Dikhianati. Dituduh berkhianat. Dibunuh oleh orang yang dicintainya sendiri.
Putri Arvenia Velmora seharusnya sudah mati malam itu.
Namun takdir memberinya satu kesempatan—hidup kembali sebagai Lyra, gadis biasa dari kalangan rakyat.
Dengan ingatan masa lalu yang perlahan kembali, Lyra bersumpah akan merebut kembali takhta yang dirampas darinya.
Tapi segalanya menjadi rumit ketika ia bertemu Pangeran Kael…
Sang pewaris baru kerajaan—dan reinkarnasi dari pria yang dulu menghabisi nyawanya.
Antara cinta dan dendam, takhta dan kehancuran…
Lyra harus memilih: menebus masa lalu, atau menghancurkan segalanya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Pertemuan dan Déjà Vu
Lyra menyampirkan keranjang anyam di punggungnya, langkahnya ringan namun kaku. Ia berusaha keras meniru gerakan gadis-gadis lain di Distrik Bawah: berjalan sedikit membungkuk, tatapan lurus ke bawah, dan menyembunyikan keanggunan seorang putri yang sudah terukir di tulangnya.
"Pagi, Lyra!" sapa Nyonya Elva, tetangga tua yang memberinya tumpangan hidup. "Jangan lupa, sayuran hari ini harus dijual habis. Duke Renald akan datang ke kota, pasti permintaan akan tinggi."
Lyra mengangguk singkat. Duke Renald. Nama-nama bangsawan yang dulu adalah sekutu, kini terasa asing dan penuh ancaman. Duke Renald adalah salah satu yang paling vokal dalam menuduh "Putri Mahkota yang berkhianat." Ironisnya, Lyra tahu dialah yang paling korup.
Saat melintasi pasar kumuh yang basah, Arvenia di dalam dirinya memberontak. Putri Mahkota tidak pernah berada di tempat seperti ini. Ia tidak pernah menghirup bau ikan asin yang bercampur keringat dan debu. Ia hanya tahu wangi gardenia dan parfum impor.
Kenapa aku harus hidup seperti ini?
Kebencian pada Valerius—Pangeran Valerius, suaminya yang seharusnya—meluap. Bukan hanya ia dibunuh, tetapi ia dipaksa menjalani hidup yang paling ia hindari: kehidupan tanpa kekuasaan, tanpa pengaruh, tanpa kehormatan.
Dendam: Itu adalah satu-satunya mata uang yang membuatnya terus bernapas. Jika ia ingin membalas dendam, ia tidak bisa bertindak gegabah. Seorang putri tidak akan bisa menghadapi seorang pangeran. Tapi Lyra, si gadis pasar yang tak terdeteksi, memiliki akses ke celah-celah kerajaan yang tidak pernah dilihat Arvenia.
Di tengah pasar, ia menemukan kedai teh kecil tempat ia biasa bekerja. Pemiliknya, Paman Jorel, seorang pria paruh baya yang baik hati, selalu memarahinya karena terlalu sering melamun.
"Lyra, Teh Mawar untuk meja di sana. Cepat!" seru Paman Jorel.
Lyra mengambil nampan. Teh Mawar. Minuman kesukaan Valerius.
Setiap hal kecil dalam hidup ini adalah penyiksaan.
Saat ia berjalan, pikiran Arvenia kembali menguasai. Ia mengingat pelajaran strategi dari Jenderal Verris. Kekuatan terbesar musuh adalah ketidaktahuanmu, Arvenia. Kekuatan terbesarmu adalah kemampuannya meremehkanmu.
Lyra menenggelamkan ingatan itu. Ia hanya perlu fokus. Fokus menjual teh ini.
Tapi perhatiannya teralih pada kerumunan yang mulai berkumpul di ujung jalan utama, dekat Gerbang Merak. Suara sorak-sorai mulai terdengar, seperti ombak yang mendekat.
"Pangeran Kael! Pangeran Kael datang!"
Orang-orang mulai berdesakan. Mereka mengelu-elukan nama itu dengan histeria yang Lyra kenal baik—histeria yang dulu ditujukan padanya, si Putri yang dicintai.
Lyra merasakan getaran dingin di punggungnya. Ia belum pernah melihat Pangeran Kael. Sejak "kematiannya," Lyra sibuk bersembunyi. Tapi sekarang, Kerumunan itu mendorongnya maju, tak terhindarkan.
"Minggir, Lyra! Kau menghalangi!" teriak seorang pedagang.
Lyra terlempar ke pinggir jalan. Nampan tehnya jatuh, pecahannya berhamburan. Tapi ia tidak peduli. Matanya tertuju pada iring-iringan berkuda yang mendekat. Pengawal kerajaan dengan baju zirah emas. Dan di tengah-tengah mereka, sosok yang menunggangi kuda hitam legam.
Pangeran Kael.
Ketika Kael melewatinya, waktu seolah berhenti. Kerumunan yang bersorak berubah menjadi suara mendesis yang jauh. Aroma debu dan rempah-rempah pasar lenyap, digantikan oleh wangi kulit kuda dan sesuatu yang sangat familiar: aroma kayu cendana dan winter jasmine. Aroma yang sama persis dengan yang selalu melekat pada Valerius.
Pangeran Kael jauh lebih muda dari yang Lyra bayangkan dari desas-desus. Ia memiliki rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan di bawah mahkota kecilnya. Tapi, bukan usianya yang membuat Lyra terkejut, melainkan matanya.
Mata Kael bukan mata Valerius. Mata Valerius berwarna hijau hutan yang hangat. Mata Kael berwarna emas gelap, tajam, dan dingin. Mata seorang pemburu, bukan seorang kekasih.
Namun, cara Kael memandang kerumunan, cara senyum tipis itu terbentuk di sudut bibirnya—itu adalah jiwanya. Itu adalah arogansi yang tersembunyi, yang dulu hanya Lyra yang tahu, yang dulu sering Valerius tunjukkan hanya saat mereka berdua.
Kael adalah Valerius. Bukan reinkarnasi dalam arti fisik, tetapi jiwa pengkhianat itu kini bersemayam dalam diri pewaris baru.
Melihatnya hidup, dicintai, dan duduk di posisi yang seharusnya menjadi milik Valerius (karena Valerius telah dibuang dari garis suksesi setelah insiden itu), gelombang amarah dan keputusasaan menghantam Lyra.
Pengkhianat itu dibunuh oleh Pangeran Kael. Desas-desus itu kembali terngiang. Valerius juga telah mati—mungkin dibunuh oleh Kael sendiri demi takhta.
Lyra terpaku, tangannya terkepal. Ia tidak menyembunyikan kebenciannya. Untuk sesaat, ia membiarkan mata Arvenia muncul. Mata yang membawa duka, pengkhianatan, dan ancaman kematian.
Tiba-tiba, Kael, yang sedang melambaikan tangan kepada kerumunan, menghentikan kudanya.
Hening.
Semua mata tertuju pada Pangeran Kael, yang kini menoleh sepenuhnya. Tatapan emas gelapnya menyapu kerumunan hingga berhenti, tepat di atas wajah Lyra yang kotor oleh debu dan air mata yang tanpa sadar telah menetes.
Tidak mungkin dia mengenaliku, pikir Lyra panik, segera menurunkan pandangannya.
Kael tidak bergerak. Ia hanya menatap Lyra. Ada sesuatu dalam tatapan itu—bukan pengakuan, tetapi rasa ingin tahu yang sangat dalam. Seolah ia melihat pola yang hilang, sebuah kunci yang belum terpasang.
"Ada masalah, Yang Mulia?" tanya Kapten Pengawal, khawatir dengan keheningan mendadak itu.
Kael tidak menjawab. Ia perlahan turun dari kudanya, gerakan yang mulia dan mengancam. Kerumunan terdiam, memberikan jalan.
Setiap langkah Kael mendekat terasa seperti lonceng kematian bagi Lyra.
Lari. Insting Lyra berteriak.
Hadapi dia. Insting Arvenia membentak.
Lyra memaksa dirinya untuk tetap di tempat. Ia menundukkan kepala, memunguti pecahan keramik teh yang berserakan, bertindak seolah ia hanya seorang gadis canggung yang menyebabkan kekacauan.
Kael berhenti tepat di depannya. Lyra bisa melihat sepatu bot kulit hitam mengilatnya. Udara terasa tipis.
"Gadis," suara Kael dalam dan berwibawa, memecah keheningan yang mencekik.
Lyra mengangkat kepala, hanya setinggi yang diperlukan agar matanya bertemu. Lyra menjaga tatapannya sebersih mungkin dari emosi, tetapi Arvenia gagal—sedikit dari rasa sakit dan penolakan itu pasti bocor keluar.
Kael menatapnya dengan intensitas yang mematikan. "Kau tidak takut padaku."
Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah tuduhan. Di Eteria, setiap rakyat biasa akan gemetar atau bersujud di hadapan Pangeran. Lyra hanya berdiri, tegang.
Lyra harus berbohong, Lyra harus bertindak. "Hamba… Hamba hanya terlalu malu karena telah memecahkan barang, Yang Mulia," katanya, suaranya berhasil dibuat serak dan rendah, berlawanan dengan suara Putri Arvenia yang bernada tinggi dan merdu.
Kael mencondongkan tubuh sedikit, memaksanya untuk menahan diri agar tidak mundur. Aroma cendana itu begitu kuat.
"Malu?" Kael tersenyum tipis. Senyum itu menghancurkan Lyra. Itu adalah senyum Valerius sebelum ia mengucapkan sumpah palsu di hadapan Dewan. "Mata seorang yang malu biasanya tidak membawa badai seperti matamu."
Kael mengulurkan tangan. Bukan untuk menyentuhnya, melainkan untuk menyentuh sehelai rambutnya yang lepas dan tertiup angin.
"Siapa namamu?"
Boom!
Satu pertanyaan, dan seluruh rencana Lyra dipertaruhkan. Jika ia berbohong, dia bisa melupakan untuk kembali ke Istana. Jika ia mengatakan nama Arvenia…
"Lyra," jawabnya, nadanya datar.
Kael menarik tangannya kembali. Ia mengeluarkan sekantong kecil koin emas—jumlah yang bisa memberi makan Lyra selama setahun. Ia menjatuhkannya ke dalam keranjang Lyra yang kosong.
"Ambil ini. Untuk menutupi kerugianmu, dan untuk membayar tatapan itu," perintah Kael, matanya tidak pernah meninggalkan mata Lyra.
"Aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya," Kael menambahkan, lebih kepada dirinya sendiri. "Tapi, ada sesuatu tentangmu. Jaga dirimu, Lyra. Di balik mata yang membawa badai, ada hati yang mudah hancur."
Kael tidak menunggu jawaban. Ia berbalik, menaiki kudanya dengan gerakan anggun yang menghancurkan jiwa Lyra, dan melanjutkan iring-iringan itu, meninggalkan Lyra yang kini berdiri di tengah keheningan yang dalam.
Lyra meremas koin emas di keranjangnya. Itu adalah koin kerajaan. Koin dari takhta yang dirampasnya. Koin dari Pria yang membunuhnya.
“Bangkit Setelah Terluka” bukan sekadar kisah tentang kehilangan, tapi tentang keberanian untuk memaafkan, bertahan, dan mencintai diri sendiri kembali.
Luka memang meninggalkan jejak, tapi bukan untuk selamanya membuat kita lemah.
Dalam setiap air mata, tersimpan doa yang tak terucap.
Cinta, pengorbanan, dan air mata menjadi saksi perjalanan hidup seorang wanita yang hampir kehilangan segalanya—kecuali harapan.
“Bangkit Setelah Terluka” menuturkan kisah yang dekat dengan hati kita: tentang keluarga, kesetiaan, dan keajaiban ketika seseorang memilih untuk tetap bertahan meski dunia meninggalkannya.
Bacalah… dan temukan dirimu di antara setiap helai kisahnya.