Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Pria Menyebalkan
“Apa?!” Selina terbelalak.
Pria itu mendengus kasar. “Kurang jelas!? Kamu sudah menabrak mobil saya sampai penyok begitu. Ini mobil mahal! Bahkan harga dirimu saja mungkin nggak bisa menutup kerusakan ini.” Tatapannya menusuk tajam, suaranya penuh kesombongan.
“Masih mending saya cuma minta ganti rugi sepuluh juta. Kalau lewat bengkel resmi, biayanya bisa lebih dari itu.”
Perkataan pria itu menyentil hati Selina. Sepuluh juta? Dari mana ia bisa dapat uang segitu? Sedangkan gajinya saja sebulan hanya sekitar empat juta—itu pun sudah habis untuk kontrakan, sekolah Ian, dan kebutuhan sehari-hari.
“Maafkan saya… ta-tadi saya benar-benar nggak sengaja nabrak mobil Bapak. Ban motor saya kempes, makanya oleng. Lagi pula… mobil Bapak juga parkir agak ke tengah jalan,” ucap Selina, suaranya mengecil di akhir kalimat.
Alis pria itu langsung terangkat tinggi. “Kamu mau nyalahin saya? Sudah jelas-jelas kamu yang nabrak, sekarang malah cari alasan!” bentaknya garang. “Cepat ganti rugi!”
Mata Selina mulai berkaca-kaca.
“Pak… saya… saya nggak punya uang sebanyak itu. Saya hanya pekerja kafe, gaji saya nggak cukup. Tolong, maafkan saya…”
“Saya nggak peduli! Kamu tetap harus ganti rugi, bagaimanapun caranya. Kalau kamu nggak bisa bayar, saya tuntut! Saya bisa bawa masalah ini ke polisi sekarang juga.”
Tubuh Selina bergetar. Akhirnya, runtuh sudah harga dirinya. Ia berlutut di depan pria itu sambil menangis tertahan.
“Pak, tolong… jangan bawa saya ke polisi. Kasih saya waktu. Saya janji, saya akan cari uang buat ganti kerusakan mobil Bapak.”
Tin! Tin!
Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari Selina yang masih berlutut di depan pria itu.
“Jayden!”
Pria yang dipanggil Jayden menoleh cepat.
“Ada apa ini?” suara berat seorang pria paruh baya terdengar setelah dia turun dari mobil.
“Papa…” kata Jayden sedikit terkejut.
“Kenapa ini? Kenapa dia berlutut di depanmu begitu?” tanya pria itu dengan tatapan heran.
Jayden mendengus kesal. “Wanita ini menabrak mobilku, Pa. Lihat, sampai penyok begitu. Aku minta ganti rugi, tapi dia bilang nggak punya uang. Ya tetap saja aku nggak peduli.”
Pria paruh baya itu, Aron—ayah tiri Jayden—melangkah mendekat. Tatapannya jatuh pada Selina yang masih berlutut dengan wajah basah air mata.
“Saya nggak sengaja, Pak…” lirih Selina.
Aron menghela napas panjang, lalu menepuk bahu Jayden pelan. “Sudahlah, nggak usah diperpanjang. Nanti Papa yang urus mobil kamu, biar Papa bawa ke bengkel langganan. Kasihan dia, sepertinya memang nggak sengaja.”
“Tapi Pa—”
“Udah, ayo pulang. Besok Papa sendiri yang antar mobilmu ke bengkel,” potong Aron.
Jayden terdiam. Ia hanya bisa menghela napas panjang, lalu melirik Selina dengan tatapan tajam sebelum berbalik menuju mobil.
Selina mengusap air matanya dengan punggung tangan, hatinya sedikit lega ketika mobil itu akhirnya berlalu.
“Hampir aja… tapi kasihan juga, untung bapaknya baik,” gumamnya.
Ia berdiri, menatap motornya yang bannya sudah kempes parah.
“Alamak… sekarang aku mesti gerek nih motor kemana” desahnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
••••••
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan kafe Lincoley.
Seorang gadis cantik turun dengan anggun. Tangannya lincah menekan layar ponsel, mencoba menghubungi seseorang sembari matanya melirik ke dalam kafe.
“Halo sayang? Aku udah nyampe di depan Lincoley Cafe, ini beneran kafe kamu kan?”
“Iya, masuk aja ke dalam. Aku masih di kafe lain,”
“Nggak apa-apa ya?”
“Iya, nggak apa-apa. Masuk aja, pesan apa pun yang kamu mau. Oke?”
“Oke, makasih ayang. Hati-hati di jalan ya, jangan ngebut-ngebut.”
“Oke. I love you, sayang.”
“I love you too.”
Gadis berambut ikal itu tersenyum, lalu memandang pantulan dirinya di layar ponsel. Ia merapikan lipstiknya sebentar sebelum masuk kedalam.
“Selamat datang, silakan duduk,”
“Ah, iya…” Gadis itu mengangguk sopan, memilih kursi di pojok dekat jendela besar.
“Mau pesan apa, Mbak?”
“Spaghetti carbonara, omelet keju, sama lemon tea dingin,” jawab gadis itu sambil tersenyum ramah.
