Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEPOTONG ROTI PANGGANG
Dua lembar roti gandung masing-masing diolesi selai alpukat sudah tersaji rapi di atas loyang dengan toping yang berbeda. Hanya perlu waktu sebentar saja untuk mengelolanya. Sembari menunggu salmon asap dipanaskan, Ruby membersihkan kekacauan yang telah ia perbuat. Akhirnya, bunyi timer oven memecah kesunyian. Segera ia membersihkan tangannya yang kotor, lalu dengan hati-hati mengangkat loyang dari oven. Uap harum mengepul tinggi membuat senyumnya tak tertahan. Tidak hanya dirinya, tapi pria muda yang berdiri dibalik tubuhnya.
Langkah kecil itu tak dapat di prediksi oleh si pria, sehingga saat mundur kebelakang tubuh keduanya terbentur. Meraka sama-sama terkejut, terlebih Ruby yang membawa loyang panas berusaha agar tak jatuh.
"Hei, hati-hati."
Ruby mendongak, hingga matanya bertemu dengan sorot mata sayu pria tinggi yang menjaga tubuhnya dari belakang. "Tuan Zade, mengapa anda berada di sini?"
"Uh, sepertinya tidak ada petisi yang melarangku untuk tidak menginjak dapur."
"Bukan itu, maksudku..." Ruby berhenti sejenak, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Pandangannya sedikit canggung, memperhatikan penampilan Zade yang masih berantakkan, seperti baru saja terbangun.
"Bukannya tuan seharusnya mengikuti kelas pagi. Tadi saat nyonya dan tuan Ellard pergi, aku melihat anda juga ikut pergi. Lalu mengapa sekarang anda tiba-tiba sudah berada di sini lagi?"
Zade melipat tangan, membungkuk untuk menatap wanita itu. "Teleportasi," balasnya tak serius. "Itu jawabannya."
"Teleportasi? Tuan, jangan bercanda. Aku benar-benar bertanya serius. Jika saja Tuan Ellard tahu ini pasti ia akan marah."
Ruby salah jika berharap Zade akan menyadari keseriusannya. Pria itu justru mengulum senyum, sebuah senyum menahan gemas yang membuat sudut matanya berkerut. Zade tampak menikmati reaksi Ruby, kesal yang tertahan di balik tatapan lugu itu justru membuatnya semakin geli.
"Rupanya kau cerewet juga, jauh berbeda dari pertemuan kita sebelumnya. Wajahmu yang seperti ini... terlihat menggemaskan. Aku jadi sedikit tertarik padamu," terangnya, suara rendahnya disertai kekehan terdengar menggoda Ruby.
Kejujuran Zade bagai tamparan yang membuat Ruby hampir tersedak salivanya sendiri. Keterkejutan terukir jelas di wajahnya yang tanpa polesan.
"Roti panggang alpukat itu sepertinya sangat enak," celetuk Zade tiba-tiba.
Ruby, yang masih tertegun oleh pengakuan mendadak, tersentak. Ia menoleh kebelakang mengikuti arah pandang pria itu.
"Berikan satu untukku, aku ingin mencicipinya."
"Aku buatkan yang baru saja. Tidak akan lama, hanya beberapa menit," ucap Ruby terbata. Semakin lama, panasnya sarung tangan terasa menusuk, segera ia pindahkan salmon asap dari loyang ke piring yang sebelumnya sudah di siapkan.
Zade memperhatikan Ruby. Cepol tinggi yang menahan rambut pirang itu bergoyang mengikuti setiap gerakan kecil pemiliknya, sementara seragam koki putih yang membungkus tubuhnya tampak kebesaran. Jika orang bertanya, siapa wanita yang bisa membuat seorang Zade tersenyum hanya karena hal kecil? maka dengan lantang ia akan menjawab, "wanita berambut pirang titanium itu yang bisa melakukannya." Pertemuan mereka memang terhitung jari, namun sejak Ruby tiba di mansion, Zade selalu memperhatikannya, walau hanya dari kejauhan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Zade tertarik, dan ia tak akan mengelak.
"Tidak akan terjadi masalah besar, hanya karena kau memberikan satu dari dua roti panggang alpukat itu. Berikan saja untukku, kau tak perlu membuatnya lagi."
