bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masuk ke cahaya bangsa
“Lusa aku mau ke luar kota. Hari ini aku akan ke kantor. Kemungkinan tidak pulang, banyak yang harus aku kerjakan,” ujar Rian datar.
Miranda mengoleskan selai kacang pada roti lalu menyodorkannya kepada Rian.
“Oh,” sahut Miranda ringan. “Kalau begitu aku juga mau kuliah, ya.”
Rian mengambil roti buatan Miranda lalu menggigitnya. "Sial. Rasanya enak."
“Kenapa aku memakannya. Nanti dia tambah besar kepala, merasa aku menginginkan dia,” batin Rian kesal.
“Kamu tinggal kuliah saja. Semua sudah diurus oleh Mila,” jelas Rian.
“Ok, terima kasih suamiku. Sungguh Anda sangat perhatian,” ucap Miranda sopan. “Di Tunas Bangsa, kan?” tanyanya lagi.
“Bukan, tapi di Cahaya Bangsa,” jawab Rian.
Miranda meletakkan rotinya. Bibirnya manyun. Entah kenapa ekspresi itu membuat Rian ingin mencubitnya.
“Kenapa,” tanya Rian sambil tetap menjaga gengsi.
“Itu kan universitas milik keluarga Aditama. Malah aku ketemu saudara-saudaraku,” keluh Miranda ketus.
“Kampus itu masih jadi yang terbaik,” tegas Rian. “Tidak ada penolakan. Akan memalukan sekali kalau Nyonya Baskara kuliah di tempat murahan.”
Rian meletakkan iPadnya.
“Di antara usaha Aditama hanya di bidang pendidikan yang berjalan lancar. Masih jadi yang terbaik. Kamu harus terima dan hilangkan masalah pribadi kamu,” ujarnya tegas.
“Aku mau pindah. Aku tidak mau di situ,” Miranda merajuk.
“Boleh, tapi di Jepang atau London.”
“Ih, kok jauh sekali. Kalau aku jauh dari kamu, nanti kamu enak selingkuh sama artis dewasa itu,” kata Miranda ketus.
“Kamu cemburu?” Rian menatap datar, tetapi hatinya terasa hangat.
“Tidak,” jawab Miranda singkat.
“Tidak ada pilihan. Kalau mau di dalam negeri hanya itu kampusnya. Kalau universitas negeri kamu sudah terlambat. Tunggu tahun depan kalau mau di universitas negeri,” jelas Rian.
Miranda masam. “Kamu memasukkan aku ke kandang buaya,” lirihnya. Ia masih trauma saat SMP didepak dari sekolah milik keluarganya sendiri.
“Gampang. Tinggal kamu dimakan buaya,” ujar Rian santai. “Atau kamu taklukkan buayanya.”
Rian bangkit dan melangkah ke lemari untuk memakai dasi.
Miranda turut berdiri. Ia cepat membantu membetulkan dasi Rian.
Mereka berdiri sangat dekat. Jantung Rian berdetak lebih cepat. Tinggi Miranda yang hanya mencapai dagunya membuat Rian leluasa menghirup wangi rambutnya.
“Sudah bagus belum?” tanya Miranda.
Rian menilik cermin. “Lumayan,” katanya datar. Padahal, sebagai perfeksionis, ia diam-diam salut karena Miranda memasangkan dasi dengan sangat rapi.
“Suamiku tampan sekali,” puji Miranda polos.
Rian mengeluarkan kartu hitam dari saku jasnya. “Ini, ambil,” ucapnya.
“Apa ini?”
“Kartu buat belanja. Pakailah,” jelas Rian.
“Kenapa. Apa karena aku sudah memuji kamu, suamiku?” tanya Miranda geli.
“Tidak,” sahut Rian dingin. “Aku hanya memenuhi kewajiban memberi nafkah padamu.”
“Ah, kamu sudah memenuhi kewajiban. Aku juga siap melayani kamu,” ucap Miranda sambil mengedipkan mata. “Ah, memalukan sekali sikapku. Mamah Kiran, kenapa kamu mengajariku seperti wanita murahan.”
“Aku tidak selera dengan kamu,” balas Rian datar.
“Aku pergi dulu,” lanjutnya.
Miranda mengulurkan tangan.
“Kenapa,” tanya Rian. “Bukankah sudah aku berikan jajan untuk kamu.”
“Salim suamiku, sayang,” ucap Miranda lembut.
Rian mengulurkan tangan. Miranda mencium punggung tangannya.
“Semoga Allah melindungi suami tampanku ini,” bisik Miranda lirih.
“Hmm,” hanya itu jawaban Rian sebelum ia melangkah pergi meninggalkan kamar hotel.
Miranda sendirian di hotel itu. Kebosanan membuatnya menelpon Yudi, sopir keluarga Baskara.
“Aku mau pulang,” ucap Miranda.
“Baik, nyonya. Nanti ada yang ke sana,” jawab Yudi.
Miranda masuk kamar mandi lalu mandi. Ia menggerutu sambil memainkan air.
“Kenapa harus di Cahaya Bangsa. Malas sekali aku.”
Hari itu terasa akan berat. Kuliah di Cahaya Bangsa berarti bertemu Lena, Amar, Amir, dan para sepupu yang membencinya. Ia membayangkan drama panjang di kampus.
