NovelToon NovelToon
Sulastri, Aku Bukan Gundik

Sulastri, Aku Bukan Gundik

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Cerai / Penyesalan Suami / Era Kolonial / Balas Dendam / Nyai
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Anna

“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”

Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.

Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.

Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sulastri 2

“Diajeng ...?” Dengan terhuyung Kartijo menghampiri sang istri yang berdiri di ambang pintu.

Sulastri mengepalkan tangannya kuat-kuat, giginya bergemeretak, “Apa tidak ada tempat lain selain kamar kita?!”

“A-ku bisa jelas—”

“Kita bicara di joglo tengah,” sergah Sulastri cepat, sembari berlalu pergi.

Di sebuah ruang tamu, pembicaraan penuh ketegangan itu berlangsung. Di kursi utama, Sasmitro berkali-kali menarik napas berat. Di sebelahnya sang istri— Rasmi menepuk lembut pundak sang suami bermaksud menenangkan. Ba’da magrib anak laki-laki satu-satunya yang baru menikah setahun lalu, memberi kejutan dengan membawa wanita simpanannya yang sedang hamil.

Di hadapan Sasmitro, Kartijo duduk dengan angkuh, sesekali laki-laki itu menghisap kreteknya, mengepulkan asap tipis ke udara.

“Bukankah hal lumrah jika aku mempunyai wanita lebih dari satu?!” ucap laki-laki itu sembari menatap Sulastri yang duduk di depannya.

Sulastri menelan ludah, berusaha menahan air mata agar tak tumpah, “Saya tidak pernah melarangmu bermain dengan wanita-wanita itu, Kangmas. Dan kita sudah sepakat dengan sebuah syarat, yakni saya tidak mau di madu!” sahutnya tajam.

Kartijo menekankan ujung putung rokoknya ke dalam asbak seng, kemudian beranjak dari kursinya, “Aku hanya bertanggung jawab, Diajeng. Hanya sampai dia melahirkan, setelah itu dia akan pergi,” ucapnya tegas. “Aku tidak akan menikahinya. Kau tetap istriku satu-satunya. Dia hanya—”

“Gundik?! Sampean tidak menikahinya tapi membawa dia masuk ke rumah kita, apa bedanya!” Sulastri menyahut dengan bibir bergetar, suaranya pecah oleh tangis yang tertahan.

“Diajeng, dia sedang hamil.”

“Bagaimana kalau saya juga sedang hamil?!” sergah Sulastri kembali, dadanya naik turun, sesak oleh rasa kecewa yang mendalam.

Kartijo terpaku sesaat, dengan wajah seolah tak percaya dia menghampiri Sulastri, “Kau juga hamil?”

Sulastri bergeming, tatapannya tajam pada wanita muda yang duduk bersimpuh di lantai kayu.

“Diajeng, benarkah ... Kau—”

“Sudah 2 bulan,” sahut Sulastri cepat.

Kartijo mengusap wajahnya kasar, bibirnya mengulas senyum palsu, “Kenapa kabar bahagia ini baru kau sampaikan sekarang, Diajeng?” protesnya sembari berpindah mengelus perut Sulastri yang masih rata.

Sulastri tersenyum masam, tatapannya masih tajam pada gundik yang dibawa suaminya, “Sampean, sudah lebih dulu memberi kejutan.”

Kartijo jatuh bersimpuh dihadapan sang istri, tangannya gemetar, wajahnya tertunduk pada lantai kayu, “Maafkan aku, Diajeng. Aku janji setelah dia melahirkan, dia akan pergi dari sini.”

Si gundik—Amina, tampak tak terima, wajahnya merah padam, sorot matanya menajam manakala mendengar ucapan Kartijo. Bagaimana bisa dia harus pergi setelah melahirkan, dia sudah mati-matian mencari cara agar bisa masuk dalam jajaran juragan kaya.

“Ini tidak adil! Aku juga mengandung anak Juragan. Jika pada akhirnya kehadiran anakku tidak diterima, lebih baik dari sekarang aku pergi!” sela wanita itu dengan suara yang bergetar.

Kartijo yang mendengar, seketika menoleh pada Amina. Keraguan menyelimuti hati laki-laki itu, sebelum suara Sasmitro menengahi.

“Lalu apa maumu?!”

Amina meremas kebayanya kuat-kuat, rahangnya mengetat, tatapannya menjurus pada Sulastri yang duduk di depannya, rencana yang sudah tersusun matang nyaris kandas di tengah jalan, gara-gara kehamilan wanita itu. Dengan bibir bergetar Amina kembali bersuara.

