Fahrul Bramantyo dan Fahrasyah Akira merupakan sahabat sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan. Mereka sangat akrab bak saudara kembar yang merasakan setiap suka dan duka satu sama lain.
Namun semuanya berubah saat kesalahpahaman terjadi. Fahrul menjadi pria yang sangat kasar terhadap Fahra. Beberapa kali pria itu membuat Fahra terluka, hingga membuat tubuh Fahra berdarah. Padahal ia tau bahwa Fahra nya itu sangat takut akan darah.
Karena Fahra kecil yang merasa takut kepada Fahrul, akhirnya mereka pindah ke Malang dan disana Fahra bertemu dengan Fahri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LoveHR23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senjata Makan Tuan
Fahra menganggukkan kepalanya lirih. Ia tahu bagaimana Cinta saat berhadapan dengan Fahrul. Gadis itu hanya berdoa agar Cinta bisa baik-baik aja tanpa dibully oleh sahabat kecilnya.
Beni memang pintar. Saat Ridho mulai beranjak menghampiri Cinta, Beni memanggil Fahrul dan mengajak pria itu keluar kelas. Maka dari itu, Cinta langsung percaya bahwa yang memanggilnya itu memang Fahrul. Lagipula, Ridho adalah pria yang terkenal baik. Jadi Cinta yakin kalau Ridho tidak akan membiarkannya dalam masalah.
Dengan langkah sedikit santai namun takut, Cinta melangkahkan kakinya didepan pintu gudang. Gadis itu tidak berani masuk gudang karena situasi gudang yang begitu gelap.
"Emm, Fahrul dimana ya? Apa dia cuma ngerjain gue?" Cinta terus berdiri didepan gudang.
Suasan gudang yang begitu sunyi, membuat Beni bisa mendengar kalau ada Cinta diluar. Pria itu tersenyum miring dan mengeluarkan ponsel yang ada di saku celananya.
~"Untung pas gue ajak Fahrul ke kantin, gue sempet ngambil ponselnya diem-diem. Semoga aja tuh anak gak sadar. Jadi gue bisa lebih leluasa buat ngerjain tuh cewek sok jago. Sekarang gue bakal ngirim pesan, biar dia masuk."~ batin Beni.
Tring..
Terdengar suara notifikasi pesan yang masuk diponsel Cinta. Dilayar itu tertera nama Fahrul. Cinta memang menyimpan nomor ponsel Fahrul sejak SMP.
*Gue tunggu lo didalam gudang. Masuk!*
"Pesan dari Fahrul. Dia nyuruh gue masuk? Duh, masuk gak ya?" gadis itu terlihat bimbang. Ia meremas ponsel yang ada ditangannya. Sorot matanya melirik ke segala arah dan terus menggigit bibir bawahnya.
"Gudang keliatan gelap banget. Gak, gak. Gue gak mau masuk. Yaudah gue pergi aja deh." belum sempat gadis itu melangkah, ponselnya kembali berbunyi dan mendapatkan notifikasi chat dari orang yang ada didalam gudang.
*MASUK SEKARANG!*
"Ya Allah, masuk gak ya? Masuk, enggak? Masuk, enggak?" gadis itu terus menggenggam ponselnya sembari menggigut bibir bawahnya.
Dengan langkah pasrah, gadis itu menggebrak pintu dan melihat ke arah gudang. Tak ia dapati seorang pun didalam gudang gelap itu. Ia mencoba memasukkan beberapa langkahnya ke dalam gudang untuk memastikan. Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya dari berlakang. Pintu pun ditolak hingga tertutup rapat. Cinta merasa takut. Ia mencoba membuka layar ponselnya untuk menghidupkan sentar. Namun tiba-tiba ponselnya direbut oleh orang yang mendorongnya itu.
"Si-siapa lo? Fa-Fahrul?" tanya gadis itu gugup.
Tiba-tiba orang yang ada dihadapannya itu menghidupkan sentar ponsel, dan mengarahkan cahayanya kewajahnya sendiri. Cinta dapat melihat jelas siapa orang yang ada dihadapannya. Beni. Pria itulah yang sedang mengarahkan cahaya senter diwajahnya sendiri.
