Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ide Yang Bagus
Pagi itu, Pak Wen menghampiri Ana yang sedang berada di dapur membuat teh untuk Dave.
“Nona Ana, saya membawa sesuatu untuk Anda,” katanya sambil membawa dua tas besar berisi barang-barang kebutuhan pribadi.
Ana yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatapnya dengan bingung. “Apa ini, Pak Wen?”
“Tuan Dave yang memerintahkan saya untuk membelikan semua kebutuhan pribadimu untuk satu bulan ke depan,” jawab Pak Wen dengan tenang.
Ana mengernyit, lalu membuka salah satu tasnya. Di dalamnya ada perlengkapan mandi, kosmetik, pakaian dalam, dan berbagai barang lain yang memang ia butuhkan.
Namun, bukannya merasa senang, Ana justru semakin kesal.
“Jadi, dia menyuruh Pak Wen membeli semua ini untukku, tapi tidak memberiku uang sama sekali?” tanyanya tajam.
Pak Wen tidak menjawab, hanya menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
Ana menutup tas itu dengan kasar, lalu berdiri. Ini sudah keterlaluan.
Ia langsung keluar dari dapur dan berjalan menuju ruang kerja Dave sambil membaca teh hangat.
Dave sedang membaca dokumen di belakang meja kerjanya ketika Ana masuk tanpa mengetuk pintu.
Pria itu mengangkat wajahnya, menatap Ana dengan dingin. “Apa?”
Ana berdiri tegak, menahan amarahnya. “Aku ingin bekerja.”
Dave meletakkan dokumennya, matanya menyipit. “Untuk apa?”
Ana menahan napas. “Karena kau tidak memberiku uang.”
Dave mendengus pelan. “Aku sudah memastikan semua kebutuhanmu terpenuhi. Kau tidak butuh uang.”
Ana mengepalkan tangannya. “Aku bukan anak kecil, Dave. Aku butuh uang sendiri!”
“Apa kau lupa kalau aku yang menentukan segalanya di rumah ini?” suara Dave terdengar tajam.
Ana mencoba menahan emosinya. “Aku hanya ingin bekerja. Aku tidak meminta lebih.”
Dave menatapnya lama, sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah namun penuh ketegasan.
“Aku melarangmu bekerja. Tugasmu adalah merawatku. Jangan melupakan batasanmu, Ana!" sentak Dave, suaranya terdengar berat.
Ana mengatupkan bibirnya rapat-rapat, merasa frustasi.
“Kenapa? Apa kau takut aku bisa mandiri dan tidak bergantung padamu?” tantangnya.
Dave tersenyum miring, tapi tatapan matanya dingin.
“Jika kau memang ingin mencari uang sendiri, kau bebas pergi. Tapi, kembalikan semua uang yang sudah diberikan Lusi kepada ibumu dalam waktu satu minggu!" ancam Dave yang selalu menekan Ana dengn uang mahar.
"Kau adalah lelaki pengecut, Dave. Yang bisa kau andalkan cuma mengancamku dengan uangmu," ucap Ana dengan perasaan jengkel.
"Karena aku memang memiliki uang. sedangkan kau, apa yang kau miliki?" ujar Dave yang begitu santai merendahkan Ana.
Hatinya terasa seperti ditampar keras oleh ucapan Dave. Pria itu tidak ingin memberinya kebebasan sedikit pun.Ana menggigit bibirnya, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan ruangan.
Namun dalam hati, ia bersumpah, ia tidak akan selamanya berada dalam kendali Dave.
"Bajingan! Dia sangat pelit dan perhitungan..." geram Ana yang baru saja keluar dari ruang kerja Dave.
Ana memutuskan untuk kembali ke dapur, niat hati ingin membantu Bi Muri menyiapkan sarapan, tapi Pak Wen kembali datang dan memberitahunya kalau diluar sana ada ibu dan kakaknya yang sedang menunggu.
Dengan perasaan malas, Ana terpaksa menemui ibu dan kakaknya yang sedang menunggu diluar karena mereka dilarang masuk oleh Pak Wen. ana tahu betul kalau kedatangan mereka sudah pasti membawa masalah sebab Dave sudah melarang mereka untuk datang.
Begitu ia keluar, wajah Ratna yang kesal dan Rani yang tampak tidak sabar langsung menyambutnya.
“Akhirnya kau keluar juga!” Ratna berseru.
