MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Bisa Menolak
Malam itu, hujan turun membasuh jendela kaca besar di kamar Rahayu. Suasana kamar yang sunyi membuat pendengaran Rahayu semakin tajam ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berpacu karena gelisah.
Dengan tongkat, langkah perlahan dan tangan yang gemetar meraba dinding, Rahayu keluar dari kamarnya. Ia tahu jam dinding di ruang tengah baru saja berdentang sepuluh kali.
Ayahnya pasti masih berada di ruang kerja, menyesap kopi hitam terakhirnya sebelum tidur.
"Papa?" suara Rahayu bergetar saat ia mendorong pintu kayu jati yang berat itu. Rio mendongak dari tumpukan berkasnya. Ekspresi lelahnya sedikit melunak melihat putri tunggalnya berdiri di ambang pintu.
"Rahayu? Kenapa belum tidur, Nak? Sini, mendekat pada Papa."
Rahayu melangkah maju, dipandu oleh suara ayahnya. Ia berlutut di samping kursi kerja Rio, memegang tangan pria itu dengan erat.
"Pa... Rahayu mohon. Tolong batalkan perjodohan ini. Rahayu gak butuh suami. Rahayu hanya ingin di sini, bersama Papa."
Rio menghela napas panjang, sebuah suara yang terdengar seperti beban berat yang dipikul selama bertahun-tahun.
"Ini demi kebaikanmu, Rahayu. Papa tidak selamanya ada di sini. Papa semakin tua, dan kesehatan Papa tidak menentu."
"Tapi Andika... dia gak menginginkanku, Pa. Rahayu bisa merasakannya. Dia membenciku," isak Rahayu. Air mata mulai mengalir di pipinya yang pucat.
"Biarkan Rahayu tinggal di sini saja, Bi Lulu akan menjaga Rahayu."
Mendengar nama Bibi Lulu, raut wajah Rio mengeras sesaat, teringat bisikan Laura tadi sore bahwa Bibi Lulu terlalu sering menghasut Rahayu dengan cerita-cerita negatif.
"Cukup, Rahayu," suara Rio memberat, nada yang menandakan keputusannya tidak bisa diganggu gugat.
"Andika adalah putra dari sahabat terbaik Papa. Dia pria yang bertanggung jawab. Mungkin dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri."
"Pa, please?"
"Keputusan Papa sudah bulat!" Rio berdiri, melepaskan pegangan tangan Rahayu.
"Bulan depan pernikahan akan dilaksanakan. Papa sudah mengatur semuanya dengan Anton. Ini bukan hanya soal perusahaan, tapi soal jaminan bahwa ada pria yang akan melindungimu saat Papa pergi. Sekarang, kembali ke kamarmu."
Rahayu membeku. Dinginnya suara ayahnya terasa lebih menyakitkan daripada kegelapan yang ia huni. Ia merasa seolah-olah ayahnya baru saja menyerahkannya ke tangan serigala hanya agar hatinya merasa tenang.
Di balik pintu yang sedikit terbuka, Laura berdiri dengan senyum kepuasan yang merekah. Rencananya berjalan sempurna. Begitu Rahayu keluar dari rumah ini, ia akan memiliki kendali penuh atas Rio tanpa gangguan "si buta" itu.
Ia segera menuju kamar Santi, di mana putrinya itu sedang asyik memoles kuku.
"Dia gagal," bisik Laura penuh kemenangan.
"Papa tirimu tetap pada keputusannya. Bulan depan, rumah ini akan bersih dari anak itu."
Santi tertawa kecil, meniup kukunya yang berwarna merah darah.
"Baguslah. Tapi Ma, apa Mama yakin Andika gak akan jatuh cinta sama Rahayu? Rahayu punya wajah yang... yah, menyebalkan karena terlalu cantik untuk ukuran orang cacat."
"Andika Rahardjo? Pria sombong seperti dia mana mau dengan beban kehidupan seperti Rahayu," cibir Laura.
Rahayu kembali ke kamarnya dengan hati yang hancur. Ia terduduk di lantai, memeluk lututnya. Namun, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu balkonnya.
"Nona... ini Bibi," suara Bibi Lulu terdengar sangat rendah.
Bibi Lulu masuk membawa segelas susu hangat, tapi baunya berbeda dari biasanya.
"Jangan minum vitamin yang tadi diberikan Nyonya Laura. Nyonya Laura selama ini sudah menukarnya dengan bubuk gula biasa. Dan Nona... jangan menyerah pada Tuan Rio."
"Papa gak mau dengerin aku, Bi. Aku akan menikah dengan pria yang membenciku," bisik Rahayu pasrah.
