Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Ruang ganti pribadi di lantai 10 Gedung Starlight terasa seperti kapsul yang terisolasi dari dunia luar. Dindingnya berlapis wallpaper beludru halus, lampu sorot di sekeliling cermin besar menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Jessy baru saja berganti pakaian, mengenakan jeans ketat dan kaos sederhana yang justru menegaskan lekuk tubuhnya yang sempurna. Dia sedang berdiri di depan cermin, sehelai kapas pembersih di tangannya yang terawat, dengan hati-hati membersihkan sisa-sisa riasan tebal dari wajahnya yang cantik.
Knock knock.
Ketukan pelan terdengar dari pintu.
"Masuk..." sahut Jessy tanpa menoleh, fokusnya masih pada bayangannya di cermin.
Pintu terbuka dengan perlahan, lalu tertutup kembali dengan bunyi klik yang halus. Suara langkah kaki mendekat, tapi Jessy masih asyik dengan kapas pembersihnya, mengusap sisa eyeliner di sudut matanya.
"Jes..."
Suara itu—dalam, serak, dan begitu familiar—membuatnya membeku. Kapas di tangannya terjatuh ke meja rias. Jantungnya berdebar kencang, mengenali pemilik suara itu tanpa perlu melihat.
Dia berbalik pelan, dan di sana, berdiri Rayyan. Pria itu bersandar di pintu yang telah tertutup, seolah memblokir satu-satunya jalan keluar. Dia masih mengenakan seragam kerja praktisnya, tapi helm dan sarung tangannya sudah dilepas. Wajahnya yang tampan terlihat tegang, matanya yang seperti dark coffee menatapnya dengan intensitas yang membuat ruangan terasa sempit.
"Mau apa kamu ke sini?" suara Jessy melengking, mencoba menutupi gejolak di dalamnya dengan kemarahan. "Keluar!"
"Aku udah bilang Pak Deri kalau aku mau antar kamu pulang," jawab Rayyan, suaranya rendah tapi jelas, tidak tergoyahkan.
"Aku pulang sama Zean," sanggah Jessy cepat, melipat tangannya di dada. "Jadi sekarang kamu bisa pergi!"
"Jangan pulang sama cowok itu, Jes," pinta Rayyan, nadanya lebih lembut, hampir seperti desahan.
"Terus apa? Aku suruh naik motor tua kamu lagi? Kehujanan lagi kayak kemarin?!" sergah Jessy, kata-katanya sengaja dipilih untuk melukai.
"Aku akan pesanin taksi online kalau kamu nggak mau naik motor," tawar Rayyan, berusaha mencari jalan tengah.
"Nggak perlu! Aku akan pulang sama Zean," balas Jessy dengan sikap keras kepala, memutar tubuhnya kembali ke cermin.
"Nggak bisa, Jes. Kamu nggak boleh pulang sama cowok itu," suara Rayyan menjadi lebih tegas, ada desakan yang tidak biasa dalam nadanya. "Dia bukan cowok baik-baik!"
Jessy berbalik mendadak, matanya menyala-nyala. "Terus kamu pikir kamu cowok baik, gitu?!" hardiknya, suaranya pecah oleh emosi yang tertahan. "Cowok baik mana yang buang pacarnya gitu aja pas udah bosen?!"
"Aku nggak pernah buang kamu, Jes!" bantah Rayyan, suaranya juga meninggi untuk pertama kalinya, menahan amarah dan rasa frustrasi.
"Terus apa? Kalau bukan 'buang', apa? Mencampakkan?!" teriak Jessy, air mata mulai membentuk genangan di pelupuk matanya yang sudah sedikit memerah. Setiap kata seperti melepaskan luka lama yang belum sembuh.
Rayyan terdiam. Dadanya terasa sesak, seperti ditinju. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam tuduhan Jessy. Tindakannya, meski dilatarbelakangi alasan yang rumit, pada akhirnya memang terasa seperti sebuah pengkhianatan.
Knock knock.
Ketukan pintu kembali memecah ketegangan.
"Jes, kamu udah siap?" suara Zean yang ramah terdengar dari balik pintu.
Jessy menarik napas dalam, berusaha menenangkan suaranya. "Iya, sebentar lagi. Kamu tunggu di lobi ya," jawabnya, dengan nada yang tiba-tara lembut dan manis, sangat kontras dengan teriakannya pada Rayyan.
"Oke..." sahut Zean sebelum langkah kakinya menjauh.
Mendengar itu, api di dalam diri Rayyan berkobar lagi. "Aku udah bilang, kamu pulang sama aku," desisnya, mendekati Jessy. "Kalau nggak mau naik motor, aku bisa pesanin taksi."
"Aku bisa pesen taksi sendiri kalau mau," Jessy menatapnya dengan tatapan penuh tantangan, senyum kecil yang sinis muncul di bibirnya. "Tapi sekarang, aku maunya pulang sama Zean."
Dia mengambil tas brandednya dari sofa, lalu berjalan menuju pintu. Saat melewati Rayyan, pria itu dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Genggamannya kuat dan hangat, membuat Jessy terkesiap.
"Pulang sama aku," pinta Rayyan sekali lagi, suaranya rendah dan penuh dengan emosi yang tertahan. "Aku cuma mau mastiin kamu aman sampai rumah."
"Aman?" Jessy terkekeh getir, matanya menyipit. "Kamu pikir Zean orang jahat? Kamu pikir dia akan bersikap sama kayak kamu? Membuang aku setelah bosan?" Setiap kata seperti pisau, menusuk tepat di rasa bersalah Rayyan. "Lepas!"
