Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: MEMBERITAHU DARYON TENTANG KEHAMILAN
#
Seminggu berlalu sejak test pack itu menunjukkan dua garis merah.
Seminggu Alviona hidup dengan rahasia yang makin membesar di dalam perutnya—walau fisiknya belum keliatan, tapi bebannya terasa kayak gunung.
Setiap pagi dia bangun dengan mual. Setiap hari dia memeluk perutnya sambil berbisik janji-janji yang dia sendiri gak yakin bisa ditepati. Setiap malam dia terjaga dengan satu pertanyaan yang terus berputar:
*Haruskah aku bilang Daryon?*
Bagian dalam dirinya yang masih punya sedikit—sangat sedikit—harapan berbisik: *"Mungkin dia akan berubah. Mungkin dia akan peduli kalau tau ada bayinya."*
Tapi bagian lain—bagian yang udah terlalu sering hancur, terlalu sering dikecewakan—berbisik lebih keras: *"Dia tidak akan peduli. Dia tidak pernah peduli."*
Tapi Alviona tau... cepat atau lambat, dia harus bilang.
Karena perut tidak bisa berbohong selamanya.
---
Hari itu, Daryon pulang lebih awal dari biasanya—sekitar pukul 7 malam. Alviona mendengar suara mobilnya dari kamar, jantungnya langsung berdebar keras.
*Sekarang. Harus sekarang.*
Kalau dia menunda lagi, keberaniannya akan hilang.
Dengan tangan gemetar, Alviona berdiri dari ranjang. Dia sudah berlatih di depan cermin tadi siang—mencoba berbagai cara mengatakannya, mencoba berbagai nada suara—tapi semuanya terasa salah.
*Bagaimana cara yang benar untuk bilang pada suami yang membencimu bahwa kau hamil anaknya?*
Tidak ada cara yang benar.
Tapi harus tetap dilakukan.
Alviona berjalan keluar kamar dengan langkah pelan. Setiap langkah terasa berat—bukan karena fisik, tapi karena ketakutan yang menghimpit dada.
Dia turun tangga dengan hati-hati, tangannya memegang pegangan tangga erat-erat untuk menjaga keseimbangan—bukan karena dia lemah, tapi karena kakinya gemetar hebat.
Dari lantai bawah, dia bisa lihat Daryon di ruang kerja—pintu setengah terbuka, dia duduk di kursi kerja dengan laptop di depan, kemeja kantor masih rapi, wajah fokus pada layar.
Seperti tidak ada yang salah di dunia ini.
Seperti tidak ada gadis 17 tahun yang sedang ketakutan setengah mati di tangga, mencoba kumpulkan keberanian untuk memberitahu berita yang akan mengubah segalanya.
Alviona mengambil napas dalam—napas yang gemetar, napas yang terasa terlalu pendek—dan melangkah turun.
Satu anak tangga.
Dua.
Tiga.
Sampai akhirnya dia berdiri di depan pintu ruang kerja Daryon.
Tangannya terangkat—mau ketuk pintu—tapi membeku di udara.
*Apa yang akan terjadi setelah aku bilang?*
*Apa dia akan marah?*
*Apa dia akan... apa dia akan menyuruhku menggugurkannya?*
Pikiran terakhir itu membuat perutnya mual. Tangannya reflek meraih perutnya—melindungi sesuatu yang bahkan belum sebesar kacang polong.
*Tidak. Aku harus melindunginya. Apapun yang terjadi.*
Dengan keberanian yang entah datang dari mana—mungkin dari naluri ibu yang baru tumbuh—Alviona mengetuk pintu pelan.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk." Suara Daryon datar dari dalam.
Alviona membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan langkah kecil-kecil, seperti anak kecil yang takut dimarahi.
Daryon tidak mengangkat kepala dari laptop. Jari-jarinya terus mengetik sesuatu—mungkin email, mungkin laporan bisnis. Sesuatu yang jelas lebih penting dari istri yang berdiri di depan pintunya.
"Ada apa?" tanyanya tanpa melihat—suaranya datar, annoyed, seperti Alviona menganggu sesuatu yang penting.
Alviona berdiri di sana—tangan terkepal di samping tubuh, napas pendek-pendek.