Ana menatap keduanya dengan dingin. “Kenapa kalian datang?”
Ratna melipat tangan di depan dada. “Kami butuh uang. Segera, kalau tidak, rumah kita akan disita!"
Ana sudah menduga hal ini. “Aku tidak punya uang.”
Rani melangkah maju dengan wajah penuh emosi. “Kalau kau tidak punya uang, minta pada suamimu!”
Ana menegakkan punggungnya. “Aku tidak akan meminta uang pada Dave.”
Ratna mengeram kesal. “Ana, hutang ayahmu belum lunas! Kami bisa celaka kalau tidak segera membayarnya!”
Ana menatap ibunya dengan ekspresi kecewa. “Bukankah kalian sudah mendapatkan mahar dari keluarga Dave? Kenapa hutang itu masih ada?”
“Jangan berani-beraninya menghakimi kami!” Rani membentak.
"Seharusnya kau bertanggung jawab atas hutang ini, Kak. Kenapa kau melimpahkan semua tanggung jawab kepadaku sedangkan aku sudah mengorbankan diriku menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai. Dan kau malah berfoya-foya dengan uang hasil pernikahanku!"
"sudah kubilang jangan menghakimi aku!" teriak Rani yang tidak terima.
Dan dalam sekejap mata, tamparan keras mendarat di pipinya. Ana terhuyung ke belakang, wajahnya memanas akibat tamparan itu. Namun, ia tetap tidak mengatakan apa-apa.
Dave Menyaksikan, Tapi Hanya Diam
Dari ruang kerjanya yang memiliki jendela besar menghadap ke halaman, Dave menyaksikan semuanya.
Matanya tertutup bayangan dingin, tapi ia tidak melakukan apa pun. Ia hanya duduk diam, membiarkan Rani terus melampiaskan kemarahannya pada Ana. Jika Ana tidak bisa membela dirinya sendiri, itu bukan urusannya.
Ana menatap Rani dengan tatapan penuh luka, tetapi ia tidak menangis.
Ia tidak akan membiarkan mereka melihatnya lemah.
Dengan suara rendah, tapi penuh ketegasan, Ana berkata, “Aku tidak akan meminta uang pada Dave. Pergilah.”
Ratna mengepalkan tangan. “Ana—”
“Pergilah.”
Kali ini, Ana benar-benar tidak memberi ruang untuk perdebatan.
Ratna dan Rani akhirnya menyerah, meskipun mereka pergi sambil mengumpat kesal.
Saat Ana berbalik dan kembali ke dalam rumah, ia tidak menyadari bahwa Dave masih mengawasinya dari kejauhan. Pria itu tersenyum tipis, entah karena puas atau sekadar mengamati.
Ana masuk begitu saja ke dalam rumah, tidak ada tempat baginya untuk menyembunyikan tangisan selain menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Sejak dulu keluarganya memang seperti itu, ayahnya bekerja banting tulang sampai meninggal dunia hanya untuk memenuhi gaya hidup ibu dan kakaknya yang selalu ingin dipandang berada.
"Aku pikir menikah dengan Dave semua masalah akan selesai. Nyatanya tidak, justru semakin rumit," ucap Ana yang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
Pipinya masih memerah dan terasa panas bekas tamparan. Sebenarnya sudah biasa ia dipukuli ibu dan kakaknya, hanya saja selama ini Ana tidak memiliki tempat untuk mengadu.
Selain menguatkan diri sendiri, Ana tidak memiliki pilihan lain. Gadis ini segera menyiapkan obat-obatan dan Vitamin setelah itu mengantarnya kembali ke ruang kerja Dave.
Ana meletakan piring kecil yang berisi beberapa jenis obat dan segelas air putih di atas meja. Ia tidak mengatakan apapun, begitu pula dengan Dave yang saat itu langsung meminum semua obatnya.
"Awas saja kalau kau berani memberiku racun!" ujar Dave bersuara.
"Ide yang bagus, dengan begitu, aku bisa mendapatkan semua hartamu!" sahut Ana kemudian berlalu pergi dengan membawa gelas dan piring kecil tersebut keluar dari sana.
eh.... ada lagi kak othor, dave kan lumpuh kenapa tiba² jalan😭
kalo aku jadi ana, pasti aku akan minta uang bulanan. taat boleh tapi kesejahteraan diri harus prioritas🤭🤣