Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 11 Kebersamaan di Apartement
Edwin mengajak Andini melihat-lihat isi apartement, di sana terdapat dua kamar dengan satu kamarnya memiliki ukuran lebih kecil dan satu kamar lagi lebih besar.
Masing-masing kamar sudah ada kamar mandinya serta perabotan kamar seperti ranjang, lemari dan meja rias. Dikamar utama bahkan Edwin juga mengisi sofa panjang beserta meja dan televisi yang digantung didinding.
"Kamarnya ada dua, ya Pak?"
"Sengaja, supaya saya bisa menginap disini."
"Apa tidak di cari istri anda?"
"Tidak akan."
Andini menggeleng, sebegitu tak perdulinya kah istri Edwin hingga tidak akan mencari pria itu meski tak pulang kerumah.
"Ini lemari tinggal kamu isi saja dengan baju-baju kamu, belilah menggunakan ATM yang saya kasih tadi."
"Tapi baju saya di kontrakan masih bagus, Pak."
"Yang di kontrakan biar saja ditinggal di sana, kamu beli lagi saja sekalian beli perlengkapan untuk kuliah kamu."
"Iya Pak."
"Kita lanjut lihat yang lain." Edwin menggandeng tangan Andini mengajaknya keluar dari kamar lalu menuju dapur.
Didapur juga sudah lengkap dengan perabotan dapur. Ada kitchen set, meja makan dengan 4 kursi, kompor, rice cooker, oven, kulkas dan lain-lain.
"Kulkasnya belum saya isi, nanti habis ini kita belanja di supermarket sekalian mengisi bahan-bahan dapur juga."
Andini mengangguk, mereka lalu menuju balkon apartement. Disana sudah ada dua buah kursi empuk dan satu meja bundar yang bisa digunakan untuk bersantai. Dari ketinggian lantai 10 ini Andini bisa melihat suasana ibu kota Jakarta yang ramai dengan gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang tak pernah hentinya memenuhi jalanan.
Andini berdiri memegang besi pembatas balkon menatap langit yang hanya tersisa semburat orange dari cahaya matahari yang terbenam.
Edwin mendekat pada Andini, mereka sama-sama menikmati indahnya suasana disore hari.
"Saya harap besok kamu pindah ke apartemen ini," kata Edwin.
"Pak, saya belum bilang sama kak Bima kalau saya menjadi simpanan anda."
"Kalau begitu tidak usah bilang."
"Tidak bisa, Pak, kak Bima pasti akan curiga saya tidak lagi tinggal dikontrakan tapi kalau bilang saya khawatir kak Bima akan marah."
"Ya sudah urusan Bima biar saya yang urus, kamu tidak usah memikirkannya. Sekarang kita masuk ke dalam karena sebentar lagi malam."
"Iya, Pak."
Andini berjalan lebih dulu masuk ke dalam apartemen barulah Edwin menyusulnya setelah mengunci pintu balkon terlebih dahulu.
"Kita makan dulu ya saya pesankan makanan."
Edwin duduk di sebelah Andini, lalu merogoh ponselnya dan memesan makanan.
"Kenapa diam saja, hem?" Edwin menarik dagu Andini agar menatap padanya.
"Saya hanya merasa bila hubungan kita ini salah, Pak."
"Tidak ada yang namanya hubungan salah, yang salah itu orang yang menjalin hubungan itu," ucap Edwin sambil terkekeh.
"Aww! Sakit, An."
"Rasain, siapa suruh malah ketawa," ketus Andini sehabis memberi cubitan diperut Edwin.
Bukannya marah Edwin justru tersenyum. Tangannya ia rentangkan kebelakang tubuh Andini lalu mendekap gadis itu untuk mendekat padanya.
"Kamu tahu An, saya ingin sekali melakukan ini bersama dengan istri saya. Duduk berdua, bercanda bersama, bercerita tentang apa yang dilakukan hari ini, tapi sayangnya kami tak pernah bisa melakukan itu. Istri saya sangat sibuk dengan karirnya. Saya bersyukur sekali dipertemukan denganmu sehingga bisa merasakan kebersamaan seperti ini."
Ada perasaan haru mendengar penjelasan Edwin, yang ternyata dirinya benar-benar diinginkan oleh pria itu. Tapi mengingat bila dia hanya simpanan yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan Andini merasa sedih.
