NovelToon NovelToon
Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng

Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Ketos / Murid Genius / Teen Angst / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pewaris dalam Kesepian

Bel pulang sekolah sore hari akhirnya berbunyi. Suasana gerbang penuh dengan murid-murid yang dijemput orang tua, ada yang naik motor, ada yang menunggu angkot, ada juga yang langsung pulang bareng teman-teman.

Citra keluar pelan dari gerbang sambil memeluk bukunya. Ia menoleh kanan-kiri, lalu tersenyum kecil saat melihat sedan hitam elegan berhenti tidak jauh dari pintu keluar.

Seorang pria paruh baya dengan seragam sopir rapi segera turun dan membukakan pintu.

“Non Citra, mari. Ayo cepat masuk, jalanan pasti mulai macet,” ucap Pak Dirman, sopir pribadi keluarga Mahardi yang sudah bersama mereka sejak lama.

Citra mengangguk sopan. “Iya, Pak Dirman. Makasih ya.”

Ia masuk ke dalam mobil, menaruh buku di pangkuannya, lalu bersandar. Dari kaca jendela, ia sempat melihat beberapa teman sekolah masih berjalan kaki sambil tertawa-tawa.

Sesuatu di dalam dirinya terasa aneh—ingin juga merasakan pulang sekolah seperti anak biasa, tanpa harus naik mobil mewah dengan sopir pribadi.

Pak Dirman melirik dari kaca spion. “Non, gimana hari pertama sekolah? Lancar?” tanyanya hangat.

Citra menunduk sebentar, mengingat kejadian siang tadi saat dijebak Rachel. Bibirnya mengulas senyum tipis. “Lumayan, Pak. Ada senangnya, ada juga… ya begitu deh.”

Pak Dirman hanya mengangguk, seakan paham maksudnya. “Yang penting Non tetap sabar. Ingat pesan Tuan Mahardi, jangan mudah terpancing orang yang iri.”

Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman sekolah. Citra menatap keluar jendela, melihat matahari sore yang mulai condong ke barat. Di hatinya, ia berjanji akan kuat.

“Aku nggak mau orang tahu siapa aku sebenarnya. Aku cuma mau sekolah kayak anak biasa… semoga bisa.”

Mobil hitam elegan itu akhirnya berbelok masuk ke sebuah gerbang tinggi dengan ukiran klasik.

Begitu sensor gerbang membaca kartu otomatis, pintu besi itu perlahan terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Air mancur menjulang di tengah halaman, memantulkan cahaya sore yang indah.

Citra menatap rumah besar bergaya gotik-Eropa itu dengan tatapan biasa saja. Bagi orang lain, mungkin istana itu akan terlihat menakjubkan. Namun bagi Citra, rumah itu hanyalah tempatnya pulang setiap hari.

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Dua ART segera datang membukakan pintu, sementara Pak Dirman membungkuk sedikit.

“Silakan, Non,” katanya sopan.

Citra melangkah keluar, menyampirkan tas di bahu. Aroma bunga dari taman samping tercium lembut.

Begitu masuk ke dalam, suasana rumah langsung terasa berbeda—megah, dengan lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, dinding marmer putih, dan tangga besar berkarpet merah yang melingkar naik ke lantai dua.

“Selamat datang, Non Citra,” sapa salah satu ART perempuan sambil membungkuk kecil. “Mau langsung istirahat dulu atau mau disiapkan camilan sore?”

Citra tersenyum ramah, meski lelah. “Camilan sore aja, Bi. Aku lapar.”

ART itu mengangguk cepat. “Baik, Non.”

Citra berjalan ke ruang keluarga, menjatuhkan diri ke sofa empuk berwarna krem. Pandangannya menerawang, teringat lagi wajah Rachel yang tadi menghina dirinya di sekolah. Ia menghela napas panjang.

Tak lama, ART datang membawa nampan berisi camilan—roti isi daging, pastel mini, dan segelas jus mangga segar.

“Ini, Non. Silakan dinikmati.”

“Terima kasih, Bi,” ucap Citra.

Sambil makan pelan-pelan, matanya melirik ke foto besar yang tergantung di dinding: foto dirinya kecil bersama ayah dan ibunya. Senyumnya samar, matanya sedikit meredup.

“Papi lagi di Singapura… Mami udah nggak ada… Kadang rumah segede ini malah kerasa kosong banget,” batinnya.

Setelah menghabiskan camilan sore, Citra melangkah naik ke lantai dua melalui tangga besar berkarpet merah. Suara langkahnya bergema lembut di lorong panjang yang dipenuhi lukisan-lukisan mahal dan vas antik.

Ia berhenti di depan sebuah pintu ganda berukiran kayu mahoni. Begitu pintu itu dibuka, terlihatlah kamar pribadinya—ruangan yang ukurannya nyaris sebesar aula kecil.

Langit-langit tinggi dengan chandelier kristal menjuntai, menyebarkan cahaya keemasan. Dindingnya bernuansa pastel lembut, dihiasi mural bergaya Eropa.

Di sisi kiri terdapat rak buku besar berisi koleksi novel klasik, ensiklopedia, hingga komik Jepang kesukaannya. Di sisi kanan, ada grand piano putih yang jarang ia mainkan, hadiah ulang tahun dari Papinya.

Tempat tidurnya berkanopi putih dengan tirai tipis, seolah tempat tidur putri kerajaan. Seprai satin biru muda terhampar rapi, dihiasi bantal-bantal kecil.

Citra melepas seragamnya, menggantinya dengan piyama lembut berwarna cream. Ia berjalan ke balkon kamarnya yang luas, membuka tirai besar, dan menatap keluar.

Dari sana, terlihat hamparan taman keluarga Mahardi yang tertata indah dengan kolam renang di ujung halaman.

Angin sore menyapa wajahnya. Tapi yang ia rasakan justru sepi.

“Orang-orang lihat rumah megah ini pasti mikir hidupku sempurna… Padahal rasanya kosong banget,” batinnya.

Citra berbalik, lalu menjatuhkan diri ke kasur empuk. Ia memeluk bantal, menatap langit-langit kamar. Kenangan masa SD saat teman-temannya menjauhi dirinya setelah tahu ayahnya kaya raya kembali menghantui.

Pelan, ia menarik selimut. “Besok… harus kuat lagi,” gumamnya lirih sebelum matanya mulai terpejam.

Chandelier di atasnya berkilau tenang, menemani kesendirian seorang pewaris muda yang berusaha keras menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya.

Citra duduk di tepi ranjangnya, jemarinya menyentuh bingkai foto yang selalu ia letakkan di meja nakas. Foto seorang wanita cantik bergaun putih sederhana, tersenyum hangat. Ibunya.

Matanya terasa panas. “Mami… andai Mami masih ada, pasti Citra bisa cerita semua. Tentang sekolah, tentang teman-teman, tentang hati Citra yang bingung. Sekarang… cuma bisa Citra simpan sendiri.”

Air matanya hampir jatuh ketika suara ART memecah kesunyian.

“Non Citra, ada telepon dari Tuan,” panggilnya dari luar kamar.

Citra buru-buru menghapus sudut matanya dengan punggung tangan, lalu menarik napas panjang. Ia bangkit, meraih telepon rumah yang sudah dibawa masuk oleh ART.

“Papi?” suaranya lirih.

Di seberang, suara berat nan hangat terdengar, sedikit serak karena lelah.

“Citra sayang… apa kabar sekolah hari ini?”

Hanya mendengar suara itu, hati Citra sedikit lega. Ia tersenyum samar meski tak terlihat.

“Baik, Pi. Citra tadi ikut OSPEK, capek sih… tapi seru.”

Tawa kecil Papi Mahardi terdengar. “Bagus. Papi tahu kamu anak pintar. Kamu pasti bisa hadapi semuanya.”

Citra menggigit bibirnya. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan—tentang Rachel yang mengusiknya, tentang Dion yang tiba-tiba perhatian, tentang rahasianya yang terus ia sembunyikan. Tapi lidahnya kelu.

“Pi…” suaranya bergetar pelan. “Kalau Citra capek… Citra boleh cerita ke Papi kan?”

Sunyi sesaat, lalu jawaban penuh kasih terdengar.

“Tentu sayang. Kamu nggak pernah sendirian. Walau Papi jauh, hati Papi selalu sama kamu.”

Mata Citra memanas lagi, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan hangat.

“Iya, Pi… makasih ya. Citra janji kuat.”

Setelah beberapa menit berbincang, telepon ditutup. Citra kembali menatap foto mamanya, lalu tersenyum samar.

“Mami, Papi selalu ada buat Citra. Jadi Citra harus bisa… harus kuat.”

1
Ical Habib
lanjut thor
Siti H
semangat... semoga sukses
Putri Sabina: maksih kak Siti inspirasi ku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!