Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11.
"Kamu cuma ngajak aku? Terus dia gimana? Aku nggak mau ya Mas ada orang asing nggak di kenal ada di rumah ku. Nanti kalau ternyata dia panjang tangan dan nyuri barang-barang berhargaku waktu aku nggak ada gimana?"
Glek
Lagi Bima menelan ludahnya dengan susah payah, betapa kagetnya dua perubahan luar biasa Sarah hari ini.
"D- dia kan temen aku Sayang, ya nggk mungkin lah dia mau begitu. Di- dia orang kaya kok, jadi ... jadi nggak mungkin dia mau nyuri," tukas Bima membela Jeni, walau harus berbohong kalau Jeni orang kaya.
Sarah melengos. "Ooh orang kaya ya? Tapi kamu bisa pegang Mas? Kata-kata kamu itu?"
Sarah yang belum tau latar belakang Jeni akhirnya memilih berpura-pura percaya dan akan melihat sejauh mana si gundik itu berani bertindak di rumahnya.
"Aku pastikan Sayang, kalau Jeni nggak akan berani ambil apapun. Ya udah sekarang kita pergi ya, Jen sebentar ya." Bima menarik tangan Sarah dan meninggalkan Jeni seorang diri untuk menjalankan misi.
"Aku bisa jalan sendiri." Sarah menepis pegangan tangan Bima, Bima tertegun di sudut hatinya ada yang hampa karna perubahan sikap istrinya yang tiba-tiba. Sarah yang manja dan selalu bucin padanya kini berganti dengan Sarah yang dingin dan acuh.
"Bisa cepet nggak sih?" seru Sarah membuyarkan lamunan Bima, dia rupanya sejak tadi sudah sampai di samping motornya dan hendak mengeluarkannya dari garasi.
"Kamu mau naik motor?" tanya Bima yang tak terbiasa menaiki motor, apalagi cuaca saat itu sedang terik.
Sarah tersenyum miring, satu ide lagi terbit di kepalanya.
"Iya, aku mau naik motor aja biar cepet. Kalo kelamaan nanti semua barangku habis di embat penyusup. Cukup kamu aja yang di ambil, barang berhargaku jangan."
"Hah? Kamu bilang apa?" cecar Bima kaget.
"Ah, nggak. Lupain aja, jadi pergi nggak ini? Kalau kamu nggak mau ya udah aku masuk lagi." Sarah mendorong kembali motornya memasuki garasi.
"Eh tunggu, tunggu," tahan Bima memegangi stang motor Sarah.
Sarah menatap Bima dengan tatapan tak suka.
"Aku yang bawa motornya ya, udah lama kita nggak motoran bareng kan?" bujuk Bima sembari mengambil alih motor dari Sarah.
Sarah tersenyum miring, dan membiarkan Bima menaiki motornya.
Motor berjalan pelan menuju ke minimarket yang berada di luar kompleks perumahan mereka. Sarah tak khawatir sebenarnya meninggalkan Jeni sendiri di rumahnya karna tepat di depan rumah mereka sudah ada beberapa anak buah sang ayah yang di tugaskan mengawalnya sedang memantau Jeni dari jauh.
Untungnya lagi sejak beberapa waktu sebelumnya Sarah sudah mengantisipasi dengan memasang beberapa kamera CCTV tersembunyi di beberapa titik di rumahnya. Untuk merekam semua kelakukan Bima padanya sebagai bahan bukti jika nantinya dia terpaksa harus menyeret Bima ke jalur hukum.
"Pelan banget sih, Mas? Kapan sampainya kalo jalannya aja kayak siput gini? Kamu bisa bawa motor nggak sih? Bukannya dulu pas masih jadi OB kamu cuma punya motor butut ya?" sindir Sarah pada Bima.
Hati Bima serasa tercubit, sejak tadi Sarah terus saja membahas tentang masa lalunya seakan menyadarkan dia siapa dirinya sebelum bersama Sarah seperti sekarang.
"Ah, ehm iya maaf Sayang. Mas cuma takut jatoh soalnya sudah lama nggak bawa motor."
"Ooh, enak ya Mas pake mobil. Apalagi mobilnya nggak perlu beli tinggal terima bersih," lagi Sarah menyindir Bima. Sengaja dia lakukan agar suami tak tau dirinya itu bisa terbuka matanya dan ingat derajatnya sebelum Sarah menikahinya.
