Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon memutar bola matanya, semakin bingung dan kesal dengan sikap Gwen yang terlalu santai. "Gwen, lo ini bener-bener aneh, tau nggak sih?" katanya setengah marah, setengah bingung. "Lo tahu kan, perusahaan ini hampir hancur dan gue nggak tahu harus mulai dari mana! Tapi lo malah santai aja kayak nggak ada masalah! Apa lo nggak mikir kalau ini serius?"
Gwen mengangkat bahu sambil menyeruput kopi dengan tenang, senyum kecil menghiasi wajahnya yang tidak pernah berubah dari ekspresi acuh tak acuh. "Lo bisa teriak sekeras apapun, Deon. Tapi kalau lo nggak paham apa yang terjadi, itu nggak bakal ngubah apa-apa. Masalahnya bukan cuma di luar sana, tapi juga ada di dalam diri lo. Lo harus bisa lihat apa yang nggak kelihatan."
Deon menatap Gwen tajam, mulutnya terkatup rapat, namun pikirannya penuh dengan kebingungan yang semakin mendalam. "Apa maksud lo, Gwen?" tanyanya dengan suara serak, hampir tak percaya pada kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Gwen. "Apa yang nggak kelihatan? Apa lo bilang gue harus cari jawaban dalam diri gue sendiri?"
Gwen meletakkan cangkir kopinya di sampingnya dan menatap Deon dengan tatapan tajam yang penuh makna. "Lo lihat, kan? Semua yang lo cari ada di depan mata lo. Lo tinggal buka mata dan pikirin dengan jernih. Lo nggak bisa terus-menerus berlari dari kenyataan hanya karena takut menghadapi apa yang ada."
Deon merasa seperti terhantam petir. Hatinya berdegup kencang, dan matanya tiba-tiba terbuka lebar, seakan sebuah pencerahan mulai muncul di dalam kepalanya.
Dia menghirup udara dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia mulai merasa seperti ada jalan keluar dari semua kebingungannya.
"Apa yang harus gue lakukan, Gwen?" kata Deon pelan, hampir berbisik, seperti seorang anak yang akhirnya mengerti bahwa jalan yang dia pilih selama ini mungkin salah.
Gwen tersenyum tipis, tatapannya penuh makna. "Itu terserah lo, Deon. Tapi gue cuma mau ngingetin satu hal. Lo nggak pernah benar-benar sendirian, dan kadang jawaban itu ada di tempat yang paling lo hindari."
Dan dengan itu, Gwen berdiri, meninggalkan Deon yang masih terdiam di sana, berpikir keras. Saat dia pergi, Deon merasa seperti ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk menggali lebih dalam.
Apa yang dia cari selama ini? Apa yang tersembunyi dalam perusahaan ini? Dan lebih penting lagi, apa yang selama ini dia hindari dalam dirinya sendiri?
Deon berdiri terdiam, matanya menatap kosong ke jalanan di bawah, sementara kata-kata Gwen terus berputar-putar di kepalanya.
"Lo nggak pernah benar-benar sendirian,"
Kata-kata itu bergaung dalam pikirannya, seperti bisikan yang datang dari tempat gelap yang tak bisa dia jelaskan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai tergerak, sesuatu yang selama ini ia pendam begitu dalam.
Dengan langkah tegas, Deon akhirnya berbalik, memandang ke arah Gwen yang semakin menjauh.
Sebuah rasa marah dan frustrasi mulai berubah menjadi tekad yang kuat. "Gwen!" teriaknya, suaranya keras dan penuh kekuatan. "Lo bilang ada jawaban yang selama ini gue hindari? Lo bilang jawaban itu ada di depan mata gue? Gue nggak akan berhenti sampai gue temuin itu!"
Gwen berhenti sejenak, tidak menoleh, tapi hanya menanggapi dengan senyum penuh arti. "Lo berarti mulai paham maksud gue, Deon. Sekarang tinggal satu langkah lagi. Yaitu lo harus bisa terima kenyataan, dan hadapi apa yang ada di depan lo."