Tak lama terdengar bunyi bel apartemen. Edwin melepas dekapannya lalu membukakan pintu yang ternyata kurir makanan dari restoran yang ia pesan.
"Anda beli makanan apa, Pak?" tanya Andini yang melihat Edwin menenteng box makanan berlogo restoran Korea.
"Saya beli beberapa makanan Korea, kamu bisa memilihnya."
Edwin meletakkan box makanan itu di meja lalu membukanya, ada tiga jenis makanan Korea yang Edwin beli tteokbokki, jajangmyeon dan kimbab.
"Wah." Mata Andini berbinar, dia sudah lama sekali ingin memakan itu tapi selalu ia tahan karena walau bekerja dia harus mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit.
"Kamu suka?"
"Iya, Pak, saya suka."
"Kalau suka makan lah," titah Edwin lalu mendekatkan box makanan itu ke hadapan Andini.
"Anda tidak makan?"
"Untukmu saja."
"Jangan, Pak. Bagaimana kalau kita makan sama-sama saja?"
"Asal semangkuk berdua, saya mau."
"Iya, Pak, semangkuk berdua."
Edwin tersenyum kecil tadinya dia hanya memancing saja tapi siapa sangka Andini mau makan semangkuk berdua dengannya.
...****************...
"Pak Edwin ada?" tanya Mona pada salah satu karyawan Edwin.
Dia mendatangi restoran Hamara ingin mengajak Edwin makan malam bersama karena sudah lama mereka tidak melakukan. Mona bahkan meninggalkan beberapa pekerjaannya yang belum selesai demi bisa menemui Edwin.
"Pak Edwin sudah pulang, Bu."
"Oh benarkah? Jam berapa dia pulang?" tanya Mona lagi.
"Jam 17.00 lewat, Bu."
Mona menggangguk, kemudian kembali kemobilnya dan duduk disana. Dia tidak langsung mengemudikan mobilnya melainkan membuka ponselnya terlebih dahulu melihat pesan yang dia kirim tadi hanya dibalas dengan 'iya'.
Mona lalu menghubungi Edwin dan tidak lama kemudian panggilan telepon itu dijawab.
"Iya Sayang," kata Edwin saat menjawab panggilan telepon dari Mona. Edwin melirik sekilas pada Andini yang duduk disebelahnya. Andini nampak biasa saja justru makan dengan lahap.
"Aku tadi ke restorant, Mas, tapi kamu tidak ada," kata Mona memberitahu Edwin.
"Tumben sekali kamu ke restoran?"
"Aku ingin mengajak kamu makan malam."
"Oh kebetulan aku masih dijalan, kita ketemu di restoran cempaka saja kalau begitu?"
"Iya, Mas. Ya sudah aku tutup teleponnya."
"Iya Sayang, kamu hati-hati bawa mobilnya."
"Iya Mas."
Edwin menoleh pada Andini. Tadi dia dan Andini sudah menghabiskan jajangmyeon dan tteokbokki semangkuk berdua tapi mengetahui Mona mengajaknya makan malam bersama tentu saja dia tidak akan menolaknya.
"An, sepertinya saya harus pergi. Kita belanjanya besok saja ya," kata Edwin.
"Iya, Pak, pergilah."
"Kamu tidak apa-apa kan kerumah sakit sendiri?"
"Tiidak apa-apa, Pak."
Edwin mengusap puncak kepala Andini lalu melangkah keluar dari apartemen.
Andini yang tadi makan dengan lahap kini menghentikan makannya setelah Edwin keluar dari apartement.
"Pada dasarnya istri sah yang akan lebih diprioritaskan," kata Andini lalu menghembuskan nafas panjang.
Andini membereskan bekas makanan yang sudah habis. Hanya tersisa 5 potong kimbab disana lalu dia bungkus dan akan dia bawa kerumah sakit untuk jaga-jaga kalau lapar dimalam hari.
Andini keluar dari apartementnya lalu berjalan kaki menuju rumah sakit yang jaraknya hanya 200 meter.
Brukk!
Tanpa Andini duga ada seseorang yang menubruknya membuatnya nyaris saja terjatuh.
"Maaf. Loh Andini?"
"Angga?"