"Aku... aku perlu bicara..." Suaranya keluar pelan, hampir berbisik.
Daryon akhirnya berhenti mengetik. Dia bersandar di kursi, menatap Alviona dengan tatapan... bosan. Seperti ini percakapan yang tidak ingin dia lakukan.
"Cepat. Aku sibuk."
Tidak ada "silakan duduk."
Tidak ada "ada apa, sayang?"
Cuma "cepat."
Alviona menelan ludah—tenggorokannya kering seperti pasir. Tangannya makin erat mengepal, kuku menancap di telapak tangan sampai sakit.
"Aku... aku hamil."
Tiga kata.
Tiga kata yang seharusnya jadi kabar bahagia dalam pernikahan normal.
Tapi keluar seperti pengakuan dosa.
Keheningan.
Keheningan yang sangat panjang.
Daryon tidak bergerak. Tidak berkedip. Hanya menatap Alviona dengan tatapan yang... kosong.
Lima detik berlalu.
Sepuluh detik.
Lima belas detik.
Dan akhirnya—akhirnya dia membuka mulut.
"Berapa bulan?"
Suaranya datar. Tanpa emosi. Seperti menanyakan laporan cuaca.
"Dua... dua bulan..." Alviona berbisik.
Daryon mengangguk pelan—gerakan mekanis, tanpa ekspresi.
Lalu dia bertanya sesuatu yang membuat dunia Alviona runtuh:
"Kau yakin itu anakku?"
Waktu berhenti.
Alviona merasa seperti ditampar—bukan ditampar fisik, tapi ditampar oleh kata-kata yang lebih sakit dari pukulan apapun.
"A-apa?" Suaranya keluar gemetar, tidak percaya.
"Aku tanya," Daryon mengulangi dengan nada lebih tajam sekarang, "kau yakin itu anakku?"
Air mata Alviona langsung keluar—mengalir deras tanpa bisa ditahan. Dadanya sesak. Napasnya tercekat.
"Aku... aku tidak pernah..." Suaranya pecah total. "Aku tidak pernah menyentuh pria lain!"
Kata-kata itu keluar seperti jeritan putus asa.
"Aku bahkan belum pernah punya pacar sebelum dipaksa menikah denganmu!" Alviona melanjutkan—air matanya makin deras, suaranya makin tinggi. "Aku masih 16 tahun waktu kau paksa menikahiku! Aku gak pernah... aku gak pernah kenal pria lain selain KAU!"
Tangannya menunjuk Daryon dengan jari gemetar, matanya merah, wajahnya basah oleh air mata.
"Bagaimana kau bisa... bagaimana kau bisa bilang begitu?!" Suaranya sekarang penuh kemarahan—kemarahan yang jarang muncul, yang selama ini dia pendam. "Kau yang MEMAKSAKU! Kau yang MENYAKITIKU! Dan sekarang kau... kau MERAGUKAN aku?!"
Daryon hanya menatapnya—wajahnya tetap datar, tidak ada penyesalan, tidak ada rasa bersalah.
Dan entah kenapa, tatapan dingin itu lebih menyakitkan dari kata-katanya tadi.
Alviona mundur selangkah, tangannya meraih dinding untuk menopang tubuhnya yang hampir roboh.
"Aku pikir..." bisiknya parau, air matanya masih mengalir, "aku pikir kalau aku bilang... mungkin kau akan... mungkin kau akan sedikit peduli..."
Dia tertawa—tawa pahit yang terdengar seperti tangisan.
"Tapi aku salah. Aku selalu salah."
Daryon berdiri dari kursinya—gerakan tiba-tiba yang membuat Alviona terlonjak ketakutan. Dia berjalan ke arah Alviona dengan langkah lambat, berhenti beberapa langkah di depannya.
Dan menatapnya dari atas dengan tatapan yang... menghakimi.
"Kau hamil," ucapnya datar. "Oke. Fine. Itu masalahmu."
"Masalahku?" Alviona berbisik tidak percaya.
"Jaga dirimu. Jaga kehamilanmu. Tapi jangan harap..." Daryon melangkah lebih dekat, suaranya turun jadi bisikan tajam, "jangan harap aku akan berubah hanya karena kau hamil."
Setiap kata seperti pisau.
