Mata kecil itu berpendar melawan rasa bosan di tengah hiruk pikuk orang dewasa, hingga matanya berbinar melihat seorang gadis cantik, terlihat anggun dengan raut keibuan. Ini dia yang di carinya.
Kaki kecilnya melangkah dengan tatapan tak lepas dari gadis bergaun bercorak bunga dengan bagian atas di balut jas berwarna senada dengan warna bunga di gaunnya.
Menarik rok gadis tersebut dan memiringkan wajah dengan mata mengerjap imut.
"Mom.. Kau.. Aku ingin kau menjadi Mommyku.."
"Anak kecil kau bicara apa.. Ayo aku bantu mencari Ibumu.."
"Tidak, Ibuku sudah tiada, dan aku ingin kau yang menjadi Mommy ku."
"Baiklah siapa namamu?."
"Namaku Daren, Daren Mikhael Wilson aku anak dari orang terkenal dan kaya di kota ini, jadi jika kau menikah dengan Daddyku kau tidak akan miskin dan akan hidup senang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TW 10: Menjadi Pengasuh
Isa menggandeng Daren turun ke lobi untuk sarapan di restoran di depan hotel, Isa sudah menawarkan untuk memesan dari hotel lewat pesanan kamar, namun Daren berkata dia bosan dan ingin makan di luar..
Saat menikmati sarapan bersama ponsel Isa berbunyi, Isa melihat sebuah notifikasi pesan lalu membukanya "Kau harus sekolah hari ini.." Isa menyesap tehnya matanya tak lepas dari Daren yang kini sedang memakan makanan khas italia.
Daren mendongak menatap Isa dengan mata lugunya "Bolehkah hari ini aku tidak sekolah.."
Isa mengeryit lalu melihat kembali ke ponselnya, pesan tadi adalah jadwal sekolah dan les Daren, kegiatan Daren sehari- hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi.
Isa rasa dari pada calon ibu Isa lebih mirip jadi Baby sitter Daren, terutama untuk calon istri tuan Willy, Isa rasa itu tidak mungkin.
Disini perannya bahkan lebih banyak di habiskan dengan Daren dan mengurusi bocah itu, meski Isa juga tak ingin berinteraksi dengan tuan Willy, tapi bagi yang memperhatikan mungkin Isa di sebut sebagai baby sitter saja di banding calon Ibu Daren atau bahkan calon istri tuan Willy.
"Daddy mu memintamu untuk sekolah.."
"Mom.." Daren memelas..
Isa melipat tangannya di dada "Kenapa kamu tak mau pergi ke sekolah..?"
Daren mencebik dan memalingkan wajahnya "Ada yang mengganggumu di sekolah..?" Daren tak menjawab dia bahkan mendorong piring spaghettinya tanda jika tak ingin makan lagi.
Isa mengambil garpu yang Daren letakan lalu menggulung spaghetti dan menyuapkannya ke mulut Daren, entah sadar atau tidak Daren membuka mulut dan memakannya. "Kamu tahu, Daddymu bilang aku harus tinggal di rumah kalian.." Daren tersenyum berbinar sambil mengunyah makanannya.
"Kau senang?" Daren mengangguk. "Baiklah, aku akan tinggal di rumah kalian asal.. Daren mau pergi ke sekolah." itu alasan Willy memintanya tinggal di rumah mereka, agar lebih banyak menghabiskan waktu dengan Daren dan juga tak mengganggu kegiatan Daren, tidak mungkin Daren selalu berada di hotel demi bersama Isa..
Isa mengusap sudut bibir Daren yang terkena saus tomat dengan tisu, awalnya Isa membiarkan Daren makan sendiri dia ingin tahu seberapa mandirinya anak itu, dan Daren ternyata bisa makan sendiri tanpa di suapi.
Isa rasa mengurus Daren tidak sulit, anak itu cukup mandiri, Daren bahkan sudah bisa mandi sendiri, anggap saja dia bekerja menjadi pengasuh selama tiga bulan dengan imbalan kerja sama dengan tuan Willy, dan pekerjaannya sangat mudah.
"Jadi ingin ke sekolah?"
...
Daren mengalah demi Isa dia pergi ke sekolah yang sangat membosankan itu, Daren masih tersenyum saat di mobil, namun saat turun dari mobil wajahnya sudah cemberut Isa memperhatikan sepanjang mereka berjalan menuju gerbang sekolah dan berhenti di depan pintu. "Mau aku temani masuk?" tawar Isa, namun Daren menggeleng.
"Baiklah aku akan disini dan tidak kemana pun hingga kamu keluar." Daren mengangguk dan dengan malas masuk ke dalam kelas.
Isa mendudukan diri di kursi tunggu dimana banyak para wanita yang mengantar anak- anak untuk ke sekolah, entah anak mereka atau anak majikan mereka, seperti dirinya yang kini menjadi Baby sitter Daren. Tidak semua murid di temani hanya beberapa saja dan sisanya akan di antar lalu datang kembali untuk menjemput.
