"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Mencapai Batas
Serena terpaku, memandang wajah pucatnya di balik cermin. Terdengar helaan napas berat dari gadis itu, menandakan perasaannya yang tidak baik-baik saja.
Ya. Setelah menangis semalaman, dan larut dalam kesedihan, Serena terbangun dengan rupa yang begitu menyedihkan, terutama di bagian matanya yang terlihat sembap. Mau tidak mau, ia harus menutupi bekas kesedihan itu dengan memakai riasan tebal.
Sejujurnya, Serena muak dengan dirinya sendiri—terlalu rapuh, terlalu mudah terbawa perasaan, dan terlalu bergantung pada orang lain.
Tapi semua ini bukan tanpa alasan. Serena hanya ingin membuang rasa tidak percaya diri yang terus menghantuinya. Meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa dia adalah sosok yang berharga dan layak untuk dicintai.
Ketidakpercayaan diri itu lahir dari trauma masa lalu yang terpendam dalam diri Serena. Luka yang mengakar sejak ibunya—wanita yang seharusnya menjadi tempat untuk pulang dan tempat untuk berlindung ketika dunia tidak baik-baik saja—justru memilih pergi dengan pria lain. Seolah-olah, Serena tak pernah cukup berharga untuk dipertahankan dan menjadi alasan untuk tidak melakukan hal terlarang itu.
Lebih parahnya lagi, mereka bahkan hidup di bawah satu atap yang sama tanpa menjalin ikatan pernikahan yang sah, baik secara hukum maupun agama.
Setelah semua yang terjadi, Bagaimana mungkin Serena percaya bahwa dirinya berharga dan layak untuk dicintai, sedangkan orang yang seharusnya paling mencintainya justru pergi meninggalkannya?
Seakan tak cukup sampai di sana. Kini giliran Brian yang berulah.
Sosok yang menjadi harapan terakhir bagi Serena, turut mengambil bagian menoreh luka yang baru di atas luka lama yang belum sembuh.
Sakit yang selama ini berusaha ia kubur kini kembali menyeruak, mencabik-cabik sisa keyakinannya yang sejak awal sudah rapuh. Semua ketakutan yang selama ini menghantuinya kini menjelma menjadi kenyataan—bahwa ia memang tidak cukup berharga, tidak juga layak untuk dicintai.
Sekali lagi, Serena menghela napas panjang, mencoba menekan gejolak di dadanya. Berlarut-larut dalam luka tidak akan mengubah apa pun. Oleh karena itu, Serena memutuskan untuk pergi bekerja. Meski keadaannya sendiri tidak memungkinkan, setidaknya dengan bekerja, pikirannya bisa teralihkan.
Begitu langkah gontainya memasuki kantor, kedatangan Serena langsung disambut oleh Lila. Gadis itu menghampiri Serena, dan menyapanya dengan senyum ceria. Serena mencoba terlihat baik-baik saja, tetapi sepertinya itu tidak cukup untuk menipu Lila.
"Serena, kamu baik-baik saja?" tanya Lila dengan lembut dan penuh perhatian. Sementara itu, mata cokelatnya menelusuri wajah Serena yang terlihat kuyuh.
"Aku nggak apa-apa kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Serena sambil mengulas senyum di bibirnya. Akan tetapi, senyum itu gagal menyembunyikan kelelahan yang terpampang jelas di wajahnya.
Lila mendekat, memiringkan kepalanya dengan raut skeptis. "Serius? Kamu kelihatan pucat banget. Kalau memang nggak kuat, istirahat saja di rumah. Jangan maksain diri! Gimana kalo kamu nanti pingsan?!"
Sebelum Serena sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka, membuat keduanya menoleh seketika.
Adhan datang dengan wajah yang selalu serius. Tatapan matanya yang tajam itu langsung tertuju ke arah Serena. Membuat Serena meneguk ludah, merasa terintimidasi.
"Mbak Re, kamu sakit?" tanya Adhan tanpa basa-basi.
Serena cepat-cepat menggeleng. "Saya baik-baik saja, Mas."
Adhan menatapnya, tahu betul bahwa gadis itu sedang berbohong. Namun, ia memilih untuk berpura-pura percaya.
"Kamu yakin, kamu baik-baik aja? Tapi, wajahmu kelihatan sangat pucat."
Serena menundukkan kepala, menghindari tatapan Adhan. Ada rasa segan bercampur ketidaknyamanan dalam dirinya. "Saya hanya kurang enak badan saja, sepertinya masuk angin. Saya masih sanggup bekerja hari ini."
Adhan menghela napas panjang, menatap Serena dengan sorot khawatir. "Baik. Tapi kalau nanti Mbak Re ngerasa makin pusing atau nggak kuat lagi, langsung bilang sama Mbak Lila. Jangan memaksakan diri. Kesehatan kalian jauh lebih penting daripada pekerjaan di sini."
"Baik, Mas Adhan," jawab Serena pelan.
Sekarang Adhan tahu bahwa Serena adalah gadis yang keras kepala. Untuk saat ini, ia tak punya pilihan selain menuruti keinginan gadis itu. Nantipun, jika terjadi sesuatu pada Serena, dia yang akan bertanggung jawab sepenuhnya.
***
Waktu terasa berjalan lambat. Sejak tadi Serena berusaha untuk tetap fokus, tapi pikirannya terus saja melayang dan berputar-putar. Dia bisa merasakan hawa tubuhnya semakin memanas, udara yang keluar dari mulutnya juga seperti api yang membara. Serena merasa lemas, namun dia berusaha menahannya sampai waktu istirahat tiba.
Saat jarum jam akhirnya menunjukkan waktu istirahat, gadis itu akhirnya menyandarkan kepala di atas meja, dengan tangan sebagai bantalannya. Kini, dia sudah mencapai batasnya.
Biasanya Lila akan turun dari ruangannya yang ada di lantai dua ke tempat Serena berada. Seperti biasa, menghabiskan waktu istirahat dan makan siang bersama. Tapi, saat dia melihat posisi Serena sedang tertidur dengan kepala berbantalkan lengan, ia pun menjadi was-was, dan segera pergi untuk memberitahu Adhan apa yang terjadi, kemudian meminta izin pada atasannya itu untuk membawa Serena ke rumah sakit.
"Mas Adhan," panggil Lila setelah masuk ke dalam ruang tersebut. Adhan langsung menoleh ke arahnya. Dimas dan Baim yang juga ada di ruangan itu ikut menoleh.
"Serena ketiduran di mejanya. Tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. Saya izin keluar sebentar, mengantar Serena ke rumah sakit," ujar Lila dengan raut wajah khawatir.
Mendengar laporan Lila, Adhan langsung berdiri setelah meletakkan dokumennya di atas meja. Dengan langkah cepat, ia menuju ke tempat Serena berada.
Saat melihat Serena sedang beristirahat di mejanya, Adhan meminta Lila untuk memeriksa suhu tubuhnya. Lila pun menurut dan langsung menyentuh kening temannya itu dengan punggung tangannya.
"Panasnya tinggi sekali, Mas," jawab Lila setelah merasakan panas yang menjalar dari kulit Serena.
"Tolong bangunkan Mbak Re, terus bawa dia ke depan, saya mau ambil mobil dulu!"
Setelah memberikan intruksi tersebut, Adhan bergegas pergi keluar untuk mengambil mobilnya. Sementara itu, Lila berusaha membangunkan Serena.
"Serena, bangun. Kamu harus ke rumah sakit sekarang."
Serena membuka matanya dengan susah payah. Pandangannya kabur, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku nggak apa-apa ...," bisik gadis itu, tetap keras kepala meski tubuhnya sendiri mengatakan hal yang sebaliknya.
Lila menggeleng frustrasi, matanya menatap Serena dengan khawatir. Kali ini, dia berkata dengan lebih tegas, suaranya bergetar oleh emosi. "Kamu nggak baik-baik aja, Serena! Ayo, cepat bangun! Aku bantu, kita harus ke rumah sakit sekarang!"
Serena menatap Lila dengan pandangan sayu. Tubuhnya lemas, dan kepalanya terasa begitu berat. Dia tak tahu apa yang terjadi, dan hanya mengikuti Lila yang mulai membantu memapahnya.
Dengan begitu sabar dan penuh perhatian, Lila membantu menuntun dan memapah Serena, agar langkahnya tetap stabil.
Di depan kantor, Adhan sudah menunggu dengan mobilnya. Begitu melihat mereka keluar, ia segera turun dari mobil membukakan pintu belakang untuk Serena masuk ke dalam.
"Mbak Lila, kamu ikut dengan saya," perintah Adhan cepat sambil menutup pintu.
Lila segera masuk dan mendudukkan dirinya di sebelah Serena. Tak tega melihat keadaan Serena yang semakin lemah, ia pun meraih kepala sahabatnya itu dan membiarkannya bersandar di pangkuan.
Adhan menoleh ke arah Baim dan Dimas yang berdiri di samping mobil. Mereka juga terlihat khawatir. "Aku percayakan kantor pada kalian. Kalau ada apa-apa, segera beri kabar."
Baim dan Adhan menerima perintah tersebut tanpa komplen sama sekali, karena mereka tahu, keadaan Serena jauh lebih urgent saat ini.
Setelah meninggalkan pesan pada kedua sahabatnya itu, Adhan bergegas masuk ke mobil. Begitu mesin menyala, ia langsung melajukan kendaraan dengan kecepatan yang tidak biasa. Karena tujuannya saat ini cuma satu, tiba di rumah sakit secepat mungkin.
"Maaf ... sudah merepotkan kalian," gumam Serena di sela rintihannya.
Melihat keadaan Serena yang begitu mengkhawatirkan, Adhan hanya bisa mencengkeram kemudi dengan erat. Ketidaksabarannya untuk segera tiba di rumah sakit semakin menjadi-jadi. Ia menatap tajam ke arah jalanan yang ramai di depannya. Sesekali, ia melirik Serena melalui kaca spion. Dari sana, ia bisa melihat bagaimana Serena terlihat susah payah menarik dan mengembuskan napas. Matanya yang terkatup rapat menandakan bahwa gadis itu sudah mencapai batasnya.
"Kamu ini ngelantur apa sih, Re? Udah, mending kamu tidur aja dulu, daripada ngomong yang nggak jelas," omel Lila dengan suara bergetar. Dia paling tidak tahan melihat orang lain menderita, apalagi jika itu adalah Serena.
Serena tak menjawab apa pun, tapi wajahnya terlihat jauh lebih tenang. Napasnya perlahan melambat, seakan rasa sakit yang tadi menyiksanya mulai mereda. Lila pun menoleh ke arah Adhan dan berbisik, "Serena udah tidur."
Adhan mengangguk pelan. "Tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada dia harus menahan rasa sakit sepanjang perjalanan ke rumah sakit."
Begitu tiba di rumah sakit, Serena segera diperiksa oleh perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Seorang perawat mengecek suhu tubuhnya, denyut nadi, dan tekanan darahnya, sementara seorang dokter datang untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Demamnya cukup tinggi," ujar dokter tersebut sambil mencatat hasil pemeriksaan. "Kami akan memberinya cairan infus untuk mencegah dehidrasi dan melakukan beberapa tes untuk mencari penyebabnya."
Lila dan Adhan berdiri di dekat pintu, memperhatikan dengan wajah cemas. Lila menggigit bibirnya, sementara Adhan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
"Dok, apakah kondisinya serius?" tanya Adhan dengan nada khawatir.
"Sulit dikatakan sebelum hasil tes keluar," jawab dokter dengan nada menenangkan. "Untuk sementara, pasien akan kami rawat di ruang observasi agar kondisinya bisa terus dipantau. Jika tidak ada komplikasi, kemungkinan dia bisa pulang setelah demamnya mereda."
Mereka berdua mengangguk paham. Setelah semua prosedur awal selesai, Serena dipindahkan ke ruang perawatan untuk pasien dengan demam tinggi. Lila duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangan sahabatnya yang masih terasa panas.
Adhan menatap Serena sejenak, lalu beralih pada Lila. "Apa kamu tahu sesuatu, Mbak Lila?" tanyanya kemudian.
Lila menggeleng. "Tidak, Mas. Serena tidak bilang apa-apa padaku."
Adhan menarik napas panjang. "Baiklah ... Biarkan dia beristirahat dulu. Kalau kamu mau menemaninya, tidak masalah. Kamu bisa tetap berada di sini."
Lila tersenyum kecil. "Terima kasih, Mas Adhan. Aku akan menjaga Serena dengan baik."
"Saya mempercayakan Serena padamu, Mbak Lila. Saya harus kembali ke kantor sebentar. Kalau ada apa-apa dengan Serena, langsung hubungi saya segera."
Lila mengangguk dengan mantap. "Baik, Mas Adhan. Saya akan mengabari kalau ada sesuatu pada Serena."
Adhan menatap Serena sekali lagi sebelum melangkah keluar. Pintu tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Lila dalam kesunyian ruangan.
Beberapa saat setelah kepergian Adhan, Lila menghela napas panjang. Ia menatap wajah Serena yang masih terbaring lemah dengan raut khawatir sekaligus kasihan. Jemarinya menggenggam selimut tipis yang menutupi sahabatnya itu, seolah berusaha memastikan Serena tetap hangat.
"Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Re?" bisiknya lirih.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025