“Si Lena itu pasti berulah. Apalagi dia pasti kecewa karena aku menikah dengan pria tampan,” gumam Miranda.
Ia berhenti overthinking dan keluar dari kamar mandi. Dua maid sudah datang, sibuk menyiapkan baju untuknya.
“Aku mau ke kampus,” ucap Miranda.
“Baik, nyonya,” jawab salah satu maid sambil memilihkan baju.
Mereka membantu Miranda berpakaian dan mendandani rambutnya. Saat itu ponselnya berbunyi. Nama Mamah Kirana muncul.
Miranda mengusap layar dan mengangkatnya.
“Sayang, bagaimana malam pertamanya,” tanya Mamah Kirana.
“Tidak terjadi apa apa. Target masih galau memikirkan pacarnya.”
“Mir, itu suami kamu. Bukan target,” kekeh Kirana.
“Ya, tapi suami itu kan misi. Aku harus menaklukkan suamiku. Sepertinya agak susah, Mah.”
“Santai saja. Jangan tearburu buru,” ujar Kirana lembut.
“Ya, Mah,” jawab Mirnda.
“Nak, Mamah mau ke luar negeri dulu. Paling lusa pulang. Mila dan Mili ikut Mamah,” ucap Kirana.
Kata kata itu membuat Miranda merasa hangat. Rian tadi pagi juga memberinya jadwal. Kini Mamah Kirana melakukan hal yang sama. teringat masa lalu saat bertanya "ayah mau kemana?" dan yang dia terima adalah makian seluruh kakaknya karena dianggap bawel
“Ya sudah, Mira juga mau mulai
“Baik sayang. Sudah dulu ya,” kata Kirana.
Sambungan terputus. Miranda berdiri saat makeup-nya selesai. Para maid tersenyum bangga melihat hasil kerja mereka.
..
Miranda keluar dari hotel dengan langkah ringan, diikuti dua bodyguard di belakangnya. Sejak tadi ia merasa tidak nyaman dengan jarak yang terlalu dekat.
“Nanti di kampus kalian jangan masuk,” ucap Miranda tanpa menoleh.
“Kenapa, Nyonya,” tanya salah satu pengawal.
“Aku ingin nyaman kuliah. Aku tidak mau diperlakukan istimewa. Kalian tunggu saja di luar.”
“Tapi, Nyonya,” pengawal itu terdengar ragu.
“Ini perintah. Tidak ada bantahan,” ujar Miranda dengan nada tegas.
“Baiklah,” jawab pengawal itu meski masih terlihat bingung.
Setibanya di lobi hotel, dua mobil mewah sudah menunggu. Satu disiapkan untuk Miranda dan satu lagi untuk para maid serta pengawal. Miranda menunjuk mobil kedua.
“Kalian bersama para maid saja.”
“Nyonya, ini tidak bisa,” ucap pengawal lagi.
“Ini perintah. Aku hanya ingin duduk nyaman,” kata Miranda sekali lagi menegaskan.
Ia masuk ke mobil mewah yang disiapkan untuknya. Dalam hati Miranda menggumam, “Sebaiknya aku ganti mobil. Terlalu mencolok.” Suaranya terdengar oleh Yudi, sopir pribadinya, namun laki-laki itu hanya tersenyum kecil dan tidak berkomentar.
“Ke kampus Cahaya Bangsa, Pak,” perintah Miranda.
Mobil melaju menuju kampus. Di sepanjang perjalanan, Miranda menulis ulang rencana hidupnya yang terus berubah dan selalu melampaui ekspektasinya sendiri. Di layar tablet, ia memberi tanda centang.
“Mendapatarkan Mang Agus dan Bi Mirna umrah.” Sudah selesai.
“Mencari Kartika dan mengajaknya kuliah.” Akan dilakukan segera.
“Mencari Lukman, Reno, dan Rina.” Ia bergumam pelan. “Aku harus membuat mereka kuliah. Bagaimanapun aku harus punya sekutu di Cahaya Bangsa.”
Miranda menaruh tabletnya dan memandang jalan yang macet. “Nanti mobil tunggu di luar kampus,” ujarnya.
“Baik, Nyonya,” jawab Yudi meski terdengar ragu. Keselamatan Miranda adalah tanggung jawab besar.
Mobil berhenti agak jauh dari gerbang universitas. Para pengawal terlihat ketar ketir. Andai terjadi sesuatu pada Miranda, karier mereka bisa berakhir seketika.
Miranda menuruni mobil dengan percaya diri. Pakaian yang ia kenakan tampak sederhana bagi orang awam, namun siapa pun yang paham merek pasti tahu bahwa pakaian itu mahal.
Dari kejauhan seseorang memperhatikannya dengan tatapan tajam. Lena berdiri di antara kerumunan, menggertakkan giginya.
“Kenapa dia di sini,” gumam Lena. Tangannya mengepal erat. “Apa dia mau pamer.” Bibirnya membentuk senyum miring. “Ini wilayahku, Miranda.”
Ia meraih ponselnya dan menelpon seseorang.
“Leo, ada pekerjaan bagus untuk kamu,” ucap Lena.
“Ada apa, Bos,” jawab Leo.
“Kamu permalukan wanita ini. Lempar pakai telur busuk.”
“Baik, transfer lima juta,” ujar Leo santai.
“Tidak masalah,” balas Lena tanpa ragu.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya