Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Suasana di meja makan keluarga Douglas tampak sempurna. Cahaya lilin yang temaram memantulkan kilau kemewahan, sementara aroma lezat dari hidangan menyatu dengan udara yang penuh ketegangan. Setiap gerakan di meja terasa terukur—terlalu terukur. Seperti lukisan keluarga yang indah, namun dalamnya, setiap garis tegang seperti senar biola yang hampir putus.
Douglas duduk di ujung meja, menatap hidangannya dengan ekspresi yang lebih dingin dari es. Gerakan garpu dan pisau di tangannya begitu presisi, sama seperti cara dia mengatur hidupnya. Di sampingnya, Claudia—istrinya—terlihat tenang, bahkan terlalu tenang. Pandangannya beralih sesekali ke Clara, putri mereka yang duduk di sisi jauh, tampak seperti kelinci yang tak berdaya di hadapan singa lapar.
"Bagaimana hasil ujianmu kali ini?" suara Douglas memecah keheningan. Nada bicaranya datar, tapi di balik itu ada tekanan yang menambah berat udara di sekitar mereka.
Clara menelan keras, matanya terfokus pada piringnya, dan tangannya gemetar saat mencoba meletakkan garpu. Ia tahu jawabannya takkan pernah cukup untuk membuat ayahnya puas.
"Ti... tidak ada masalah, Dad. Baik-baik saja," jawab Clara dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang menempel di setiap kata.
Claudia, yang sudah mengetahui segalanya—termasuk hasil ujian Clara yang jauh dari harapan—hanya menatap putrinya dengan mata tajam. Namun, ia memilih untuk diam, membiarkan suaminya memimpin pertunjukan malam itu.
Douglas mengatur napas, memindahkan pisaunya dengan perlahan, dan menatap Clara seperti seorang jenderal yang sedang menilai pasukannya.
"Ingat," katanya, suaranya keras dan tanpa ampun, "Kau harus menjadi top scorer untuk ujian masuk universitas. Jangan membuatku malu. Aku sudah membayar biaya sekolahmu di sekolah terbaik. Kalau kau tidak bisa melakukan hal sekecil ini..." Ia berhenti sejenak, memberikan jeda dramatis, seolah memperhitungkan dampak kata-katanya.
"Kau lebih baik pergi dari rumah ini," lanjutnya, setiap kata seperti bom yang siap meledak. "Aku tidak ingin memiliki anak yang tidak berguna."
Perkataan itu menghantam Clara dengan keras. Ia merunduk, wajahnya memerah, seolah meja makan bisa menelannya hidup-hidup. "Baik, Dad," jawabnya lirih, suaranya serak.
Claudia menghela napas, mengambil potongan steak dengan tenang. "Douglas, kau tahu Clara pasti akan berusaha lebih keras," katanya, meski nadanya datar dan lebih terdengar seperti pengamat daripada seorang ibu.
Clara menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia merasa seperti burung dalam sangkar, terkurung di bayang-bayang ayahnya yang tak pernah merasa cukup.
Douglas meneguk anggurnya dengan elegan, menatap Clara dengan pandangan yang menusuk. "Kau tahu, Clara," katanya, nada suaranya lebih santai, tetapi tidak kalah tajam. "Kalau kau gagal lagi, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk menginvestasikan waktu dan uangku pada sesuatu yang lebih berguna. Seperti... seekor anjing. Setidaknya mereka bisa dilatih."
Clara tak menjawab. Ia hanya menunduk lebih dalam, merasakan tekanan yang semakin berat di dadanya. Jika ada satu hal yang ia inginkan malam ini, itu adalah agar ayahnya berhenti membandingkannya dengan makhluk yang bahkan tidak bisa berbicara.
Douglas menyandarkan gelas anggurnya dengan tegas, mengalihkan perhatiannya ke topik lain, seolah-olah Clara sudah sepenuhnya kalah dalam permainan ini. "Akhir minggu ini," katanya, suaranya kembali datar, "Kita akan makan malam dengan Dr. Adrian Lowell. Kau tahu siapa dia, kan?"
Clara mendongak perlahan, merasa seperti seorang tahanan yang dipanggil hakim. "U-uh... tidak, Dad," jawabnya, gemetar.