Deon merasa seperti terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Segala kebingungannya mulai terkumpul, seolah membentuk sebuah gambaran yang lebih jelas.
Dia bukan hanya berjuang untuk perusahaan ini, tapi untuk dirinya sendiri. Dia harus menghadapi kenyataan yang sudah lama dia hindari.
Dan mungkin, hanya mungkin inilah saatnya untuk akhirnya mengungkap semuanya.
Dengan langkah penuh tekad, Deon berjalan ke arah pintu rooftop. Tiba-tiba, matanya tertuju pada pemandangan gedung-gedung tinggi yang membentang luas. Dalam benaknya, perasaan baru muncul adalah saatnya dia bermain di level yang lebih tinggi, dan tak ada yang bisa menghentikannya.
"Semua yang gue butuhkan ada di sini," gumamnya dalam hati, tangan terangkat dan mengepal dengan penuh kekuatan. "Dan gue nggak akan biarkan siapa pun, bahkan Ayah gue sendiri, menghalangi gue untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Dengan langkah mantap, Deon menyusuri koridor gedung tinggi itu, bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini di perusahaan ayahnya.
Tapi kini, dia tahu tak ada yang lebih kuat daripada tekad seseorang yang sudah siap menghadapi kebenaran, apapun harga yang harus dibayar.
___
Kini Deon kembali ke sosok yang dikenal orang-orang sebelumnya. Santai, ceria, dan terlihat seperti anak magang yang tak tahu apa-apa.
Dia memainkan peran ini dengan sempurna, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Di luar, dia tampak seperti Deon yang dulu, menyerahkan dirinya pada irama perusahaan. Menyambut dengan senyum ke setiap tugas yang diberikan, meskipun dalam hatinya, ada api yang menyala. Api yang membakar untuk mengungkapkan semua kebohongan yang selama ini tersembunyi.
Dia tahu, untuk mendapatkan informasi, dia harus menjadi seseorang yang tak dicurigai. Seseorang yang terlihat tak berbahaya, yang mudah dilupakan. Deon memutuskan untuk memutar otaknya, menjadikan dirinya seperti boneka yang mudah dikendalikan.
Ini adalah permainan. Permainan yang mengharuskan dia untuk memanipulasi semua orang di sekitarnya, bahkan jika itu berarti harus mengecoh mereka yang percaya padanya.
Saat itu, dia berjalan santai melewati meja-meja para senior, melemparkan senyum manis yang hampir sempurna. "Eh, Bang Bayu, lo lagi ngapain? Nggak sibuk kan?" tanyanya dengan nada kekanak-kanakan, pura-pura polos.
Bayu, yang sudah mulai terbiasa dengan sikap tengil Deon, memandangnya sejenak sebelum menjawab dengan anggukan, "Kerja aja, lo bisa bantuin gue nggak?"
Deon tersenyum lebih lebar, menahan tawa kecil yang ingin keluar. "Bantuin? Wah, itu sih gampang banget, Bang. Tinggal kasih tugas, gue pasti kerjain dengan sepenuh hati!" jawabnya sambil memberi anggukan penuh keyakinan.
Namun di dalam hatinya, Deon tahu ini semua adalah langkah kecil yang harus dia ambil. Dia beradaptasi, menyatu dengan lingkungan yang tampak jauh lebih santai dari yang ia bayangkan.
Semua orang di sekitarnya mulai menganggapnya sebagai anak magang yang tidak lebih dari sekadar pelengkap ruang kantor. Mereka tidak tahu bahwa di balik sikap cerianya, Deon sedang merangkai strategi jitu.
Mata tajamnya tak pernah berhenti mengamati setiap pergerakan, setiap percakapan, setiap detail sekecil apapun. Dia mulai mendekati mereka yang memiliki informasi penting, memancing percakapan tanpa terlihat mencurigakan.
Sambil tertawa ringan, Deon mulai menyusup masuk ke dalam percakapan-percakapan yang lebih besar dan jelas itu di luar dari apa yang orang-orang pikirkan.
"Jadi, kabar terbaru dari yang lain, Bang?" tanyanya suatu hari kepada seorang senior yang baru saja melewati meja kerjanya, pura-pura penasaran.
"Ah, nggak ada yang penting sih, cuma gossip kantor. Lo nggak perlu tahu," jawab senior itu sambil melanjutkan langkahnya.
Tapi Deon tahu lebih dari itu. Kadang-kadang, yang tak diungkapkan adalah informasi yang paling berharga.
Dia hanya tersenyum, berterima kasih, dan membiarkan obrolan itu berlalu. Dia tahu waktunya akan datang, waktu ketika semua potongan puzzle itu akhirnya terhubung.
Sekarang, Deon memang terlihat seperti sosok yang tak berbahaya, namun dalam pikirannya, dia sudah merencanakan langkah besar berikutnya.
Sebagai anak magang yang terlihat tak penting, dia bisa bebas melangkah tanpa pengawasan ketat. Dan dengan cara itu, dia akan mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari. Jawaban yang tersembunyi di balik senyum dan kebohongan yang ada di sekelilingnya.
Deon kini mulai merasa seperti pemain di sebuah papan catur besar, dan dia tahu betul peran yang harus ia mainkan. Setiap langkahnya, setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, semua direncanakan dengan cermat.
Semua orang yang melihatnya hanya akan menganggapnya sebagai anak magang biasa yang terlalu sibuk dengan canda tawa dan gaya tengilnya, tapi itu adalah taktik yang sangat cerdik. Seiring berjalannya waktu, dia semakin mahir menutupi niat sebenarnya.
Suatu sore, saat kantor sudah mulai sepi dan hanya beberapa orang tersisa, Deon melangkah dengan santai menuju ruang kecil di ujung lorong yang sering digunakan untuk rapat informal.
Ia tahu betul, di dalam ruangan itu ada dua orang yang baru saja mencurigakan dalam pembicaraan mereka. Dua orang yang ia curigai terlibat dalam masalah besar yang selama ini mengganggu pikirannya.
Dengan langkah yang hampir tak terdengar, dia membuka pintu perlahan, cukup untuk mendengar dengan jelas percakapan mereka. "Lo yakin dia nggak tahu, kan?" suara berat seorang senior terdengar dari dalam.
"Tenang aja, dia cuma anak magang. Gue pikir lo terlalu khawatir. Kita udah tutup rapat ini dengan sangat rapi," jawab senior lainnya.
Deon mendekat sedikit, bersembunyi di balik pintu, jantungnya berdetak lebih cepat. Itu yang dia butuhkan, pembicaraan itu.
"Kita harus pastikan dia nggak bisa akses apapun yang bisa merusak semuanya," lanjut senior pertama.
Perkataan itu menancap dalam, menambah kecurigaannya. Dia yang dimaksud tentu saja dirinya.
Tapi kenapa mereka begitu khawatir? Apa yang mereka sembunyikan? Semua potongan itu mulai bersatu, mengarah pada satu jawaban yang semakin jelas. Ada yang sangat salah di perusahaan ini, dan mereka ingin menutupinya dengan segala cara.
Deon menahan nafasnya, tubuhnya tegang. Ketika satu dari mereka mulai berjalan menuju pintu, dia segera bergerak cepat, menghindar agar tidak terlihat.
Pintu terbuka, dan dua senior itu berjalan keluar tanpa menyadari bahwa Deon baru saja mendengar percakapan yang bisa merubah segalanya.
Mata Deon bersinar penuh tekad. Semua yang ia dengar mengkonfirmasi satu hal, ada sesuatu yang sangat besar yang coba disembunyikan. Dan dia, meskipun terlihat tak berbahaya, kini sudah berada di ujung catur, siap menekan langkah berikutnya.
"Ini baru permulaan," bisiknya pelan, dengan senyum licik yang mulai kembali muncul di wajahnya.
Dalam permainan ini, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan dan pastinya kali ini, tak ada yang bisa menghalangi langkahnya.