"Beni?!!" Cinta mulai meninggikan nada bicaranya.
"Kok lo ngomong lancar lancar banget, setelah tau gue Beni? Tadi pas lo ngomong Fahrul, lo gugup banget. Gue kan temennya Fahrul!" ucap Beni tak mau kalah juga ikut menaikkan nada bicaranya.
"Lo yang nyuruh gue ke sini? Lo pake nama Fahrul?"
"Iya. Kenapa? Lo takutkan sekarang sama gue?" pria itu tersenyum dengan terus memancarkan cahaya sentar ke wajahnya.
"Apa hubungannya begok?" Cinta merebut ponselnya yang digunakan Beni untuk menyinari wajahnya. Gadis itu mendorong pria yang ada dihadapannya dengan sangat berani.
~"Brengsek! Kenapa dia gak takut sama gue?"~ batin Beni.
Ia masih belum menyerah. Saat tangan Cinta mulai meraih gagang pintu, dengan cepat Beni mencegahnya. Pria itu menarik tangan Cinta dan membalikkan tubuh Cinta. Sekarang tubuh Cinta bersandar di pintu. Beni berdiri didepan Cinta. Mereka berhadapan begitu dekat. Pria itu menghempaskan telapak tangannya dipintu tempat Cinta bersandar. Posisi sikunya sejajar dengan leher gadis itu. Ia menatap lekat Cinta dengan tatapan tajam. Tatapan itu membuat Cinta tertegun. Gadis 16 tahun itu tak tau harus berbuat apa. Ia mencoba untuk melepaskan lingkaran tangan Beni yang telapak tangannya sedang bertumpu dipintu.
"Sekarang lo udah takut sama gue?" tanya Beni yang sedikit menundukkan kepala sembari menatap Cinta.
"Lo kenapa sih?"
"Gue mau buat lo takut!" sentak Beni.
Cinta mengerutkan dahinya, mencoba untuk memahami maksud Beni. Gadis itu menghela nafasnya berat. Dia membalas tatapan Beni tak kalah tajam.
"Iya gue takut!" jawab Cinta sinis.
"Gue belum liat ekspresi takut diwajah lo."
"Yaudah, gue gak takut." jawab Cinta lagi begitu enteng.
"Tapi lo harus takut sama gue!!" sentak Beni yang membuat Cinta memegang telinganya sejenak.
Cinta kembali menghela nafasnya. Kini posisi wajah mereka begitu dekat. Cinta merasa serba salah dengan jawaban yang akan dia berikan kepada Beni. Ia mencoba untuk memaksakan diri memasang ekspresi takut dihadapan Beni.
"I-iya, gue takut." jawabnya berpura-pura lirih. Namun Beni dapat melihat jelas bahwa Cinta tidak benar-benar takut padanya. Giginya mulai berbunyi seolah saling menggigit. Ia mulai meraih dagu Cinta agar gadis itu takut padanya. Namun hal itu membuat kesabaran Cinta habis. Cinta bukanlah penakut, ia hanya seorang gadis yang tak suka mencari masalah. Tapi tingkah Beni sangat-sangat membuat gadis itu kesal.
"Lo harus takut sama gue!" tukas Beni lagi.
"GUE GAK BISA. LO SIAPA? SAMPE HARUS GUE TAKUT?" Cinta melepas paksa tangan Beni yang memegang dagunya. "GUE GAK TAKUT SAMA LO. GUE CINTA, GAK PERNAH TAKUT SAMA LO."
Teriakan Cinta membuat Beni semakin kesal. Pria itu memegang wajah Cinta dan mencoba untuk mencium pipinya. Namun dengan sigap Cinta menampar Beni yang mulai mendekati wajahnya. Gadis itu mendorong Beni dengan sekuat tenaga. Cinta hendak membuka pintu, namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia kembali menutup pintu gudang dan melayangkan beberapa pukulan pada Beni. Wajah pria itu kini terlihat membiru karena tinjuan Cinta.