“Aku ingin mengajukan syarat,” ucapnya tegas.

Sasmitro menyeringai. “Sopo kowe berani memberi syarat pada keluarga punjer! Heh, jangan dikira aku tidak tau kowe itu siapa, bahkan aku tidak yakin yang dikandunganmu itu anak Kartijo!” sahutnya tajam.

Kartijo membelalak, pun Amina yang sedari tadi bersimpuh di lantai. “Romo, Amina memang seorang penari, tapi dia wanita baik-baik.”

“Wanita baik-baik mana yang hamil dengan suami orang?” Rasmi memotong sembari menatap sinis Amina.

Sulastri menghela napas berat, suaranya datar tapi tegas. “Apa syaratnya?!”

Senyum licik tergaris di wajah Amina, dengan congkak dia menatap Sulastri yang duduk di depannya. “Jika aku melahirkan anak laki-laki, aku juga berhak mendampingi Juragan, jika perempuan maka aku akan pergi, begitu juga denganmu!”

“Lalu bagaimana jika kita sama-sama melahirkan anak laki-laki?” sahut Sulastri.

Dengan tatapan menusuk, Kartijo membusungkan dada, membalas tegas ucapan istrinya. “Kau, harus menerima dia.”

“Sampai kapanpun aku tidak mau di madu! Kau harus memilih aku atau wanita itu!” bentak sulastri sembari menatap nanar sang suami.

Kartijo menatap sengit ke arah Sulastri. “Aku ini juragan. Kaya raya. Bukankah hal lumrah jika aku beristri lebih dari satu!”

“Tapi Kangmas sudah berjanji—”

“Siapapun bisa mengingkari janji!” sela Kartijo cepat.

Kartijo duduk tenang di kursi, tangannya memijat erat pelipisnya—berpikir keras, mana yang akan menjadi keputusannya. Dengan mantap, Kartijo menegaskan keputusannya. “Aku menyetujui syarat dari Amina.”

“Kangmas ...!”

“Aku ini orang terpandang, Lastri. Apa kata orang desa jika aku mencampakkan Amina begitu saja!” kilah Kartijo. “Mau tidak mau kau harus menerima, sudah menjadi risikomu mempunyai suami juragan sepertiku,” pungkas Kartijo dengan nada jumawa.

.

.

.

Setahun berlalu.

Kilat menyambar-nyambar di langit gelap, tangis bayi memecah hening. Sebulan yang lalu Amina lebih dulu melahirkan bayi laki-laki, berganti Sulastri. Namun, nasib sial menghampiri wanita itu, dia melahirkan bayi perempuan. Sesuai perjanjian, Sulastri menepatinya dan pergi dari joglo punjer.

Dengan tubuh yang kesakitan Sulastri keluar dari rumah itu, dokar yang dikendarai Dasim mengantarnya menuju desa Lereng Gunung, ke rumah orang tuanya. Nasib buruk masih berpihak pada wanita muda itu, kehadirannya mendapat penolakan dari sang bapak yang menganggap itu sebuah aib untuk keluarga mereka.

"Kamu harusnya bisa mempertahankan posisimu. Bagaimana bisa sebagai istri sah justru kamu yang terusir dari rumah itu!" hardik Margono— ayah Sulastri. "Sekarang kamu kembali ke sini membawa anakmu, apa kata-kata orang desa nanti. Sebelum matahari terbit pergilah ke desa Lereng Bukit, di sana ada rumah peninggalan kakek buyutmu, jangan sekali-kali kamu kembali ke desa ini sebelum bapak mati, bapak tidak mau menanggung wirang ini!"

Sulastri menunduk, menelan ludah yang pahit. Tatapannya sayu namun ada getir yang tertahan. “Kelak, Bapak akan menyesal atas ucapanmu!” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar.

Dengan langkah gontai, Sulastri kembali naik ke dokar yang mengantarnya.

“Antarkan saya ke ujung desa, Sim.” perintahnya pada Dasim, kusir dokar itu.

Dalam guyuran air hujan dan pekatnya malam, dokar yang membawa Sulastri membelah jalan menuju ujung desa. Biasanya orang-orang yang akan pergi ke kota akan menunggu angkutan umum di sana. Sulastri mengulas senyum saat melihat sebuah mobil pickup terparkir di depan gardu kayu—tempat orang desa biasa menunggu.

Sulastri kemudian memerintahkan Dasim untuk menghentikan dokarnya. “Berhenti di sini saja, Sim,” ucapnya.

Dasim menengok sekilas, tatapannya luluh saat melihat Sulastri merapihkan kebayanya. “Saya antarkan sampai desa Lereng Bukit saja, Den,” sahutnya pelan.

