Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 18
Rania meremas jemari tangannya sendiri, mencoba untuk tegar. Tapi Adrasta tidak memberinya ruang untuk melawan atau kabur. Tangannya perlahan menyentuh bahu Rania, lalu turun ke lengannya, sebelum akhirnya mulai melepaskan satu per satu pakaian Rania dengan cara yang sangat perlahan seolah menguji batas sabarnya.
Setiap sentuhan itu bukan hanya membuat Rania terdiam membeku, tetapi juga memancing seluruh syaraf tubuhnya bereaksi tanpa ia kehendaki. Adrasta memperlakukan tubuh Rania seolah itu memang miliknya - dan memang begitulah cara Adrasta memandang Rania... miliknya seutuhnya. "Jangan tegang," bisiknya lagi, ketika jemarinya menyentuh kulit Rania. "Kamu janji mau nurut sama aku, kan?"
Rania menahan napasnya saat Adrasta mendekatkan wajahnya. Tatapan mereka bertemu sengit, rumit, dan penuh luka yang tersembunyi. Dan saat itu pula tanpa aba-aba, Adrasta kembali meraih wajah Rania dan menciumnya dalam-dalam, intens, keras, namun perlahan berubah menjadi dalam dan menggoda, seolah menguras habis seluruh perasaan yang ada di antara mereka.
Ciuman Adrasta hampir membuat Rania kehilangan nafas. Jantungnya berdetak semakin tidak karuan, sementara Adrasta perlahan membimbing tubuhnya untuk mundur, mendekati ranjang besar yang ada di belakang mereka. Semua batas di antara mereka mulai kabur.
Semua perlawanan Rania, perlahan dipatahkan oleh caranya Adrasta menyentuh, menatap, dan memperlakukannya. Dan malam itu takdir seolah menutup pintu logika untuk keduanya.
Di atas ranjang besar bernuansa putih itu, bayangan dua manusia yang terjebak dalam ikatan rumit bernama pernikahan tampak samar di bawah remang lampu gantung kristal. Hening. Hanya desah nafas mereka yang terdengar berpadu, menyingkirkan segala batas ego dan amarah yang sempat memenuhi dada.
Bibir Adrasta tak pernah sekalipun berhenti menyusuri setiap jengkal tubuh Rania, seolah ingin meninggalkan jejak tentang siapa pemilik wanita itu kini. Sentuhannya bukan hanya keras atau menuntut... justru sebaliknya. Ada kelembutan yang nyaris membunuh pertahanan Rania. Ada cara Adrasta menyentuhnya, seolah takut wanita itu hancur jika disentuh terlalu kasar.
Sementara itu, jemari laki-laki itu begitu lihai menelusuri lekuk tubuh Rania, membuat aliran darah Rania seolah berkejaran di bawah kulitnya. Untuk pertama kalinya, Rania merasakan sentuhan yang membuatnya kehilangan arah. Sentuhan yang perlahan-lahan meruntuhkan dinding benci dalam dirinya.
"Adrasta..." lirih itu akhirnya lolos dari bibir Rania lembut, bergetar, dan tanpa sadar terdengar begitu menggoda. Adrasta berhenti sejenak, menatap wajah Rania dari jarak yang begitu dekat. Mata mereka bertemu. Mata Adrasta tampak gelap namun dipenuhi bara api yang nyaris membakar kewarasannya.
"Panggil lagi namaku..." bisiknya serak, penuh dominasi. Dan entah mengapa, tanpa sadar, Rania menuruti. Lagi dan lagi. la memanggil nama Adrasta dengan suara yang nyaris membuat laki-laki itu kehilangan kendali sepenuhnya.
Bagi Adrasta, malam ini bukan sekadar tentang memiliki tubuh Rania. Ini tentang menegaskan bahwa wanita itu... adalah miliknya. Miliknya seutuhnya. Bukan karena perjanjian. Bukan karena ancaman. Tapi karena ikatan yang tak akan bisa dihapus begitu saja.
Adrasta tak henti-hentinya membiarkan bibirnya meninggalkan jejak-jejak merah di kulit pucat Rania, seolah menggambar peta tentang siapa penguasa tunggal atas dirinya. Tidak ada bagian dari Rania yang luput dari tanda kepemilikan Adrasta malam itu.
Dan saat batas itu akhirnya runtuh ketika kesucian Rania perlahan Adrasta renggut dengan seluruh rasa haus kepemilikannya dunia seolah berhenti berputar sejenak. Rania tahu... sejak detik itu, dirinya bukan lagi sama.
la bukan hanya Rania.
la adalah milik Adrasta.
Sepenuhnya.
Hening kembali tercipta usai badai itu reda. Hanya suara nafas berat mereka yang tersisa. Adrasta merengkuh tubuh kecil Rania dalam pelukannya, seolah enggan melepaskan barang sedetik saja. "Aku udah bilang, kan?" bisik Adrasta rendah di telinganya, nadanya penuh kemenangan dan ketulusan sekaligus. "Mulai malam ini... kamu nggak akan ke mana-mana lagi, Rania."