Bima hanya diam tak menjawab, dia tak ingin jawabannya malah membuat Sarah marah dan mendepaknya dari hidupnya. Padahal tujuannya akan harta warisan orang tua Sarah belum tercapai, bisa sia-sia semua usahanya selama ini mendapatkan Sarah.
"Udah sampe, Sayang. Yuk masuk, kamu boleh beli apa aja yang kamu mau. Kali ini aku yang bayarin," ucap Bima manis.
Sarah berdecih. "Bukannya itu memang kewajiban kamu sebagai suami ya, Mas?"
Bima semakin salah tingkah dan memilih menarik Sarah masuk ke dalam dan mulai memilih barang yang akan mereka beli. Kesempatan itu tentu tidak di sia-siakan oleh Sarah, sepanjang pernikahannya dia bahkan belum pernah merasakan belanja bersama seperti saat ini dengan suaminya.
Sarah mengambil banyak barang dan memasukkannya di keranjang, sampai keranjang belanja itu tidak muat dan dia harus mengambil lagi ... dan lagi.
"Sa- Sayang, kamu ... kamu yakin beli sebanyak ini?" tanya Bima terkejut dengan banyaknya makanan dan barang yang dibeli Sarah.
Bahkan tak terkecuali berbagai macam merk susu dan diaper dia masukkan.
"Iya, kenapa memangnya Mas?" tanya Sarah.
"Kalau makanan sih oke, tapi ... tapi ini susu sama Pampers buat siapa?"
" Buat tetangga kita yang nggak mampu itu, anaknya tiap hari nangis karena nggak bisa beli susu. Bapaknya selingkuh dan sekarang ibunya cuma kerja jadi tukang cuci dari rumahnya. Aku mau kasih ini buat mereka, pasti bermanfaat dari pada di kasih ke orang nggak jelas," sindir Sarah telak.
Sekali lagi Bima terdiam kalah oleh sindiran pedas Sarah,entah kemana kegarangan yang beberapa hari lalu bahkan masih mengaum. Kini dia bagaikan anak bebek kehilangan induk di depan Sarah yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat dari dia yang biasanya.
"Semuanya satu juta lima ratus dua puluh dua ribu lima ratus lima puluh rupiah, Pak," ucap perempuan penjaga kasir sembari memasukkan barang belanjaan Sarah ke dalam beberapa kantong plastik besar.
Bima terkesiap karna di dalam dompetnya dia tidak membawa uang sebanyak itu, karna di kiranya Sarah hanya akan membeli beberapa barang yang harganya tidak akan sampai seratus ribu seperti biasanya.
"Kenapa kamu, Mas?" selidik Sarah saat melihat Bima yang tampak kebingungan.
"U- uang Mas kurang, Sayang." Bima menatap Sarah memelas.
Sarah mendesah. "Kamu punya m-bangking kan?"
Dengan ragu-ragu Bima mengangguk, padahal biasanya dia hanya menggunakan m-bangking untuk mentransfer sejumlah uang pada Jeni, namun kini untuk pertama kalinya dia menggunakan m-bangkingnya untuk membayar belanjaan istrinya.
Setelah membayar mereka keluar dengan raut wajah yang berbeda, Sarah dengan muka senangnya sedangkan Bima dengan wajah asamnya. Kehilangan yang satu juta untuk istrinya rasanya begitu berat baginya, padahal untuk Jeni uang puluhan juta pun tidak berarti baginya. Dasar laki-laki!
Selama perjalanan menuju pulang Bima diam saja, hatinya masih tidak ikhlas mengabiskan yang untuk Sarah. Padahal yang itu juga dia dapatkan dari bekerja di perusahaan orang tua Sarah. Kalau bukan karna Sarah, pasti sekarang dia masih menjadi OB dengan gaji pas Pasan.
"Kamu bawa ini ke dalam, aku mau ke tetangga dulu." Sarah menyerahkan beberapa kantong plastik ke tangan Bima, dan bergegas pergi ke sebelah rumah dengan membawa dua kantong berisi susu dan diaper yang tadi dia beli.
Sebuah rumah sederhana tepat di sebelah rumah indahnya menjadi tujuan Sarah. Di sana sudah menunggu orang kepercayaan sang ayah dengan beberapa lembar laporan di tangannya.
"Bagaimana?" tanya Sarah tanpa basa-basi.
"Ini laporannya, Nona. Semua sesuai yang Nona inginkan. Tapi ...."