Sulastri tersenyum samar. “Tidak usah, Sim. Itu sudah ada angkutan umum yang menunggu.”

Dasim menatap sendu wajah Sulastri yang lemas. “Tapi, Den. Ini masih terlalu gelap, saya temani sampai angkutan berangkat,” ujarnya sedikit memaksa.

“Jangan khawatir, Sim. Saya kenal kok dengan supir angkutannya.”

Dasim menghela napas kasar, dengan berat dia turun dari dokar, membantu Den ayu nya turun serta beberapa barang bawaan. Laki-laki itu kemudian menatap sekitar, tidak ada satu orang pun di tempat itu. Hanya mobil pickup dengan beberapa karung panenan di baknya.

“Tidak ada orang, Den. Apa tidak lebih baik—”

“Tidak apa-apa, Sim. Sebentar lagi orang desa juga akan datang, kamu tenang saja. Sudah sana kamu pulang. Nanti kalau kesiangan, Biyung bisa marah-marah,” sahut Sulastri.

“Tapi, Den …?”

Sulastri kembali mengulas senyum, sembari mengangguk pelan. “Pergilah,” titahnya.

Dasim dengan ragu kembali ke dokarnya, sekali lagi dia menoleh pada Sulastri. Namun, wanita dengan senyum getir itu mengisyaratkan dia untuk tetap pergi. Dengan berat Dasim menarik tali kendali menjalankan dokarnya pelan.

Sulastri menatap dokar yang perlahan hilang di telan gelap malam, bahunya merosot seolah tak mampu lagi menahan beban. Dengan langkah pelan dia menuju gardu kayu berniat ingin duduk sembari memberi susu pada bayinya. Namun, betapa terkejutnya dia saat mendengar suara seorang pria yang begitu di segani di seluruh desa.

“Jangan duduk di situ, papan itu gapuk.”

___Bersambung.

1
Sayuri
g prlu d permalukan kmu dh malu2in kok
Anna: Nggak sadar diri emang.
total 1 replies
Sayuri
otak anakmu itu di urut. biar lurus
Anna: Laa emaknya aja ....🤧
total 1 replies
Sayuri
buah jatuh spohon2nya
Anna: Nahh ...🤣
total 1 replies
Sayuri
ngapa g rekrut karyawan baru sih buk
Anna: Dia juga tak tahannn 🤣
total 1 replies
Sayuri
comelnya🥰
Anna: 🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶
total 1 replies
Sayuri
peter nyebut gak lu. pelan2 woy. awas kejungkang si sul
Anna: Suka keceplosan 😭
total 1 replies
Sayuri
lihat sul. anak yg g di akuin bpknya. tp brharga di org yg tepat
Anna: Jadi anak emas🫶
total 1 replies
Sayuri
bisa aja lu no
Anna: Remaja vintage 😭
total 1 replies
Sayuri
kok sedih y 😔
Anna: makanya mereka berharap Petter nikah, ehh ... ketemu Sulastri🤭
total 1 replies
SooYuu
gundik juga kek anaknya pasti
Anna: Ituu anu .... ituu 🤧
total 1 replies
SooYuu
keturunan ternyata 😭😭
Anna: buah jatuh sepohon-pohonnya🤣
total 1 replies
SooYuu
apa maksudmu, Meneer?????
Anna: ngaku-ngaku🤧
total 1 replies
Nanda
mending simpen energi gue buat yang lebih penting ketimbang ampas ini
Anna: Wkwkwkwkkk ... bangkotan tak tau malu🤧
total 1 replies
Nanda
jangan bilang Peter itu anaknya Rasmi?? atau mantan gundiknya ayahnya Peter??
Anna: Mana yang lebih seru? 🤭
total 1 replies
CallmeArin
uluh uluhh lutunaaaa😍
Anna: 🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶
total 1 replies
Sayuri
profesional bung. jgn gitu
Anna: Cari-cari kesempatan.
total 1 replies
Sayuri
gk. g ada yg di kuasai emosi d sni. ini udh berbulan2. lastri mengambil keputusan bukan krna emosi lg, tp krn kesadaran sndiri.
Anna: Yeeheeee 🫶
total 1 replies
Sayuri
ayo jgn gugup. ini kesempatan mu
Anna: Libass habis, ya
total 1 replies
Sayuri
wkwkwkwkwk mamphossssss
Sayuri
awas mulutmu di tempiling pakai buntut ikan
Anna: Ngikk-ngikk ... Kakk komenmu selalu jadi mood benget loo🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!