Bibi Lulu menggenggam tangan Rahayu, memberikan kekuatan yang tak dimiliki ayahnya.
"Jika tuan muda Andika adalah satu-satunya jalan keluar dari rumah ini, maka gunakanlah dia, Nona. Di rumah ini, Nyonya Laura bisa membunuh Nona perlahan tanpa ada yang tahu. Di luar sana, setidaknya Nona punya kesempatan untuk melawan."
Rahayu terdiam. Kata-kata Bibi Lulu menyalakan api kecil di tengah keputusasaannya. Jika ayahnya sudah tidak bisa menjadi pelindungnya, maka ia harus belajar menjadi prajurit bagi dirinya sendiri meskipun dalam kegelapan.
"Bi... tolong bantu aku," kata Rahayu dengan nada suara yang tiba-tiba berubah tegas.
"Ajari aku cara mengenali ruangan tanpa harus meraba dinding. Aku gak ingin Andika melihatku sebagai beban yang lemah."
Bibi Lulu tersenyum bangga dalam kegelapan.
Bibi Lulu meletakkan gelas susu itu di atas meja kecil, lalu duduk bersimpuh di hadapan Rahayu. Suasana kamar yang tadinya dipenuhi isak tangis kini berubah menjadi ruang pelatihan yang sunyi namun intens.
"Nona," bisik Bibi Lulu pelan.
"Tuhan mengambil penglihatan Nona, tapi Dia memberi Nona empat indra lain yang jauh lebih tajam. Mulai malam ini, kita akan melatih telinga dan kaki Nona untuk menjadi mata."
Bibi Lulu berdiri di tengah kamar, lalu ia menjentikkan jarinya di berbagai sudut ruangan.
"Dengarkan pantulan suaranya, Nona. Ruang yang kosong terdengar luas dan dingin, tapi sudut yang penuh perabotan akan memantulkan suara yang lebih padat dan pendek," instruksi Bibi Lulu.
Rahayu memejamkan matanya tindakan yang sebenarnya tidak perlu, namun membantunya fokus. Ia mulai memutar kepalanya, mengikuti arah bunyi jentikan jari Bibi Lulu.
Bunyi pertama nyaring dan bergema ke arah jendela besar.
Bunyi keduan redup dan empuk ke arah lemari pakaian yang tertutup beludru.
"Bagus," puji Bibi Lulu.
"Sekarang, coba berjalan tanpa tongkat. Gunakan tumit Nona untuk merasakan getaran lantai. Lantai kayu di dekat pintu keluar ini sedikit lebih berderit daripada di tengah kamar. Itu adalah tanda navigasi Nona."
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam. Rahayu mulai menghitung.
Tujuh langkah kecil dari tempat tidur ke meja rias.
Dua belas langkah lebar dari pintu kamar mandi ke arah balkon.
Rahayu terjatuh berkali-kali. Lututnya menabrak pinggiran tempat tidur hingga memar, namun ia menolak untuk berhenti.
Setiap kali ia merasa ingin menyerah, bayangan senyum licik Laura di balik pintu tadi kembali membakar semangatnya.
"Lagi, Bi. Sekali lagi," tegas Rahayu sambil bangkit berdiri.
Bibi Lulu mengeluarkan beberapa botol kecil dari saku celemeknya. Ia membuka tutupnya satu per satu di depan hidung Rahayu.
"Ini parfum Nyonya Laura, aroma melati yang menyengat. Jika Nona mencium bau ini, artinya dia sedang mengawasi. Dan ini," Bibi Lulu menyodorkan aroma kopi yang samar,
"bau Tuan Rio. Nona harus tahu siapa yang mendekat sebelum mereka sempat menyapa."
Rahayu menghirup dalam-dalam, merekam setiap partikel bau ke dalam ingatannya. Ia menyadari satu hal selama ini ia terlalu bergantung pada rasa takutnya, sehingga ia menutup semua akses indranya yang lain.
Menjelang fajar, Rahayu berdiri di tengah kamar. Ia tidak lagi meraba dinding. Bahunya tegak, dagunya sedikit terangkat. Meskipun matanya tetap kosong, ekspresi wajahnya memancarkan ketenangan yang mematikan.
"Nanti pagi, saat sarapan, jangan biarkan mereka menuntun Nona ke meja makan," saran Bibi Lulu.
"Tunjukkan pada mereka bahwa Nona bukan lagi burung dalam sangkar yang sayapnya patah."
Rahayu mengangguk.
"Andika Rahardjo... jika dia ingin menjadikanku beban, dia salah besar."
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