Isa menggeser tombol hijau di ponselnya saat benda pipih itu bergetar "Ya,.."
"Kau yakin dengan apa yang kau lakukan?" tanya seseorang di sebrang sana.
"Tentang?"
"Menjadi calon istri tuan Willy, dan apa kua yakin akan tinggal di rumahnya.."
"Hummm.."
"Nona, maksudku Isa apa yang akan aku katakan pada tuan Marvin..." Aldo mendesah frustasi, entah apa yang akan dilakukan tuan Marvin jika tahu apa yang putrinya lakukan di sini.
"Katakan padanya liburanku di perpanjang, pekerjaan sudah aku kirimkan lewat Email, juga tentang tuan Willy yang setuju, dan proyeknya bisa segera dimulai."
Ponsel Isa masih di telinga saat terdengar keributan dari ruang kelas Daren.
Isa bangkit dan segera menutup panggilannya dan berlari ke arah kelas Daren.
Isa tercengang dan menutup mulutnya saat melihat pemandangan di depan matanya, saat ini Daren sedang menduduki tubuh kecil bocah seusianya dengan tangan yang meremas pakaian anak itu.
"Daren!!!"
...
Disepanjang perjalanan pulang Daren hanya diam, dia bahkan tak ingin minta maaf pada teman sekelasnya karena telah memukulnya.
Isa memijat pelipisnya dia kira akan mudah mengurusi Daren nyatanya tidak.
Satu jam lamanya Isa duduk di ruang kepala sekolah dan menerima cacian dari orang tua murid yang Daren pukul.
Entah apa yang terjadi sebenarnya, Daren masih tak mau bicara, dan anak yang di pukul Daren bilang dia tiba- tiba di pukuli tanpa tahu kesalahan apa yang dia berbuat.
"Aku sedang duduk dan Daren memukulku." begitu katanya.
Daren sendiri memilih diam dan itu yang membuat dia di salahkan.
Isa menghela nafasnya "Mom rasa, mom butuh yang dingin.." Isa mengibaskan tangan di depan wajahnya.
Daren mendongak dan melihat Isa yang tersenyum "Kamu tahu, Ibu Lucas membuat Mom kepanasan.." Daren tersenyum.
"Haruskah kita beli eskrim yang banyak..?"
"Daddy akan marah.." keluh Daren.
Isa mencebik "Mom kira Daren tak takut Daddy..?"
"Itu karena Daddy menyayangiku dan tak ingin aku sakit karena terlalu banyak memakan eskrim."
Isa mengangguk "Bagaimana jika Daddy tidak tahu..?" Daren mengangguk, Isa mengangkat tangannya dan di sambut dengan high five oleh Daren.
....
Saat Willy pulang dia tak menemukan Daren di kamarnya jadi Willy menjelajah rumah besarnya untuk mencari bocah itu.
Saat akan mencapai taman, Willy melihat Isa menggendong Daren yang sepertinya tertidur di pangkuannya. Untuk sesaat pemandangan itu membuat Willy tertegun, namun dengan cepat Willy menggelengkan kepalanya, menepis apa yang baru saja dia lihat. "Berikan padaku.." Willy segera meraih tubuh Daren dan membawanya ke dalam kamar lalu membaringkannya.
"Ada yang ingin aku bicarakan?" Isa bicara saat Willy sudah menutup pintu kamar Daren..
"Apa?" Willy melonggarkan dasi, dan membuka jasnya.
Isa mengeryit saat menangkap jas yang Willy lempar begitu saja padanya, apa- apaan ini..?.
Isa ingin mengumpat, namun ada hal yang lebih penting yang harus dia bicarakan.
Tanpa Isa sadari dia mengikuti langkah Willy hingga pria itu memasuki kamarnya tepat di sebelah kamar Daren. apa yang dia lakukan persis seperti seorang istri yang mengikuti suaminya saat baru pulang kerja, lihatlah jas yang Isa sampirkan di tangan kirinya.
"Apa kau tahu, Daren selalu berkelahi di sekolah..?" gerakan Willy terhenti lalu berbalik dan menatap tajam Isa.
Isa mundur satu langkah saat merasakan tatapan tak biasa dari Willy "Apa katamu?" sudah enam bulan ini Daren sekolah dan dia tidak menerima laporan apapun dari sekolahnya.
Isa menelan ludahnya kasar "Daren memukul teman sekelasnya tadi.. Dan.." ucapan Isa terhenti saat Willy keluar dari kamarnya dan pergi kembali ke kamar Daren.
"Kau mau apa?" Isa berkata panik dan mengikuti langkah Willy hingga Isa tertegun melihat Willy memeriksa tubuh Daren "Apa yang kau lakukan, Daren bisa bangun!." tidak tahukah Willy, Isa membutuhkan waktu untuk membuat Daren tidur dan bicara apa yang sebenarnya terjadi di sekolahnya tadi pagi.
"Daren tidak akan pernah memulai jika orang itu tidak mengusiknya!" dan Willy sedang memeriksa apa Daren terluka.
Isa menghela nafasnya "Untuk itulah kita perlu bicara."