Dia menghentakkan tangannya dengan kuat, melepaskan diri dari genggaman Rayyan. Tanpa menoleh lagi, dia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Rayyan sendirian di dalam ruangan yang tiba-tara terasa sangat sunyi dan hampa. Bayangan punggung Jessy yang menjauh adalah pengingat pahit bahwa luka yang ia tinggalkan mungkin sudah terlalu dalam untuk disembuhkan.
***
Kamar Rayyan yang sempit terasa semakin pengap malam itu. Hanya diterangi oleh lampu belajar tua yang memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang di dinding yang catnya mulai mengelupas. Rayyan terbaring di atas kasur single bed-nya, tapi matanya tak kunjung terpejam. Ponsel lawasnya yang layarnya retak tergeletak di dadanya, seolah menunggu sebuah kabar yang tak kunjung datang.
Pikirannya hanya berputar pada satu nama: Jessy. Apakah dia sudah sampai rumah dengan selamat? Apakah Zean adalah pria yang bisa dipercaya? Ingatannya akan obrolan mesum Zean di toilet gedung Starlight membuat dadanya sesak. Kecemburuan dan kekhawatiran berbaur menjadi sebuah kegelisahan yang menggerogoti.
Dengan gerakan cepat yang tak biasa bagi dirinya yang biasanya tenang, ia mengambil ponsel dan menekan deretan nomor yang masih ia simpan.
Tring... tring...
"Halo?" suara Gio, adik Jessy, terdengar ceria di seberang sana.
"Halo, Gio," sapa Rayyan, berusaha membuat suaranya terdengar normal.
"Wah, Mas Rayyan! Tumben nelfon," sambut Gio dengan riang.
"Apa... Jessy udah pulang?" tanya Rayyan, tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Cieee... yang masih perhatian nih," ledek Gio, suaranya penuh tawa.
"Serius, Gio. Kakak kamu udah pulang belum?" desak Rayyan, nadanya lebih tegas.
"Oke, oke," Gio akhirnya serius. "Belum, Mas. Paling lagi jalan sama Kak Della sama Kak Nita kayak biasa."
Rayyan terdiam. Jari-jemarinya mengepal. Dia tahu itu bohong. Instingnya mengatakan bahwa Jessy sedang bersama Zean.
"Gio, bisa tolong telponin Jessy? Tanya dia lagi di mana sekarang?" pinta Rayyan, suaranya hampir seperti merengek. Dia harus tahu. Kegelisahan ini akan menghancurkannya.
"Bisa sih, Mas," jawab Gio, lalu nada suaranya berubah licik. "Tapi habis ini Mas Rayyan harus datang ke rumah, ya. Bantu Gio belajar buat ujian semester akhir. Soal matematika nih, bikin pusing!"
Rayyan menghela napas. Ini adalah pemerasan tingkat anak SMA, tapi dia tidak punya pilihan. "Iya," jawabnya singkat.
"Janji?" tanya Gio lagi, memastikan.
"Iya, janji. Sekarang tolong telponin dulu kakak kamu," pinta Rayyan, tidak sabar.
"Oke! Nggak usah dimatiin ya, Mas. Biar Mas Rayyan denger sendiri," ujar Gio sebelum suaranya menjauh. Rayyan bisa mendengar suara langkah kaki Gio dan kemudian bunyi tombol telepon rumah ditekan.
Tring... tring...
Beberapa detik kemudian, suara Jessy yang seperti bel terdengar dari speaker. "Halo...?" Suaranya lembut, hampir melengking.
"Kakak, lagi di mana?" tanya Gio polos.
"Kepo banget sih, lo!" balas Jessy, nadanya langsung berubah ketus begitu tahu ini adalah adiknya.
"Orang aku disuruh Mami buat telponin kakak. Kalau nggak mau jawab, aku aduin ke Mami, nih," ancam Gio dengan lancar.
"Gue lagi makan malam romantis sama artis ganteng! Puas, lo?!" seru Jessy, suaranya terdengar sengit.
Rayyan mengeratkan giginya. Dadanya seperti diiris-iris.
"Halah, bohong! Kirim poto buktinya dong!" tantang Gio, bermain peran dengan sempurna.
Tak lama, dari speaker terdengar bunyi notifikasi pesan masuk. "Nih, udah gue kirim. Kasih tunjuk sama Mami," ujar Jessy dengan nada menang sebelum menutup telepon dengan kasar.
Kembali ke sambungan dengan Rayyan, Gio berkata, "Udah denger kan, Mas? Lagi makan malam romantis katanya." Dia terkekeh. "Cemburu nggak, Mas?"
Kemudian, sebuah gambar masuk ke ponsel Rayyan. Foto selfie Jessy dan Zean di sebuah restoran mewah. Latar belakangnya gelap dengan lilin di atas meja. Jessy tersenyum manis, pipinya bersandar dekat dengan bahu Zean yang tersenyum percaya diri ke arah kamera. Mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna.
Rayyan menatap foto itu lama. Rasa cemburu, sakit hati, dan kekalahan bercampur menjadi satu. "Oke, Gio. Makasih ya," ucapnya, suara serak penuh kekecewaan.
"Jangan lupa, Mas! Janjinya buat ngajar aku," ingat Gio sekali lagi sebelum mereka menutup telepon.
"Iya," gumam Rayyan lemah.
Dia melemparkan ponselnya ke bantal dan menatap langit-langit kamar yang kosong. Foto itu masih terpampang di layar, menyinari kegelapan kamarnya dengan cahaya yang menyakitkan. Jessy tampak bahagia. Tanpanya. Dan Rayyan, dengan segala kecerdasan dan ketenangannya, merasa seperti orang yang paling bodoh dan tak berdaya di dunia.
kudu di pites ini si ibu Maryam