Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Sejak mengantar Malika ke kampus, Alexander menjadi tidak tenang. Fokusnya melayang. Biasanya, bahkan di tengah badai sekalipun, ia bisa mempertahankan konsentrasi penuh pada urusan Frederick Corp.
Namun kali ini berbeda.
Pikirannya terus-menerus kembali pada wajah polos Malika, bibir dan pipinya yang terasa lembut, dan terutama, keengganannya untuk berhenti memikirkan kucing oranye sialan itu.
Saat sedang memimpin rapat dewan direksi yang membahas ekspansi ke pasar Asia, Alex tiba-tiba menghentikan presentasi.
Ekspresinya yang biasanya dingin kini tampak gelisah. Matanya terus melirik jam.
Kini sudah pukul empat sore. Malika pasti sudah selesai kelasnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Alexander berdiri. Ia menyambar jas mahalnya yang tersampir di kursi, meninggalkan para direksi dalam keheningan total.
Jimmy yang berada di luar ruang rapat, bersiap untuk presentasi berikutnya, terkejut melihat Alexander yang berjalan terburu-buru menuju lift.
“Alex! Mau ke mana kau?! Rapatnya belum selesai! Presentasi berikutnya itu sangat penting untuk negosiasi properti!” Jimmy langsung mengejar, berusaha mengimbangi langkah cepat Alex.
Alex mengabaikannya, menekan tombol lift dengan tidak sabar.
“Ini jam penting, Alex! Setidaknya jelaskan kenapa kau meninggalkan ruang rapat! Apakah ada serangan di pelabuhan lagi? Atau Kaylin meneleponmu?” Jimmy mendesak sembari menarik lengan jas Alex.
Alexander akhirnya menoleh, tatapannya dingin namun ada kilatan kesenangan di sana, seolah ia baru saja mendapatkan ide yang brilian untuk membungkam Jimmy.
“Aku akan menjemput gadisku,” jawab Alex datar, sebelum masuk ke dalam lift dan menekan tombol ground floor.
Jimmy melongo. Ia benar-benar membeku di tempat, di tengah koridor marmer yang sunyi.
Gadisnya?
Apakah itu Kaylin? Tidak mungkin. Alex tidak akan pernah menyebut Kaylin dengan sebutan se-sensitif itu. Alex selalu bersikap acuh tak acuh pada tunangannya.
Jimmy berlari ke arah tangga, mengabaikan lift, demi mengejar Alexander sebelum pria itu menghilang ke dalam mobilnya.
“Alex! Tunggu!” Jimmy berhasil mencapai lobi saat Alexander baru saja memasukkan kunci mobil sport hitamnya.
“Minggir paman!”
“Tidak!” Jimmy berdiri di depan pintu mobil Alex, menghalangi. “Siapa gadis yang kau maksud, Alex? Jawab aku! Aku tidak suka dengan permainanmu ini!” bentak Jimmy, mengabaikan fakta bahwa ia sedang membentak pewaris sah keluarga Frederick.
Alex menyandarkan punggung ke jok mobil, memasukkan kedua tangan ke saku celana. Senyum sinis
tipis terukir di bibirnya.
“Kau sangat cemas, Paman. Kenapa? Apa kau takut aku melakukan sesuatu yang terlarang lagi?” tanya Alex, menggunakan kata yang sama yang Jimmy lontarkan padanya kemarin.
“Ini bukan soal terlarang atau tidak! Ini tentang etika! Dan lagi, kau baru saja mencium gadis itu! Aku melihat foto-fotonya! Siapa dia bagimu sampai kau berani mengacaukan jadwal penting untuk menjemputnya?! Jawab aku, Alexander!” Jimmy menunjuk dengan marah.
Alexander menatapnya lama, matanya yang tajam menembus Jimmy, seolah sedang membaca semua kekhawatiran dan ketakutan sang paman.
“Dia bukan Kaylin,” jawab Alex santai.
Pernyataan itu sontak membuat Jimmy semakin panik.
“Kalau bukan Kaylin, siapa?! Apakah itu pelayan kecil dari rumah belakang itu? Malika?! Kau gila, Alex! Kau tidak bisa mencampur urusan keluarga dengan pekerja! Kau—”
“Dia bukan pelayan!” Alexander memotongnya dengan nada yang sangat rendah dan mengancam, tetapi penuh kepuasan.
Jimmy mengernyit. “Lalu
siapa?!”
Alexander mengeluarkan satu tangan dari saku, menunjuk ke arah jalan.
“Dia gadisku,” ujar Alex, penekanan pada kata gadisku sangat jelas. “Dan aku akan menjemputnya sekarang. Aku tidak suka gadis yang kutunggu kedinginan di halte. Jadi, minggir.”
Jimmy tercekat. Wajahnya memucat total. Lagi-lagi Alex nenyebut Malika gadisnya. Alexander Frederick yang anti-komitmen, anti-wanita, dan anti-cinta baru saja mengklaim
seorang gadis.
“Kau tidak bisa melakukan ini! Kau punya tanggung jawab! Kau punya Kaylin! Kau punya nama baik yang harus dijaga! Keluarga ini tidak butuh skandal, Alexander!” Jimmy hampir berteriak.
“Tanggung jawabku hanya pada klan Frederick, dan gadis itu adalah urusanku sekarang,” balas Alex. “Soal Kaylin, kau tidak perlu khawatir. Kami hanya bertunangan di atas kertas. Lagipula, jika Kaylin tidak suka, biarkan saja dia mengeluh pada papa!”
Jawaban itu benar-benar skak mat bagi Jimmy. Ia tahu, Kaylin tidak akan pernah berani mengeluh langsung pada Diego Frederick.
Jimmy menghela napas panjang, frustrasi terlihat jelas di setiap lekuk wajahnya.
“Kau melakukan ini hanya untuk melawanku, bukan?” tuduh Jimmy, suaranya kini terdengar putus asa.
Alexander tersenyum tipis, tawa yang tak sampai ke mata.
“Mungkin. Tapi Malika jauh lebih menarik daripada perdebatan konyol kita, Paman.” Alex menyalakan mesin mobilnya. Raungan mesin sport itu memenuhi lobi. “Minggir atau aku akan menyeretmu ke mansion dan makan malam bersamaku!”
Ancaman itu cukup efektif. Jimmy tahu, makan malam bersama Alexander sama menyiksanya dengan dibakar hidup-hidup.
Jimmy mundur perlahan, membiarkan Alexander meluncur keluar dari mansion dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Jimmy dalam kebingungan dan kekalahan yang menyakitkan.
Ia mengeluarkan ponsel, tangannya bergetar. Ia harus melaporkan ini pada Diego. Alexander benar-benar sudah hilang kendali.
“Sialan kau, gadis kampung! Kau sudah membuat Tuan Mudaku menjadi tidak waras!” desis Jimmy, menatap mobil Alex yang menghilang di belokan.
malika dan Leon cm korban😄🤣