NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Riuh

“Sandrawi!”

Ratih menghentak pintu kamar Sandrawi, tinjunya berulang kali menghantam kayu tua yang sudah mulai lapuk. Suaranya bergetar, berharap penglihatannya barusan hanyalah ilusi sesaat. Tidak, putrinya tak mungkin melakukan tindakan seputus asa itu. Sebentar lagi ia akan menyandang gelar sarjana, mana mungkin Sandrawi rela melewatkan momen sebesar itu begitu saja?

“TOLONG!” pekiknya, semakin keras, saat daun pintu tetap enggan terbuka.

“Sandrawi… tunggu Ibu! Kamu nggak boleh pergi… Nak!”

Dengan langkah terhuyung, Ratih berlari ke arah teras rumah, dadanya sesak seakan direnggut oleh kabut hitam. Matanya basah oleh air mata yang terus luruh, sementara beberapa warga yang tengah berkerumun di dekat rumahnya sontak menghampiri, tergugah oleh keributan yang tiba-tiba.

“Ada apa, Bu?” tanya Tarjono, kepala keamanan desa yang sudah sepuh namun masih sigap.

“Tolong… Sandrawi, Pak… dia… dia…”

Lidah Ratih kelu, kalimatnya terhenti, tenggelam dalam isakan yang tak mampu ia bendung. Tarjono yang paham situasi genting itu segera memberi isyarat pada beberapa bapak-bapak yang ikut berkerumun, lalu mereka bergegas masuk ke dalam rumah, diiringi langkah Ratih yang limbung.

“Di mana Sandrawi, Bu?” Tarjono bertanya, matanya tajam namun sarat kekhawatiran.

“Di… di kamar… langsung dobrak saja, Pak!” suara Ratih pecah, gemetar, tapi tegas.

Tak ingin membuang waktu, Tarjono bersama salah seorang warga mulai bersiap. Kaki mereka mengatur pijakan, tubuh menegang, lalu bersamaan menghantam pintu keras-keras. Namun, hantaman pertama hanya membuat daun pintu berguncang tanpa terbuka. Ratih meremas ujung kerudungnya, jantungnya berdegup tak karuan, bayangan paling buruk memenuhi pikirannya.

“Sekali lagi, Pak… ayo!” Tarjono mengomando. Dengan aba-aba tegas, mereka menghitung mundur. Satu… dua… tiga!

BRAK!

Pintu itu terhempas, terbuka paksa. Tanpa menunggu lebih lama, Ratih mendorong Tarjono yang berdiri di ambang, lalu menerobos masuk secepat kilat.

Untuk beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, napas Ratih tercekat. Dunia seolah berhenti berputar saat matanya menangkap pemandangan itu sepasang kaki menggantung, melayang tanpa pijakan.

Ratih mendongak perlahan, tubuhnya limbung seolah tak sanggup menopang kenyataan pahit yang tengah terpampang di hadapannya. Matanya membelalak nanar, tangannya gemetar hebat saat menyaksikan tubuh Sandrawi tergantung tak bernyawa, diayun pelan oleh tali tambang yang terjerat kuat pada balok kayu kamar.

“SANDRAWI!” jeritnya melengking, pilu menembus sekat-sekat dinding. Wanita paruh baya itu seketika roboh, tubuhnya terhempas ke lantai. Napasnya tercekat, seakan seluruh hidupnya runtuh seketika, porak-poranda tanpa ampun.

Harapan yang ia bawa pulang, keinginan sederhana untuk menyaksikan Sandrawi mengenakan toga, sekejap musnah. Tak terlintas sedikit pun dalam benaknya, bahwa kepulangannya justru disambut pemandangan paling kelam dalam hidupnya. Ratih tak tahu… sungguh tak tahu apa yang telah terjadi hingga putri kesayangannya mengambil jalan seterjal ini.

“Enggak… enggak… ini nggak mungkin… Sandrawi nggak boleh ninggalin Ibu… nggak boleh, Nak!” Ratih meraung sejadi-jadinya, suara pecahnya menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Tubuhnya menggigil hebat, menyaksikan buah hatinya membisu di tali maut itu.

Tarjono melangkah pelan, mendekat, mencoba menenangkan Ratih meskipun ia tahu, pelipur lara macam apa pun tak akan mampu menampung duka wanita itu. Siapa pun pasti hancur, terlebih ketika kepulangan mereka justru disambut maut anaknya sendiri.

“Yang sabar, Bu,” hanya itu yang sanggup Tarjono ucapkan, lirih namun tulus, sementara warga mulai berdatangan memenuhi kamar sempit itu, ingin memastikan kabar buruk yang baru saja mengguncang desa.

“Astaghfirullah!” lirih suara warga bergema. Beberapa dari mereka spontan memalingkan wajah, tak sanggup menatap pemandangan memilukan. Tubuh Sandrawi menggantung, pelan bergoyang tertiup angin dari jendela yang setengah terbuka.

“Ada apa ini!” teriakan lantang terdengar dari arah pintu. Adibrata, putra bungsu Ratih, baru saja pulang dari sekolah. Ia terkejut mendapati kerumunan warga di dalam rumah mereka.

Tak seorang pun menjawab. Tak ada suara, hanya tangisan lirih terdengar. Hingga langkah Adibrata terhenti, matanya membelalak horor menatap pemandangan di hadapannya.

“Mbak Sandrawi!” teriaknya histeris. Tanpa pikir panjang, Adibrata menerobos masuk, meraih sebuah kursi tua, lalu memanjat, mencoba menjangkau leher kakaknya yang tercekik tali.

“Adibrata, jangan lakukan itu! Kita harus menunggu pihak berwajib dulu!” cegah Tarjono dengan suara tegas, mencoba menarik Adibrata yang telah hilang kendali oleh rasa panik.

“Bapak gila ya! Mbak Sandrawi bisa mati kalau dibiarkan begini!” suara Adibrata meledak, amarah dan tangis bercampur menjadi satu. Ia berontak, tubuhnya bergetar saat warga menghalangi langkahnya untuk menyentuh tubuh kakaknya.

Namun kenyataan memang pahit tak terelakkan, Sandrawi sudah tiada. Sejak Tarjono dan para warga berhasil mendobrak pintu kamar, segalanya telah berakhir. Mereka terlambat… terlalu terlambat untuk menyelamatkan Sandrawi dari jeratan maut yang dipilihnya sendiri.

“Yang ikhlas, Le… Mbakmu sudah nggak ada…” suara Tarjono berat, penuh ketegaran yang dipaksakan.

Saat Tarjono sibuk menghubungi pihak berwajib, tubuh Ratih ambruk di atas lantai, kehilangan kesadaran seiring hilangnya cahaya dalam hidupnya.

“Pak, tolong bawa Bu Ratih ke ruang tamu,” pinta Tarjono kepada warga lain, yang dengan sigap membantu mengangkat tubuh Ratih, membaringkannya di sofa ruang tamu.

Tak berselang lama, sirine ambulans meraung menghantam sunyi, diikuti langkah tergesa aparat kepolisian dan tim medis yang memenuhi rumah Ratih. Mereka segera menuju kamar Sandrawi, memulai prosedur penyelidikan. Kamera berkedip mengabadikan momen tragis untuk keperluan laporan, sebelum tali maut itu dilepaskan.

Hampir bersamaan, sebuah mobil berhenti di halaman. Baskoro baru saja tiba. Dahi pria itu mengerut tajam ketika matanya menangkap deretan kendaraan polisi dan ambulans yang berjejer di depan rumahnya. Sebuah firasat buruk mulai menyelinap, menusuk dadanya tanpa ampun.

“Ada apa ini? Kenapa ada polisi di rumah saya?” tanyanya dengan suara lantang, namun penuh kecemasan.

Tak ada jawaban dari kerumunan warga. Mereka hanya saling melempar pandangan, bisik-bisik lirih terdengar samar, menggunjingkan kematian Sandrawi yang dianggap noda hitam bagi keluarga.

“Pasti dia bunuh diri karena malu,” terdengar suara warga yang meluncur tajam bak belati.

Baskoro mengatupkan rahangnya, membanting pintu mobil keras-keras sebelum bergegas masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti di ruang tamu saat melihat Ratih tergeletak lemah di atas sofa, wajahnya pucat pasi.

“Ratih!” serunya panik, mendekat dengan langkah tergesa. “Ada apa ini, Pak? Kenapa istri saya begini?!”

Suara Baskoro parau, matanya membelalak saat pandangannya beralih ke arah kamar Sandrawi pintu terbuka lebar, dipenuhi polisi yang sibuk bekerja di dalamnya.

“Sandrawi…!” suara Baskoro pecah seketika. Ia menerobos menuju kamar putrinya, namun di ambang pintu langkahnya kembali tertahan.

Di sana, Adibrata bersandar lemas di dinding, tangannya mengepal, berulang kali menghantam tembok, menyalurkan kesedihan yang tak sanggup diungkapkan dengan kata.

“Turunkan jenazahnya, setelah itu tim medis akan segera melakukan pemeriksaan.”

Baskoro terhenti, tubuhnya membeku tatkala tanpa sengaja menangkap percakapan salah seorang polisi yang tengah sibuk di kamar putrinya.

Jenazah? Siapa yang terbujur kaku di kamar Sandrawi? Tidak… tidak mungkin!

“Kali ini Bapak sudah berhasil merenggut semua yang dimiliki Mbak Sandrawi… termasuk nyawanya,” gumam Adibrata pelan, tapi suaranya cukup tajam, sorot matanya menusuk lurus ke arah Baskoro, menyiratkan kebencian yang teramat dalam.

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!