Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Ruangan itu dipenuhi ketegangan. Tidak ada yang berani bergerak atau bersuara untuk beberapa saat. Bahkan Kakek Veyron tetap diam, membiarkan pertarungan ini berlangsung di antara dua pria muda itu.
Sementara itu, Dokter Aurelian dan Pendeta Suci saling bertukar pandang dengan cemas, menyadari bahwa ini bukan sekadar pertarungan kata-kata biasa. Ini adalah pertarungan harga diri, klaim, dan warisan yang Sera tinggalkan.
“Dia istriku.”
Suara Pangeran Riana terdengar tenang, tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang begitu mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Tatapannya tetap tajam, dingin, penuh kepemilikan.
“Kau…”
Pangeran Arana mengepalkan tinjunya. Napasnya memburu, seolah ia sedang berusaha menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di depannya.
“Kau benar-benar tidak tahu malu, Pangeran Riana.” Suaranya rendah, penuh kemarahan yang membara. “Kau mengambilnya ketika dia tidak mengingat apapun. Kau mengambil keuntungan dari kondisinya. Jika Kakak masih hidup, dia tidak akan membiarkanmu menyentuhnya sedikit pun!”
Pangeran Riana tidak menunjukkan reaksi. Dia hanya mengangkat dagunya sedikit, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang sulit ditebak.
“Tapi dia tidak hidup, bukan?”
Seketika, ruangan terasa semakin berat. Kata-kata Pangeran Riana begitu kejam, tapi juga tidak bisa dibantah. Pangeran Sera telah mati. Yang tersisa hanyalah Yuki—dan dia berada di sisi Pangeran Riana sekarang.
Yuki menggeliat pelan di atas ranjang, matanya yang masih terasa berat mulai terbuka perlahan. Suara-suara di sekitarnya terdengar samar, seperti gema dari kejauhan. Namun, begitu kesadarannya kembali, ia bisa menangkap ketegangan di dalam ruangan.
Pangeran Riana, yang berdiri di dekatnya, mengabaikan siapa pun yang ada. Begitu melihat Yuki membuka mata, dia langsung bergerak mendekat, mendorong siapa saja yang menghalangi jalannya. Tatapan tajamnya melunak, tapi tetap penuh ketegasan saat dia berjongkok di samping ranjang, menangkup wajah Yuki dengan kedua tangannya.
“Aku…” Yuki ingin mengatakan sesuatu, tapi Pangeran Riana lebih cepat.
“Diamlah. Jangan bicara apa-apa lagi.” Suaranya lembut, tapi tak terbantahkan. “Untungnya bayi dalam kandunganmu baik-baik saja.”
Mata Yuki melebar. Hatinya berdebar kencang. “Bayi?” suaranya hampir seperti bisikan.
Dokter Aurelian, yang berdiri tidak jauh dari sana, mengangguk. “Ya, Putri Yuki. Anda hamil.” Ia melangkah maju, menyerahkan selembar kertas pada Yuki—foto hasil pemeriksaan USG. “Tapi kandungan Anda sangat lemah. Jadi Anda harus berhati-hati dan jangan terlalu stres.”
Yuki menatap gambar hitam putih di tangannya, dadanya terasa sesak oleh berbagai emosi yang berkecamuk. Tangannya gemetar sedikit saat ia menyentuh perutnya, seolah mencoba merasakan kehadiran bayi yang baru saja diberitahu keberadaannya.
Pangeran Riana menatap Yuki dengan sorot mata tajam, nada suaranya tetap tenang namun sarat dengan perintah yang tidak bisa dibantah. “Yuki, seharusnya kau tidak boleh hamil dulu. Kondisimu belum siap, dan itu bisa membahayakanmu. Jadi jika kau ingin aku membiarkan anak itu lahir, kau harus menjaga dirimu.”
Yuki membeku di tempat, matanya melebar karena terkejut. Hatinya mencelos mendengar kata-kata itu. “Kenapa kau begitu jahat pada anakmu sendiri?” suaranya bergetar, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Pangeran Riana menatap Yuki tanpa sedikit pun keraguan di matanya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, dia hanya tersenyum tipis—senyum yang dingin dan tanpa belas kasihan. “Jika tidak ingin terjadi sesuatu pada bayimu, dengarkan saja perkataanku.”
Nada suaranya datar, seolah itu hanyalah pernyataan sederhana, namun ancaman terselubung di baliknya begitu jelas. Yuki merasakan bulu kuduknya meremang. Tidak ada ruang untuk perlawanan dalam tatapan Pangeran Riana.
Saat itu juga, Yuki sadar—laki-laki di hadapannya tidak akan ragu melakukan apa pun demi memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Tidak peduli siapa yang harus dikorbankan.
...****************...
Di dalam ruangan yang dipenuhi suasana tegang, Pangeran Arana, Kakek Veyron, dan Paman Gregor duduk menghadap layar besar yang menampilkan Raja Jafar serta para pejabat tinggi Argueda. Mereka sedang mengadakan rapat mendadak, membahas perkembangan yang tidak terduga—peristiwa yang mengubah segalanya.
Salah satu topik utama yang menjadi pusat diskusi adalah Putri Yuki.
Kehilangan Ingatan
Semua yang hadir kini memahami bahwa Putri Yuki kehilangan ingatannya setelah menyaksikan secara langsung ledakan yang merenggut nyawa Pangeran Sera. Trauma yang begitu besar itu menghapus sebagian kenangan Yuki, meninggalkannya dalam keadaan kosong, tanpa ingatan tentang pria yang pernah menjadi suaminya.
Kenapa Putri Yuki Ada di Sana?
Fakta yang terungkap jauh lebih mengejutkan. Putri Yuki seharusnya menjadi orang yang menarik segel suci itu. Dialah yang awalnya dikirim untuk mengemban tugas tersebut. Namun, pada detik-detik terakhir, Pangeran Sera menyusulnya. Dia melempar Yuki ke bawah demi menyelamatkannya, lalu mengambil alih tugas itu sendirian. Dia sendiri yang menarik segel itu, mengorbankan dirinya dalam ledakan yang akhirnya merenggut nyawanya.
Kehamilan Putri Yuki
Fakta lain yang tak kalah penting adalah Putri Yuki sedang mengandung anak Pangeran Sera. Hasil tes DNA dari dokter kerajaan Argueda telah mengonfirmasi kebenaran ini. Tidak ada lagi keraguan. Darah Pangeran Sera mengalir dalam kandungan Yuki.
Keheningan menyelimuti ruangan setelah semua informasi itu disampaikan. Tatapan tajam Raja Jafar terpaku pada layar, sementara Pangeran Arana mengepalkan tangannya erat. Putri Yuki bukan hanya saksi dari kematian Pangeran Sera—dia adalah warisan terakhir yang ditinggalkan kakaknya. Dan kini, nasibnya ada di tangan mereka.
Paman Gregor menatap layar yang menampilkan Raja Jafar dengan ekspresi serius. “Yang Mulia, meskipun Putri Yuki benar-benar kehilangan ingatannya, dia tetaplah istri sah dari Pangeran Sera. Sangat tidak sopan dan tidak dapat diterima ketika Pangeran Riana—yang sejak awal diketahui terus mengejar Putri Yuki—justru memanfaatkan kesempatan di tengah duka yang kita alami.”
Ruangan itu dipenuhi keheningan tegang.
Paman Gregor melanjutkan, suaranya penuh ketegasan dan kemarahan yang terpendam, “Dia bekerja sama dengan orang-orangnya, memperkenalkan dirinya kepada Putri Yuki sebagai suaminya, lalu menutupi fakta mengenai keberadaan dan kematian Pangeran Sera. Apakah ini yang akan kita biarkan terjadi, Yang Mulia?”
Di sisi lain ruangan, Kakek Veyron—raja terdahulu—tetap diam, mendengarkan dengan mata tajam yang sulit ditebak. Sementara itu, Pangeran Arana terlihat tegang, rahangnya mengeras saat menahan emosinya.
“Meskipun kandungan Putri Yuki lemah dan dia rawan keguguran, sangat tidak pantas bagi siapa pun untuk mengambil posisi sebagai suaminya saat dia kehilangan ingatan dan baru saja kehilangan suaminya.”
Paman Gregor menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi tenang, tetapi sorot matanya penuh kelicikan. Dia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan seseorang yang sedang menikmati pertunjukan daripada seorang kerabat yang berduka.
“Tentu saja, Kita semua berduka atas kematian Sera. Tapi jangan lupa, yang terpenting sekarang adalah kehormatan Argueda.” Suaranya terdengar lembut, tetapi setiap kata mengandung racun yang terselubung. “Apa yang dilakukan Pangeran Riana bukan hanya sebuah penghinaan terhadap keluarga kerajaan kita, tapi juga permainan kekuasaan yang berbahaya. Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita mengizinkan Garduete menginjak-injak kita.”
Dia melirik Raja Jafar di layar, seakan menguji seberapa jauh dia bisa mendorong situasi ini. “Yang Mulia, menurut saya… ada dua hal yang bisa kita lakukan: mengambil kembali Putri Yuki dan memastikan dia tidak lagi berada di bawah kendali Garduete, atau…” Gregor berhenti sejenak, matanya menyipit tajam. “Kita pastikan Pangeran Riana tidak lagi menjadi masalah bagi kita di masa depan.”
Pangeran Arana menegang mendengar nada bicara pamannya, tetapi Gregor tetap tenang, menikmati bagaimana benih-benih ketegangan mulai tumbuh di ruangan itu.
Raja Jafar memperhatikan perdebatan yang berkembang dengan wajah tanpa ekspresi, sementara di layar, beberapa penasihat dan perwira militer mengikuti jalannya diskusi dengan saksama.
Paman Gregor, dengan sikap angkuhnya, kembali berbicara lebih dulu. Suaranya tenang, tapi penuh kelicikan yang terbalut dalam nada diplomatis. “Apalagi, Yang Mulia. Aku mendengar kabar yang beredar mengenai ramalan Putri Duyung.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan. “Putri Yuki telah diramal akan memiliki empat anak yang membawa takdir besar. Namun lihatlah kenyataannya sekarang—Garduete telah dengan tamaknya mendapatkan dua dari mereka. Sedangkan kita, Argueda, yang lebih berhak dari siapa pun, belum mendapatkan bagian kita. Seharusnya dua anak lainnya menjadi milik kita.”
Di seberang meja, Pangeran Arana yang sejak tadi menahan diri akhirnya tidak bisa lagi menutup emosinya. Ia mengepalkan tangannya di atas meja, suaranya bergetar karena amarah. “Paman Gregor! Kakak telah meninggal. Dan Putri Yuki dikonfirmasi hanya bisa melahirkan tiga anak! Bagaimana Anda bisa mengajukan usul seperti ini dalam rapat kerajaan?! Apakah Anda bahkan peduli dengan keadaan Putri Yuki?”
Terdengar bisik-bisik dan kegelisahan dari para pejabat dan panglima perang kerajaan Argueda. Ekpresi Mereka semua terlihat jelas dari layar yang ada. Mana yang setuju dengan Paman Gregor dan mana yang tidak.