Ruby merasakan tubuh Zade berdiri di belakang tubuhnya. Hawa panas yang membuatnya tak berani berkutik. Hanya dari sudut pandang sempit, matanya menangkap bayangan Zade.
"Tapi... ini semua untuk Tuan Rhys, begitu juga dengan salmon asap—"
"Lalu apa masalahnya? Kau tak perlu cemas, dia tidak akan kelaparan hanya karena aku memakan satu saja."
"Tuan Zade," desis Ruby bersama dengan tubuhnya berputar pada Zade, hingga posisinya begitu dekat. "Sarapan ini sudah ku siapkan sesuai porsi Tuan Rhys. Jika anda benar-benar ingin..." Ruby melirik ke arah meja yang masih berserakan bahan-bahan pertempurannya tadi, lalu kembali menatap Zade dengan mendongak.
"Aku pasti akan membuatnya setelah selesai menyajikan salmon asap ini, aku berjanji."
Zade menatap Ruby lekat-lekat, intens dengan senyum tipis di sudut bibir. "Tidak mau, aku tidak suka menunggu. Sekarang berikan padaku," kekehnya.
Namun, tidak ada pergerakan dari Ruby. Justru wanita itu berbalik dan mengabaikan Zade, kembali menyibukkan diri dengan menyajikan salmon asap secantik mungkin. Zade menjadi kesal, kesabaranya seakan dipermainkan. Ia mengulurkan tangannya lebih panjang melewati bahu Ruby, mengambil satu potong roti panggang alpukat dengan cepat dan tiba-tiba.
"Dapat," ujarnya, kepuasan tersirat di wajah tampan itu. Ia menggigit roti alpukat tenang, sesekali melirik Ruby, mencuri pandang di sela-sela kunyahannya— mengamati reaksi yang terbentuk. Ruby hanya diam, alis tipisnya sedikit berkerut, dan bibirnya terkatup rapat.
Reaksi yang membuat Zade sedikit tak enak hati. Bahkan makanan yang penuh di mulutnya itu di telan dengan sulit.
"Kenapa diam, kau marah?"
Ruby perlahan membelakangi Zade. Helaan nafas kasar, terdengar berat. Tangannya meraih pemanggang dan juga roti tawar di sisi tubuhnya. Sudut bibir sedikit tertarik ke atas.
"Aku tidak punya hak untuk marah," gumamnya. "Tuan, silakan habiskan saja. Aku akan buatkan lagi untuk Tuan Rhys."
"Suaramu terdengar lain, kau benar-benar terlihat marah. Itu lucu sekali. Marah hanya karena salah satu dari putra majikanmu mengambil makanan yang sudah kau siapkan, padahal bukan untuknya. Betapa dramatisnya wanita..." Zade tertawa. Bukan berniat membuat Ruby semakin marah, tapi untuk kali ini, ia ingin melihat sisi lain dari wanita lugu itu.
"Harus berapa kali ku katakan, aku tidak marah," sentak Ruby menoleh pada Zade.
"Tapi di mataku kau terlihat marah."
"Aku tidak bermaksud lancang, tapi sepertinya mata anda sedang bermasalah."
"Oh... benarkan? Kau lucu sekali, uh. Wajahmu memerah, apa rambut pirangmu itu akan berubah merah juga saat marah seperti ini? Pixie, nama yang cocok untukmu." Zade tertawa lagi, kali ini lebih pelan, namun lebih mengejek. Ia menaikkan dagunya, menantang Ruby untuk membantahnya.
"Zade!"
Kedua orang berbeda gender itu sontak menoleh, terkejut dengan suara keras Rhys yang berdiri gagah dengan setelah formal di ambang pintu. Tatapan dinginnya bergantian antara Zade dan Ruby. Zade tampak tenang, bahkan tersenyum pada kakak kandungnya itu. Namun Ruby, sudah berkeringat dingin, tubuhnya tegang sekali antara terkejut atau takut.
Keempat mata itu kini mengamati langkah tenang Rhys. Ketukan sepatunya bergema seirama dengan langkahnya hingga berhenti tepat di antara sisi tubuh Zade dan Ruby. Sosoknya yang tinggi menjulang memisahkan mereka bagai tembok pembatas.
"Mengapa kau masih berada di sini?" Pertanyaan Rhys tertuju pada pria muda itu, yang tingginya hampir setara dengannya.
Zade tetap tersenyum. "Aku lapar dan aku makan. Apa ada masalah?" tanyanya santai.
"Aku tidak tertarik dengan aktivitas makanmu. Jawab pertanyaanku, Zade. Kau berniat melewatkan kelasmu lagi?"
"Bukan berniat, tapi aku sudah melewatkannya."
Betapa tenangnya pria itu menghadapi sang kakak. Tatapan tajam yang dilayangkan untuknya, tidak digubris. Bahkan dengan santainya menyeringai, kemudian menyudahinya dengan menikmati roti panggangnya kembali.
Tangan Rhys terangkat, menyibakkan rambut hitam Zade yang menutupi dahi. "Luka apa ini?"
"Temanku tidak sengaja memukulku. Kau tak perlu khawatir."
"Lukanya... dangkal, memar di sekitar goresan, menandakan benturan tumpul, bukan pukulan ataupun benda tajam." Dari luka di dahi Zade mata Rhys turun, hingga akhirnya berhenti pada mata adiknya itu, saling bersitatap. "Jangan berbohong lagi, kau menggunakan mobilku tanpa izin untuk balap liar?"
"Tidak, mana mungkin. Kau suka sekali mencurigaiku."
"Benturan setir Porsche 911 GT3 Cup yang datar lebih sesuai dengan ciri lukamu, dari pada luka pukulan."
Mulut Zade bungkam, bukan karena terkejut, tetapi karena tak heran lagi dengan kepekaan kakaknya itu. Mau mengelak lagi pun percuma; ucapan Rhys sepenuh benar.
Mengangkat bahu, Zade menarik nafas panjang. "Kau selalu bisa membaca pikiranku, kak. Dan untuk balap liar semalam… kau benar. Aku sengaja menggunakan mobilmu. Maafkan aku," akunya.
Sedangkan Ruby yang sedari tadi bungkam dan terhimpit di antara tubuh dua pria tinggi itu, menarik nafas kagum. Bagaimana Rhys bisa begitu teliti, bahkan hanya melihat dari luka kecil di dahi Zade.
Sejak Ruby melihat dari kejauhan, luka itu tak ada bedanya, sama seperti bentuk luka lain.
"Ikuti semua kelasmu sampai aku yakin kau tidak membolos lagi, termasuk hari ini. Baru setelah itu aku akan memaafkanmu."
"Itu tidak adil untuk—"
Rhys mengangkat tangannya, menyela Zade agar berhenti berbicara. "Dan jangan sampai aku mendengar kau terlibat hal bodoh seperti balap liar. Itu memalukan dan tak berguna."
"Apa tidak ada keringan untukku?" lirih Zade. Di buat semenyedihkan wajah tampannya itu, berharap Rhys akan berbaik hati.
"Tidak ada keringanan. Lakukan saja apa yang kuperintahkan."
Jika sudah seperti ini Zade tak dapat melakukan apapun. Rhys memang perhitungan menyangkut segala hal yang berhubungan dengan tanggung jawab dan disiplin. Dia tak dapat mentoleransi apapun yang menurutnya tidak benar.
Zade berdecak, wajahnya tertekuk melewati sang kakak. Namun, ketika berdiri di depan Ruby seutas senyum tipis mengembang. "Terimakasih untuk roti panggang alpukatnya, sangat enak."
Ruby hanya tersenyum kikuk, melirik kecil pada Rhys yang mengamati interaksi singkatnya dengan Zade. Rhys tak menunjukkan ekpresi aneh, namun rasanya berbeda. Mungkin Ruby yang terlalu takut, sehingga setiap yang dilakukan pria itu seolah mengintimidasinya.
Kini di dapur, suasana canggung semakin terasa setelah Zade pergi. Ruby menggigit bibir dalamnya ketika langkah kaki mendekat, sepasang pantofel hitam mengkilap berhenti tepat di depannya. Namun, Ruby tetap menunduk, enggan mengangkat wajah.
"Segera selesaikan pekerjaanmu. Setelahnya, temui aku di ruang makan utama."