"Aku masih punya hidup. Aku masih punya... prioritas." Matanya menatap Alviona dingin. "Dan prioritasku bukan kau. Bukan bayi itu."
"Tapi... tapi ini anakmu..." Alviona berbisik putus asa, tangannya meraih lengan Daryon—desperate, mencari sedikit saja kehangatan, sedikit saja pengakuan.
Daryon menarik lengannya kasar—membuat Alviona hampir kehilangan keseimbangan.
"Aku tidak minta kau hamil," ucapnya dingin.
Dan dengan itu, dia berjalan melewati Alviona—bahunya menyenggol bahu Alviona dengan keras—menuju pintu.
"Daryon tunggu—" Alviona berbalik, mencoba meraihnya lagi.
Tapi Daryon sudah membuka pintu, melangkah keluar.
"DARYON!" Alviona berteriak—jeritan putus asa, jeritan yang penuh harapan terakhir yang hancur.
Daryon berhenti sebentar di ambang pintu—tidak menoleh, hanya berhenti.
"Jangan harap aku akan jadi ayah yang baik," ucapnya tanpa menoleh. "Karena aku bahkan bukan suami yang baik."
Dan dia pergi.
BRAK!
Pintu dibanting keras—suaranya bergema di seluruh mansion, bergema di hati Alviona yang sudah remuk total.
---
Alviona berdiri di sana—sendirian di ruang kerja yang dingin—dengan air mata yang terus mengalir, tangan yang masih terulur ke arah pintu yang sudah tertutup.
Kakinya lemas. Tubuhnya gemetar.
Dan perlahan—sangat perlahan—dia merosot ke lantai.
Duduk dengan punggung bersandar di dinding, kaki ditekuk, wajah tertanam di antara lututnya.
Menangis.
Menangis keras—tangisan yang tidak dia tahu masih bisa keluar dari dirinya. Tangisan yang datang dari tempat paling dalam, tempat yang bahkan sudah dia kira mati.
"Maafkan ibu..." bisiknya pada perut yang masih rata, suaranya parau, putus asa. "Maafkan ibu... ayahmu tidak menginginkanmu... tapi ibu... ibu ingin kamu..."
Tangannya memeluk perutnya erat—seperti mencoba melindungi bayi yang bahkan belum bisa merasakan pelukan.
"Ibu akan melindungimu... ibu janji... walau sendirian... ibu akan melindungimu..."
Dan di ruang kerja yang dingin itu, dengan lampu yang mulai redup karena matahari sudah tenggelam, Alviona menangis sampai tidak ada air mata lagi.
Menangis untuk dirinya.
Menangis untuk bayinya.
Menangis untuk harapan yang baru saja dia kubur dengan tangannya sendiri.
---
Malam itu, Alviona tidak kembali ke kamarnya.
Dia tidur di lantai ruang kerja itu—meringkuk seperti janin, satu tangan di perut, mata terbuka menatap kegelapan.
Tidak tidur. Hanya... menatap.
Merasakan kekosongan yang makin besar di dadanya.
Kekosongan yang sekarang harus dia isi sendiri.
Karena tidak ada lagi yang akan mengisinya.
---
**Di bar yang sama, Daryon duduk dengan botol whiskey yang sudah setengah habis. Tangannya gemetar ketika menuang gelas berikutnya. Bartender meliriknya khawatir tapi tidak berani bertanya. "Hamil," bisik Daryon pada gelasnya. "Dia hamil." Dia tertawa—tawa pahit, sinis. "Dan aku... aku bahkan tidak bisa merasakan apa-apa." Tapi kenapa dadanya sesak? Kenapa tangannya gemetar? Kenapa bayangan wajah Alviona yang menangis tadi terus muncul setiap kali dia memejamkan mata? "Aku bukan monster," bisiknya pada diri sendiri. "Aku bukan..." Tapi bahkan dia sendiri tidak yakin lagi.**
**Apakah Alviona bisa bertahan sendirian dengan kehamilan ini? Atau beban ini akan menghancurkan sisa terakhir dirinya yang masih bertahan? Dan apakah Daryon... akan pernah menyadari apa yang baru saja dia buang? Atau dia akan tetap lari sampai terlambat untuk kembali?**
---
**[ END OF BAB 21 ]**