"Lo gak usah paksa gue, buat takut sama lo." kali ini Cinta lah yang memegang dagu Beni dan melemparkannya dengan kasar. Ia bergegas pergi dan kembali ke kelas.
"Brengsek!" Beni mendecak sebal.
Ketika masuk ke dalam kelas, tak ada ketakutan diwajah Cinta. Berbeda saat ia pergi. Fahra melihat Cinta begitu tenang dan santai. Fahra tersenyum melihat sahabatnya baik-baik saja.
"Kok Cinta baru balik? Tapi Fahrul udah balik dari tadi. Cinta abis dari toilet ya?" tanya Fahra ketika Cinta sampai dibangkunya.
Cinta berfikir sejenak. Ia tak ingin memberitahu Fahra tentang kejadian menjengkelkan digudang itu. Mengingatnys saja, sudah membuat Cinta geram. Namun Beni tetaplah Beni. Ia bukan Fahrul. Bahkan Cinta tak mengerti mengapa ia begitu menakuti Fahrul.
"Iya Ra, gue abis dari toilet bentar." ucap Cinta berbohong.
"Tadi Fahrul ngajak Cinta ngomong apa?"
"Gak penting. Gue aja gak ngerti hehe."
Fahra hanya mengangguk dan memilih untuk tidak mencari tahu lagi. Tiba-tiba terlihat seorang pria dengan beberapa memar diwajahnya memasuki kelas. Cinta melirik sinis pada pria itu. Ia adalah Beni. Dengan cepat Beni berlari ke mejanya. Ia bergegas menelungkupkan wajahnya dilipatan tangannya. Ridho dan Fahrul melihat ada yang berbeda dari Beni.
"Ben, lo kenapa?" tanya Fahrul yang sedang duduk disampingnya.
"Iya Ben, lo kenapa?" sahut Ridho juga penasaran.
Beni mengangkat wajahnya dan memperlihatkan memar diwajahnya kepada Fahrul dan Ridho. Kedua pria itu terkejut. Ridho menghela nafasnya panjang. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Beni.
"Huftt. Lo sih, ngeyel. Makanya, gak usah cari masalah." ujar Ridho.
Fahrul mengerutkan dahinya, mencoba mencerna apa ucapan Ridho.
"Maksud lo, Do?"
"Lo tanya aja sama temen lo yang ngeyel ini." Ridho memonyongkan bibirnya ke arah Beni.
"Itu, tadi gue-gue rencananya mau balas dendam atas tonjokkan yang kemarin. Tapi-tapi gak berhasil. Bukannya takut, dia malah buat muka gue memar gini." jujur Beni. Fahrul tertawa begitu kecang. Seisi kelas sontak menoleh ke arah suara tawa itu. Fahrul tau siapa yang dimaksud Beni.
"Makanya, gak usah sok jago. Udah gue bilangin, jangan macem-macem."
"Ah elo, Rul. Bukannya belain sahabatnya, eh malah muji-muji tuh cewek resek. Pokoknya gue gak mau kalah. Gue harus bisa buat dia takut dan bertekuk lutut dihadapan gue. Masak sama elo dia takut, tapi sama gue enggak."
"Serah lu dah. Lu mau nyaingin gue gimana pun, ya tetep aja gue gak bakal kesaing." ujar Fahrul sembari terkekeh.
"PD banget lo! Liat aja ntar."
"Oh iya, handphone gue sama lo kan?"
"Iya hehehe." Beni merogoh saku celananya dan mengambil sebuah ponsel milik Fahrul. "Nih, makasih ya atas pinjamannya."
"Yeeee minjem tuh bilang-bilang! Kalau ini namanya nyolong!"
"Iyeee iyeeee maap. Kan hp lu juga kagak gue jual, Rul."
"Udah-udah. Lo mau diobatin gak tuh memarnya?" ucap Ridho memberi solusi. Beni pun menyetujui, begitu juga Fahrul. Hari itu merupakan hari yang sangat menyebalkan bagi Beni. Niatnya yang ingin balas dendam, harus berakhir dengan SENJATA MAKAN TUAN.
~>>•<<~