“Oke, ditunggu ya, Mbak,” balas Emel, lalu segera melangkah ke dapur.
Gadis itu—Kimberly namanya— menyandarkan tubuh di kursi. Matanya berkeliling, memperhatikan interior kafe yang estetik dengan musik akustik pelan. Kafe siang ini lumayan ramai.
Kimberly memang baru pertama kali ke kota ini, dan langsung mampir ke kafe pacarnya.
“Nih si Selin lama banget sih… udah dua jam, masa belum balik? Ditelepon juga nggak diangkat-angkat,” gumam Emel sambil meletakkan gelas minuman ke nampan.
Sementara itu, Selina masih duduk di bengkel pinggir jalan. Ia mengipasi wajahnya dengan tangan karena panas.
“Sudah siap, Mbak,” kata montir sembari menepuk ban motor yang baru selesai ditambal.
“Berapa, Pak?” tanya Selina, berdiri dan meraih dompet kecil dari tasnya.
“Tiga puluh ribu.”
“Terima kasih.”
Setelah itu, ia lekas memasang kembali helmnya dan menyalakan motor.
Dia segera melaju menuju sekolah putranya. Ada rasa cemas karena tahu Ian pasti sudah menunggunya, memang sudah lewat dari 20 menit.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Selina langsung memarkir motor dan masuk. Matanya menyapu ke arah taman kecil yang berada tak jauh dari lapangan.
“Ian!!” panggilnya.
Bocah itu, yang sejak tadi duduk di bangku taman dengan kepala menunduk sambil mengayunkan kakinya, sontak menoleh. Senyum ceria merekah di wajahnya begitu melihat sosok yang ditunggunya datang.
“Mama!” seru Ian riang, berlari kecil ke arah Selina.
Maaf sayang, tadi ban motor mama kempes jadi telat jemput kamu Kata Selina sembari mengusap pelan dahi Ian.
Nggak apa-apa, mama Ian mau ikut ke kafe boleh kan? Ian mau makan nugget ayam.
Selina terkekeh, boleh.
Selina mengangkat Ian ke gendongannya membawanya ke motornya dan melaju meninggalkan sekolahan.
••••••••
Seorang pria turun terburu-buru dari mobilnya setelah memarkirkannya di halaman depan.
Begitu masuk ke dalam kafe miliknya, matanya langsung berkeliling, berpendar mencari seseorang yang ia rindukan.
“Pak Nathan, apa Anda butuh sesuatu?” sapa Kia, penjaga kasir yang melihat Nathan tampak mencari seseorang.
“Tidak,” jawab Nathan singkat.
Senyumnya melebar ketika akhirnya pandangannya menangkap sosok Kimberly yang tengah duduk manis, langkah kakinya menuju kesana.
“Ehem… asyik banget makannya,” ucap Nathan sambil bersedekap.
Kimberly sedikit terkejut, lalu mendongak. Senyum manis langsung merekah di wajahnya begitu melihat Nathan berdiri di hadapannya.
“Nathan!” serunya pelan. Mereka berdua berpelukan singkat sebelum Nathan duduk di sampingnya.
“Kamu tadi nggak ada kena masalah kan pas di jalan?”
“Nggak ada kok,” jawab Kim sambil menggeleng. “Ngomong-ngomong, kafe kamu bagus juga ya. Desainnya keren, makanannya juga enak-enak.”
“Thanks,” Nathan terkekeh kecil. “Kalau mau nambah, bilang aja, biar aku pesanin lagi.”
Kimberly menggeleng sambil menepuk perutnya. “Nanti aja, aku udah kenyang. Mau ke toilet dulu boleh?”
“Oke, aku antar.” Nathan bersiap berdiri.
“Nggak usah, kamu sini aja. Aku bisa sendiri,”
Nathan mengangguk. “Baiklah. Toiletnya ada di belakang sana. Kalau kamu nggak tahu jalannya, bisa tanya sama karyawan aku.”
Gadis itu mengangguk lalu berjalan menuju belakang. Saat sudah masuk ke dalam toilet, langkahnya terhenti. Pandangannya langsung tertuju pada seorang anak kecil berambut keriting yang sedang mencuci tangan di wastafel.
Anak itu berdiri di atas bangku sebagai pijakan agar bisa mencapai keran.
Begitu selesai, bocah itu turun hati-hati dari kursinya, lalu berbalik.
Kimberly sontak terpaku. Tatapannya membeku pada wajah mungil itu, seolah ada sesuatu yang menohok dadanya.
Ian mengernyit heran melihat gadis asing yang menatapnya lekat-lekat.
“Onti… permisi, Ian mau lewat,”
Kim masih berdiri kaku, matanya tak berkedip.
“Onti…” Ian mengulang. “Ian baru pulang sekolah, dan sekarang mau makan.”
Kimberly tersentak dari lamunannya. “Ah… i-iya, maaf,” ujarnya cepat sambil menyingkir memberi jalan.
Bocah itu tersenyum singkat, lalu berlari kecil keluar dari toilet.
Kimberly tak mengalihkan pandangan, matanya mengikuti punggung mungil yang menjauh itu dengan intens.
“Mirip banget…” gumamnya lirih. “Mirip banget sama Abang waktu kecil…”
padahal lembek