Ardan Kael tumbuh di Akademi Aetherion — sekolah elit bagi para pengguna kekuatan elemental.
Tapi di usia 16 tahun, hasil ujiannya menunjukkan “nol energi.” Ia dicap Reject, dibuang dari akademi, dan diusir dari keluarganya sendiri.
Namun, pada malam ia hendak bunuh diri di tebing Aetherion, ia mendengar suara aneh dari bayangannya sendiri:
“Kau gagal bukan karena lemah... tapi karena kekuatanmu terlalu kuat untuk dunia ini.”
Suara itu membangkitkan sesuatu yang telah lama tersegel dalam dirinya — Void Energy, kekuatan kegelapan yang bisa menelan seluruh elemen.
Dari situ, Ardan bersumpah untuk kembali ke akademi, bukan sebagai murid...
Tapi sebagai mimpi buruk bagi semua orang yang pernah merendahkannya.
“Kalian menyebutku gagal? Baiklah. Aku akan menunjukkan arti kegagalan yang sebenarnya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 – Pengusiran
Malam itu, hujan turun membasahi Kota Valenforge. Lampu magis di jalan-jalan kristal tidak mampu menembus kesuraman hati Ardan. Ia diantar oleh para penjaga ke gerbang perbatasan klan, yang kini telah tertutup baginya.
Ayahnya, Grandmaster Caelum, sudah menunggu di bawah payung rune yang menangkis hujan. Wajahnya, biasanya tenang dan agung, kini penuh kekecewaan.
"Ambil ini," kata ayahnya, melemparkan kantong kecil yang berisi beberapa koin kristal. "Tinggalkan jubah Klan Caelum. Jangan pernah sebut namaku lagi."
Ardan menanggalkan jubahnya yang basah kuyup. Simbol Angin di dada terasa seperti bekas luka yang menyakitkan.
"Mengapa, Ayah?" tanya Ardan, suaranya tercekat. "Apakah hanya karena hasil ujian? Apakah seluruh hidupku, darahku, tidak berarti apa-apa?"
Ayahnya menatapnya, matanya kosong.
"Kau tak pantas menyandang nama Caelum," kata ayahnya dengan satu kalimat dingin yang mematikan. "Kau adalah lubang hitam dalam silsilah keluarga kita. Pergi. Menghilanglah ke Desa Tersisih. Jangan pernah kembali ke Valenforge."
Pintu klan itu tertutup dengan bunyi berderak. Ardan ditinggalkan sendiri, di tengah jalan berlumur lumpur, hanya ditemani hujan yang seolah ikut menangisi nasibnya.
Ia berjalan tak tentu arah, menjauhi gemerlap lampu magis Valenforge. Ia berjalan melewati dinding batu besar yang memisahkan kota elit itu dari dunia luar, dan melangkah ke jalan setapak yang gelap.
Pikirannya kosong, tapi hatinya penuh. Penuh oleh sakit, pengkhianatan, dan kebencian murni. Ia tidak menangis, ia sudah terlalu lelah untuk menangis. Ia hanya berjalan, membiarkan kakinya membawa tubuhnya yang mati rasa.
Nol energi. Reject. Sampah.
Kata-kata itu berputar dalam benaknya. Mereka telah mencabut identitasnya, keluarganya, dan satu-satunya orang yang ia cintai—Lyra—darinya.
Ia tahu ke mana jalan setapak ini menuju: Desa Tersisih (Outcast Village). Tempat buangan bagi mereka yang dianggap tidak berguna oleh tatanan sihir.
Saat ia mendekati desa itu, yang terlihat hanyalah gubuk-gubuk kumuh yang gelap, tanpa cahaya magis, tanpa kehidupan. Hanya sisa-sisa manusia yang tersisa.
Aku adalah salah satu dari mereka sekarang.
Ia menemukan sebuah pondok kosong di pinggir tebing, di atas jurang yang curam. Tebing itu adalah ujung dari daratan Valenforge, tempat yang tertinggi dan terdekat dengan Laut Eter.
Ardan duduk di sana, di ujung jurang. Pikirannya kembali ke Aula Ujian, ke wajah Lyra yang penuh air mata, ke tawa Rion, dan ke mata ayahnya yang kosong. Ia meraih kerah bajunya, mencengkeramnya erat, mencoba merobek rasa sakit itu keluar dari dadanya.
Tidak ada lagi yang tersisa.
Ia mencondongkan tubuhnya ke tepi tebing. Hembusan angin kencang (Angin! Elemen yang seharusnya ia kuasai!) terasa seperti bisikan kematian yang menenangkan.
"Selesai," bisiknya pada angin. "Biarkan aku hilang saja."
Tepat saat ia hendak melepaskan pegangan, dan membiarkan tubuhnya jatuh ke dalam jurang, ia mendengar sesuatu.
Itu bukan suara angin, juga bukan suara ombak di bawah.
Itu adalah suara dari dalam dirinya sendiri.
Sebuah suara yang dingin, dalam, dan berbisik, seperti jutaan bayangan yang berbicara sekaligus.
“Kau gagal bukan karena lemah..."
Ardan tersentak. Ia menoleh ke belakang, ke bayangannya sendiri yang terpantul di genangan air hujan yang menggenang.
“...tapi karena kekuatanmu terlalu kuat untuk dunia ini.”
Bayangannya bergerak, terpisah dari dirinya. Bentuknya samar, seperti asap hitam yang baru saja dilepaskan. Wujud itu, yang dikenal Ardan sebagai The Whisper, kini berdiri tegak di hadapannya.
Ardan tidak takut. Ia hanya penasaran. Kematian sudah terasa di ujung lidahnya, jadi apa lagi yang harus ditakuti?
"Siapa kau?" desis Ardan.
The Whisper tidak menjawab dengan suara. Ia berbicara langsung di dalam benak Ardan.
“Aku hanyalah apa yang dunia sembunyikan darimu, Ardan Kael. Aku adalah Void. Energi purba yang para dewa pun takutkan. Dan mereka menyegelku di dalam dirimu... karena mereka takut pada potensi kehancuran yang kau miliki.”
Ketakutan. Selama ini, ia mengira ia Nol. Tapi ternyata, ia adalah sesuatu yang begitu besar, begitu kuat, hingga seluruh sistem sihir memilih untuk membuangnya, menyegelnya, daripada berani menghadapinya.
Kebencian yang dingin di hati Ardan tiba-tiba menemukan tujuan. Ia tidak lemah. Ia hanya... dikhianati oleh takdir yang dikendalikan manusia.
Ia bangkit dari tepi tebing. Hujan masih turun, tapi Ardan tidak lagi merasakannya.
"Kau menawarkan apa?" tanya Ardan, matanya kini menatap lurus ke arah bayangan itu.
“Aku menawarkan kekuatan untuk memusnahkan semua yang pernah meremehkanmu. Aku menawarkan... kebebasan untuk menulis ulang tatanan ini. Balas dendam.”
Ardan tersenyum. Senyum yang dingin, kejam, dan asing di wajahnya yang dulu polos. Bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum tekad yang menghanguskan.
Ia melihat kembali ke arah Valenforge yang bermandikan cahaya kristal—ke arah Lyra, Rion, Ayahnya, dan Solan.
"Baiklah," kata Ardan. Suaranya sudah tidak serak lagi. Suaranya kini terdengar seperti belati yang diasah.
“Kalian menyebutku gagal? Baiklah. Aku akan menunjukkan arti kegagalan yang sebenarnya.”
Bayangan The Whisper tersenyum, dan kegelapan mulai merayap dari bayangan itu, menyelimuti tubuh Ardan. Itu bukan lagi nol energi. Itu adalah energi yang bisa menelan semua elemen, semua cahaya, semua kehidupan.
Void Awakened. Kebangkitan Sang Tersisih baru saja dimulai.