Douglas mendesah panjang. "Dr. Adrian Lowell adalah salah satu dokter paling berpengaruh di negeri ini. Jika kau bisa menarik simpatinya, mungkin dia bisa membantu ketika kau mulai berkuliah nanti."
Clara hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya penuh tanda tanya. Bagaimana bisa ia menarik simpatinya, sementara dirinya bahkan belum tahu apa yang diinginkan pria itu?
Douglas melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, "Jika dia bersedia menjadi mentormu, itu tiket emas. Jadi, pastikan kau meninggalkan kesan yang tak terlupakan."
Clara menelan ludah, merasa seperti beban dunia menindihnya. "Aku akan mengusahakan yang terbaik, Dad," jawabnya dengan suara lirih, berusaha terdengar meyakinkan.
Namun, sebelum ia sempat merasa lega, Douglas menggebrak meja dengan keras. Gelas anggur Claudia bergetar, hampir tumpah. Clara terlonjak, ketakutan. Claudia hanya memandang dengan tatapan kosong, seolah sudah terbiasa dengan pertunjukan ini.
"Bukan mengusahakan yang terbaik," bentak Douglas, suaranya memotong udara, "Kau HARUS melakukan yang terbaik. Aku tidak ingin kegagalan. Aku tidak peduli bagaimana caramu menarik simpatinya. Kalau kau gagal, aku tak ingin tahu apa yang akan kau lakukan setelah itu. Kau harus masuk Imperial University. Mengerti?"
Clara hanya mengangguk cepat, ketakutan. "Mengerti, Dad," jawabnya dengan suara hampir tak terdengar.
Douglas berdiri dengan gerakan dramatis, seolah dia adalah seorang penguasa yang marah pada rakyatnya. "Aku sudah selesai makan," katanya dingin, dan dengan satu tatapan terakhir yang mengharapkan lebih dari sekadar hasil, ia meninggalkan meja makan. Langkahnya berat, penuh penekanan.
Clara menatap piringnya yang tak tersentuh, lalu menoleh ke Claudia dengan tatapan memohon. Namun, ibunya hanya mengangkat bahu, menyesap anggurnya dengan tenang. Seolah mengatakan, Jangan harap aku akan membelamu kali ini.
Clara merunduk, dan dengan hati yang bergejolak, ia berjanji pada dirinya sendiri. Apa pun yang terjadi, kali ini ia harus menjadi Clara yang sempurna. Tapi bagaimana caranya bisa "sempurna" jika seluruh dunia, termasuk ayahnya, memandangnya seperti kegagalan yang menunggu untuk terjadi?
...****************...
Di sebuah ruangan mewah dengan jendela besar yang menghadap pemandangan kota, Lucius duduk di kursinya yang berlapis kulit, tampak seperti penguasa kerajaan bisnis yang memerintah dari balik meja. Di depannya berdiri Rudolf, asisten setianya, dengan ekspresi serius yang tak biasa—walau sebenarnya di balik wajah itu, ia berjuang keras menahan tawa.
“Boss,” Rudolf memulai, nadanya penuh formalitas. “Aku sudah menyelidiki pria yang mendekati Luna tadi siang.”
Lucius, yang sedang memegang gelas kristal berisi anggur, menatap Rudolf dengan alis terangkat. “Dan siapa dia? Berikan padaku semua detailnya. Jika dia berani mendekati Luna, aku bisa memastikan dia menghilang dari muka bumi.”
Nada suara Lucius begitu dingin dan penuh ancaman, seperti seorang mafia yang sedang memerintahkan eksekusi. Namun Rudolf, yang biasanya bisa tetap serius dalam situasi apa pun, kali ini hampir kehilangan kendali.
“Ehem.” Rudolf membersihkan tenggorokannya, mencoba menguasai dirinya. “Kupikir sebaiknya kau menyerah, Boss. Pria itu… dia sangat dekat dengan Luna. Aku tidak yakin kau bisa menyingkirkannya.”
Lucius menyipitkan matanya. Aura intimidasi memancar dari setiap pori-porinya. “Dekat, katamu? Tidak ada orang yang terlalu dekat sehingga aku tidak bisa membuatnya pergi. Sekarang, siapa dia?”
Lucius begitu ingin tahu dan penasaran, dengan identitas pria itu. Namun Rudolf justru berusaha untuk tidak tertawa melihat sikap cemburu bossnya yang salah alamat itu.
...****************...