Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. EFEK TRAUMA
Pagi merangkak masuk ke dalam kamar dengan lembut. Sinar matahari pertama menembus tirai tipis, jatuh di lantai kayu yang hangat, lalu merayap pelan ke ujung ranjang kecil tempat seorang bayi mungil tertidur. Udara masih menyimpan sisa dingin malam, namun cahaya keemasan itu membawa kesan damai yang sempat hilang semalam.
Olivia membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja menempuh perjalanan jauh dalam tidur yang gelisah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak tak beraturan.
Ia terdiam ketika menyadari posisi tubuhnya. Kepalanya masih bersandar pada dada bidang Davian Meyers, pria yang semalam tidak meninggalkannya walau sekejap pun. Ia masih duduk di kursi kayu besar di samping ranjang bayi, tertidur dengan kepala sedikit terkulai, napasnya teratur dan dalam.
Olivia menatapnya lama. Wajah Davian terlihat begitu berbeda ketika tidur. Garis tegas di rahangnya melunak, ketegasan yang biasanya menempel pada setiap geraknya kini mengendur. Ada sesuatu yang asing sekaligus menenangkan di sana.
Tatapannya kemudian beralih ke ranjang kecil. Cassandra tertidur pulas, pipi bulatnya kini tidak lagi merah seperti semalam. Demamnya sudah turun, pernapasannya lebih teratur, bibir mungilnya bergerak seakan mengisap udara dengan ritme halus. Jari-jari kecilnya terkepal, sesekali bergerak dalam tidurnya.
Air mata menggenang di mata Olivia. Sebuah rasa hangat memenuhi dadanya, bercampur dengan rasa takut yang belum juga hilang. Ingatan tentang malam penuh kepanikan kembali menghantamnya, bagaimana Cassandra menjerit dengan tubuh panas, bagaimana Olivia yang hampir menolak bantuan Davian, bagaimana panik membuatnya kehilangan kendali.
. "Aku hampir kehilanganmu lagi," bisiknya, suara bergetar nyaris tak terdengar. Olivia menutup wajah dengan telapak tangan.
Air mata jatuh, satu demi satu, membasahi jemari tipisnya.
Suara berat memecah keheningan. "Olivia?"
Olivia menoleh cepat. Davian sudah terbangun, sorot matanya masih mengantuk tapi penuh perhatian. Melihat wajah wanita itu yang basah oleh air mata, ia segera menegakkan tubuh.
"Kau menangis?" tanyanya lembut.
Olivia buru-buru menggeleng, namun suara tercekat di tenggorokannya. "Aku ... aku yang salah. Semalam aku hampir… hampir membahayakan Cassandra."
Pria itu menatapnya dalam, lalu perlahan mengulurkan tangan, menyentuh pundaknya dengan kehangatan yang membuat tubuh Olivia bergetar.
"Kau tidak salah, Olivia," ucapnya pelan, setiap kata menekan dengan penuh keyakinan. "Kau hanya seorang ibu yang takut kehilangan bayimu."
Olivia menunduk, bahunya berguncang menahan tangis.
Namun Davian belum berhenti. Suaranya menjadi lebih lembut, nyaris seperti bisikan, "Kalau ada yang harus meminta maaf, itu aku. Aku yang merenggut Cassandra dari pelukanmu semalam. Aku hanya takut sesuatu terjadi pada Cassandra semalam."
Kata-kata itu menghantam pertahanannya. Olivia menggigit bibir, dan sebelum ia bisa mengendalikannya, kalimat lirih lolos dari mulutnya.
"Maaf ...."
Davian menatapnya, matanya menajam namun tidak menghakimi. "Olivia?"
"Dia diambil dariku," bisiknya lagi. Suaranya pecah, lirih, seakan tiap kata mengiris luka lama yang masih terbuka. "Aku tak bisa melindunginya. Aku tak bisa ... menyelamatkan bayiku."
Air mata kembali mengalir deras. Setelah pengakuan itu, Olivia segera menutup mulut, menyesali ucapannya. Ia tidak berani menatap pria itu, takut melihat reaksi yang akan muncul.
Namun yang datang justru kehangatan. Davian meraih tangannya, menggenggamnya kuat tapi lembut. "Selama aku di sini, Cassandra akan aman."
Olivia menutup mata, membiarkan kalimat itu meresap jauh ke dalam hatinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa ada seseorang yang berdiri di sisinya.
Hari itu berjalan lambat. Matahari bergerak perlahan menembus awan tipis, menerangi rumah besar Meyers dengan kehangatan yang menenangkan.
Cassandra masih lemah, namun kondisinya jauh lebih baik. Olivia nyaris tidak beranjak dari sisi ranjang kecil itu. Dengan penuh kelembutan, ia mengganti pakaian bayi mungil itu, menyisir rambut halusnya dengan jemari, dan menyuapinya susu dengan sabar.
Emily beberapa kali masuk, menawarkan bantuan. Kadang ia membawa handuk kecil, kadang segelas air untuk Olivia. Namun pelayan itu tahu, apa yang paling dibutuhkan Olivia bukanlah bantuan orang lain, melainkan kesempatan untuk merawat anak itu dengan tangannya sendiri. Maka Emily hanya tersenyum, berdiri tidak jauh, sesekali mengawasi dengan mata penuh perhatian.
Davian lebih banyak mengamati dari jauh. Ia berdiri di ambang pintu, atau duduk di kursi, matanya tak pernah lepas dari dua sosok itu. Setiap kali Olivia menunduk dengan penuh kasih pada Cassandra, bibirnya melantunkan senandung pelan yang nyaris tak terdengar, atau matanya berkaca-kaca karena lega, Davian merasa dadanya ditarik semakin erat. Ada sesuatu yang tumbuh, yang tak lagi bisa ia abaikan.
Siang menjelang ketika waktunya memberi obat untuk Cassandra. Davian yang memegang botol kecil itu berjalan mendekat, lalu menyerahkannya pada Olivia.
Tangan mereka bersentuhan sekilas. Hanya sekejap, tapi cukup membuat keduanya terpaku.
Olivia menarik tangannya cepat, wajahnya memerah. Jantungnya berdetak kencang, seolah tubuhnya menolak keintiman itu meski hatinya bergetar. Davian sendiri menahan napas, memilih berpaling agar tidak memerburuk kecanggungan.
Namun getaran kecil itu tidak bisa diabaikan.
Bayangan masa lalunya masih menjerat, tapi di hadapan Davian dan Cassandra, ada secercah harapan yang pelan-pelan berani Olivia tatap.
Malam itu rumah besar keluarga Meyers seolah terbungkus oleh kesunyian yang pekat. Hanya suara jarum jam yang berputar di dinding dan desah angin malam yang menembus sela jendela menjadi saksi keheningan. Olivia tertidur di kamarnya, namun gelisah. Wajahnya pucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Sesekali tubuhnya bergerak resah, seolah berusaha melawan sesuatu yang tak terlihat.
Dalam tidurnya, mimpi buruk kembali menghantuinya.
Olivia berdiri di sebuah kamar yang kosong. Dinding-dindingnya putih pucat, tanpa jendela, tanpa pintu. Di sudut ruangan, sebuah buaian kecil bergoyang perlahan, menimbulkan suara berdecit yang menusuk telinga. Olivia berlari mendekat, hatinya berdegup keras.
"Cassandra?" panggilnya dengan suara parau, suaranya nyaris pecah.
Namun ketika ia menyingkap kain tipis di atas buaian itu, yang ia temukan hanyalah selimut kusut yang dingin. Bayinya tidak ada. Tidak ada tangis, tidak ada tubuh mungil yang biasanya menenangkan batinnya. Ruangan kosong itu bergema dengan ketakutannya sendiri.
"Tidak ... tidak ... jangan ambil dia dariku!" jeritnya dalam mimpi. Olivia meraih buaian itu dengan panik, mengguncangnya keras-keras, berharap tubuh kecil itu muncul kembali di sana. Tapi buaian itu hanya berayun tanpa arti, menghasilkan bayangan-bayangan mengerikan di dinding sekeliling.
Suara langkah berat terdengar dari balik kegelapan. Bayangan seorang pria muncul, wajahnya kabur namun sorot matanya dingin dan penuh amarah. Ia mendengar suara yang begitu familiar, suara Raymond, mantan suaminya, yang mencibir penuh kebencian.
"Wania tidak becus. Menjaga bayi saja tidak bisa. Kau membunuhnya!"
Olivia mundur, tubuhnya gemetar. Suara itu seperti cambuk yang mengoyak hatinya. Tangan Raymond yang hitam pekat seperti bayangan meraih buaian, dan seketika, buaian itu lenyap ditelan kegelapan.
"Tidak! Jangan bawa dia! Itu bayiku!" Olivia berteriak histeris, berlari mengejar, namun kakinya seakan terikat. Ia jatuh berulang kali, merasakan dingin menembus kulitnya, sementara suara tangisan bayi menggema di kejauhan, sayup, menjauh, hingga akhirnya menghilang sama sekali.
"CASSANDRA?!!"
Olivia terbangun dengan teriakan itu, napasnya tersengal, keringat deras membasahi seluruh tubuhnya. Matanya terbelalak, tapi pandangannya kosong, seperti masih terperangkap di antara mimpi dan kenyataan. Suara tangisnya pecah di kamar yang gelap.
Davian, yang tengah bekerja di ruang kerjanya, segera mendengar jeritan itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju kamar Olivia. Pintu didorong keras hingga berderit, memerlihatkan sosok wanita itu yang duduk di ranjang dengan tubuh gemetar. Kedua tangannya terulur ke depan, seolah berusaha meraih sesuatu yang tak ada di sana.
"Cassandra ... jangan ambil dia dariku ... jangan ...," isaknya berulang-ulang.
Davian segera menghampiri, duduk di tepi ranjang. "Olivia?" panggilnya lembut, namun tegas. "Ini aku. Kau aman di sini."
Namun Olivia terus bergetar, matanya berkaca-kaca, seakan tidak mengenali sosok Davian. Tubuhnya menegang, seolah masih dikejar oleh bayangan yang menakutkannya.
Tanpa ragu, Davian meraih kedua tangannya. Jari-jarinya hangat, kuat, namun tidak menekan, ia hanya ingin memberikan jangkar, sesuatu yang nyata untuk membawanya kembali. "Lihat aku. Olivia, dengarkan suaraku. Kau tidak kehilangan apa pun. Cassandra baik-baik saja."
Olivia menggeleng keras, air matanya jatuh tak terbendung. "Tidak ... aku melihatnya hilang. Aku mendengar tangisnya menjauh. Aku ... aku gagal melindunginya." Suaranya pecah, penuh dengan luka lama yang begitu dalam.
Davian menariknya ke dalam pelukan. Ia tahu kata-kata saja tak cukup. Olivia butuh sesuatu yang nyata, sentuhan, dekapan, kehangatan. Dan dalam pelukan itu, Olivia akhirnya melepaskan semua ketakutannya. Tangisnya meledak, menghujani bahu Davian. Tubuhnya gemetar hebat, seperti anak kecil yang kehilangan arah.
Davian membelai rambutnya dengan lembut, suaranya menenangkan. "Itu hanya mimpi buruk. Bukan kenyataan. Cassandra ada di sini. Dia aman. Aku bersumpah tidak akan ada yang bisa menyentuhnya, selama aku ada."
"Cassandra ...." Olivia menutup wajahnya di dada Davian, suara lirihnya hampir tak terdengar. "Aku tidak sanggup kehilangan dia. Aku tidak sanggup melalui neraka itu lagi."
Davian mengecup pucuk kepala Olivia, sebuah tindakan yang begitu spontan namun sarat makna. "Kau tidak sendiri lagi, Olivia. Aku tahu kau pernah terluka, tapi sekarang ada aku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu atau Cassandra. Aku janji."
Tangis Olivia perlahan mereda, meski tubuhnya masih tersengal karena sisa-sisa histeria. Ia bisa merasakan detak jantung Davian yang stabil di dadanya, sebuah irama yang menenangkan, menariknya kembali ke kenyataan.
Davian terus berbisik lembut, mengulang kata-kata yang sama berulang kali, kata-kata sederhana yang menjadi obat penenang bagi jiwa Olivia yang porak-poranda. "Kau aman. Cassandra aman. Aku di sini."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Olivia merasa ada seseorang yang benar-benar berdiri di sisinya. Bukan sekadar menyaksikan, tapi melindungi. Bukan sekadar hadir, tapi berjanji. Dan di dalam kehangatan itu, meski trauma masa lalu masih bersemayam, ia mulai merasakan sedikit kelegaan, seperti setitik cahaya yang menembus pekatnya kegelapan.
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi