, terdengar cemas dan menunjukkan ketidaksukaannya. Devan takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Lalu, semua orang terdiam mendengar perkataan Devan yang menunjukkan betapa ia sangat mencintai dan ingin segera menikahi Nara. Papa Devan mencoba mencari jalan keluar. “Bagaimana kalau dalam bulan ini?” Ia menawarkan kompromi.
Devan langsung menyahut, “Dalam minggu ini saja, Pa. Besok kita langsung sebar undangan dan sisanya aku bisa atur.”
Semua orang menatap Devan karena pendapatnya barusan yang terdengar terburu-buru dan sedikit kurang bijaksana. Suasana menjadi sedikit tegang. Devan menyadari bahwa ia telah berbicara dengan terlalu emosional.
Devan lalu menjelaskan, suaranya lebih lembut dan berusaha untuk menjelaskan alasannya. “Untuk apa menunda lama-lama kalau seminggu saja sudah cukup untuk persiapan? Aku punya tim yang bisa mengurus semuanya. Yang terpenting adalah kita sepakat,” katanya, mencoba untuk meyakinkan orang tua Nara.
Papa Nara berkata, suaranya menunjukkan keprihatinan. “Itu sangat terburu-buru. Bagaimana kalau orang-orang mengira Nara sudah hamil duluan karena nikah buru-buru?” tanyanya tampak khawatir dengan persepsi masyarakat terhadap pernikahan yang terlalu cepat.
Devan menjawab dengan santai, tetapi pernyataannya terdengar sedikit sensitif. “Kalau pun Nara hamil, pernikahan ini adalah bentuk tanggung jawab saya. Justru saya berharap Nara segera hamil dan melahirkan keturunan keluarga kami,” katanya, masih berusaha meyakinkan.
Orang tua Nara masih terlihat keberatan. Papa Nara, dengan wajah malu, mengakui, “Anak kedua kami juga menikah karena hamil. Jadi … papa mau tanya sama Nara, apakah kamu sedang hamil, Nara?”
Mendapat pertanyaan dari ayahnya tentang kehamilan, membuat jantung Nara berdegup dengan sangat cepat. Wajahnya memerah, bukan hanya karena pertanyaan ayahnya, tapi juga karena konflik batin yang sedang ia alami.
Nara merasa ragu menikah dengan Devan dengan buru-buru. Meskipun Devan memperlakukannya dengan sangat baik dan memberikannya rasa aman, sebagian hatinya masih tertinggal pada Endra.
Nara menyadari hubungannya dengan Endra tidak sehat dan sudah berakhir. Akan tetapi, bayangan masa lalu itu masih menghantuinya. Pernikahan dengan Devan terasa seperti pelarian dari rasa sakit hatinya, dan rasa bersalah itu menggerogoti pikirannya.
Namun, di sisi lain, Nara juga mendambakan kehidupan yang mandiri dan lepas dari bayang-bayang keluarganya yang rumit. Ia ingin membangun keluarga sendiri dengan Devan, jauh dari pengaruh negatif Endra dan Renata. Keinginan untuk memiliki kehidupan baru yang tenang dan bahagia menjadi motivasi yang kuat baginya.
Melihat wajah Nara yang tegang dan penuh keraguan, Devan menggenggam tangan Nara dengan lembut. Sentuhan lembut Devan memberikan sedikit ketenangan pada Nara.
“Sayang, kamu nggak lagi hamil, ‘kan?” Pertanyaan Devan, yang diungkapkan dengan lembut dan penuh perhatian, menunjukkan kepeduliannya.
Panggilan "Sayang," yang ia dengar untuk pertama kali dari Devan, membuat Nara menatap pria itu dengan tatapan yang kompleks–campuran rasa takut, kegembiraan, dan keraguan.
“Em … enggak! Aku nggak lagi hamil,” jawab Nara sedikit gugup, suaranya bergetar menunjukkan ketegangan yang ia rasakan.
“Nara, Sayang. Kita semua mau tahu pendapat kamu. Apa kamu setuju menikah dengan Devan dalam waktu seminggu ke depan?” tanya Mama Nara dengan suara lembut.
Nara yang semakin bimbang, akhirnya menemukan jalan keluar yang bisa memberikan waktu untuk merenungkan perasaannya dan mempersiapkan dirinya secara mental.
“Aku … aku setuju aja. Tapi, aku mau adakan intimate wedding aja, Ma, Pa. Kalau Devan mau minggu depan, aku rasa intimate wedding lebih cocok,” jawabnya, memberikan usulan yang bisa mempertimbangkan waktu yang terbatas, tetapi juga memberikan ruang bagi dirinya untuk lebih siap secara emosional.
“Intimate wedding atau pun wedding mewah tujuh hari tujuh malam, asal aku bisa menikahimu, pasti akan aku kabulkan, Nara.”
***
Iya tau Mas Dev, si paling banyak duit. Boleh dong minta traktir 😂😂
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar