Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Ketika ia keluar, Levi dan anak-anaknya sudah menunggu dengan mainan baru di tangan.
“Sudah bilang terima kasih pada Paman?” tanya Dasha Keduanya mengangguk manis.
Dasha melirik Levi dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum.
Mereka pun pulang. Setibanya di depan rumah, anak-anak langsung masuk untuk mencium tangan nenek mereka dan membersihkan diri.
“Terima kasih lagi, Levi,” kata Dasha pelan di depan mobil. “Aku sudah memikirkannya. Setelah bicara dengan anak-anak, mungkin aku akan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan. Aku bersyukur bisa bekerja di kafemu, tapi aku ingin mencobakan sesuatu yang bisa membuat anak-anakku hidup lebih baik. Mungkin aku akan jadi sekretaris lagi. Kalau sudah punya tabungan cukup, aku ingin membuka restoran kecil.”
“Itu rencana bagus,” balas Levi sambil tersenyum. “Kalau mau, kerja saja di perusahaan kami. Aku bisa menjadikanmu sekretarisku.”
“Melebihi batas itu namanya,” balas Dasha, tersipu. “Aku sudah cukup banyak menerima kebaikanmu.”
“Sekadar mencoba peruntungan,” jawab Levi santai. “Kalau nanti kau sudah bicara dengan anak-anak dan semuanya siap, ikut saja denganku minggu depan ke Roma. Sekalian ada pesta perusahaan. Setelah itu, kita bisa pulang bersama.”
Dari jendela rumah, ibu Dasha tampak mengintip. Dasha tersenyum kecil. “Baiklah. Kau sebaiknya pergi sekarang. Sudah mulai gelap. Hati-hati di jalan, Levi.”
Levi melambaikan tangan sebelum mobilnya menjauh.
**
Dasha masuk ke rumah. “Cium tangan dulu, bu,” katanya pelan. Ibunya hanya mengangguk sambil meneruskan pekerjaannya di dapur.
Naik ke kamar, Dasha melihat anak-anaknya sudah bersih dan duduk di meja belajar, mengerjakan PR. Mereka tampak mandiri, dan itu membuat hatinya sedikit nyeri. Apakah mereka berusaha terlihat kuat supaya ia tidak khawatir?
“Sudah selesai? Perlu bantuan Mima?” tanya Dasha sambil duduk di tepi ranjang.
“Belum, hampir,” jawab Leo, si kembar laki-laki.
“Baik. Nanti Mima mau bicara setelah kalian selesai, ya.”
Begitu mereka menutup buku, keduanya duduk di samping ibunya. “Ada apa, Mima?” tanya Lea.
Dasha menarik napas dalam. “Mima akan pergi ke Roma,” katanya. Mata Lea langsung berbinar, tapi redup kembali saat mendengar lanjutan kalimatnya. “Mima pergi sendiri. Kalian akan tinggal di sini dulu bersama Nenek. Mima harus bekerja di Roma supaya tahun depan kalian bisa sekolah di tempat yang baik.”
“Tapi, Mi…” Leo menatapnya dengan mata berair.
“Ini untuk kita, sayang,” Dasha memaksakan senyum. “Kalau Mima bekerja keras di Roma, Mima bisa beli semua kebutuhan kalian. Nanti, kalau tabungan sudah cukup, Mima akan menjemput kalian. Sementara itu, Mima akan belikan ponsel, dan kalian bisa menelepon Mima kapan pun.” Ia menatap mereka lembut. “Kalian mengerti?”
“Kami mengerti, Mima. Tapi kami akan sangat merindukanmu,” ujar Leo pelan. Mereka berdua lalu memeluk Dasha erat-erat.
Air mata yang sudah kering tadi kembali mengalir. “Mima juga akan merindukan kalian. Tapi ini harus kita lalui.”
“Kapan Mima pergi?” tanya Leo.
“Minggu depan. Mima dan paman Levi akan berangkat bersama,” jawabnya. “Tapi Mima masih bisa datang ke acara Family Day di sekolah kalian hari Jumat. Paman Levi juga akan datang.”
Malam itu mereka berbincang lama di atas ranjang, hingga keduanya tertidur dalam pelukan sang ibu. Dasha mencium dahi mereka satu per satu. Tuhan tahu, jika ia bisa, ia tak akan pernah meninggalkan mereka. Tapi ini satu-satunya jalan.
**
Hari Jumat tiba. Sejak pagi, rumah sudah riuh karena si kembar sibuk menyiapkan seragam dan sepatu.
“Selamat pagi, sayang,” ujar Dasha sambil mengusap mata. “Kalian semangat sekali.”
Begitu mereka keluar gerbang, mobil Levi sudah menunggu di depan. “Lea, Leo!” sapa Levi ceria. “Sudah siap?”
Mereka mengangguk, lalu berangkat bersama menuju tempat acara sekolah berlangsung. Anak-anak segera berlari bergabung dengan teman-teman mereka.
Sambil menunggu acara dimulai, Dasha menatap Levi. “Anak-anak sudah mengerti. Mereka setuju aku ke Roma.”
“Itu bagus. Anak-anakmu luar biasa. Dulu kau kekanak-kanakan, tapi sejak punya mereka, kau jadi dewasa sekali.” Levi terkekeh.
Dasha memukul lengannya pelan. “Kurang ajar.”
Pembawa acara tiba-tiba berbicara di mikrofon. “Selamat pagi, para orang tua dan siswa! Kita akan mulai sebentar lagi. Kami memerlukan satu pasangan ibu dan anak perempuan untuk ikut dalam permainan pertama.”
Lea langsung menarik tangan ibunya. “Mima, ayo!” katanya sambil tertawa. Dasha ikut tertawa dan menurut.
Mereka diberi papan tulis kecil dan spidol.
“Permainan ini berjudul ‘Seberapa Kenal Ibu dengan Anaknya?’ Kalian akan duduk membelakangi satu sama lain. Kami akan menanyakan hal-hal sederhana, seperti warna favorit, dan kalian harus menulis jawabannya di papan. Kalau sama, berarti kalian saling mengenal!”
“Semangat ya, Mima!” Lea mengecup pipi ibunya sebelum duduk. Anak itu manis sekali, dan Dasha bersyukur kebiasaan itu masih mereka lakukan.
Permainan pun dimulai.