Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2
Jam terus berputar dengan cepat, dunia seketika berubah seperti ke dimensi lain.
"Uhuk ... uhuk ...!" Wulan terbangun dari bathtub, melihat air berubah menjadi merah darah. Ia segera bangkit dari dalam air, segera mengobati pergelangan tangan yang disayat.
Wulan menatap wajahnya di pantulan cermin, jemari menyentuh kulit dan sedikit memberikan cubitan. Sekarang tersadar sudah, ini bukan mimpi dan jiwanya berada di tubuh Livia.
"Wow ... rupanya anak orang kaya beneran. Tidak sepertiku banting tulang mencari uang, akhirnya bisa bersantai dan menikmati semuanya! Aaaaaa ...! Aku tidak capek-capek bekerja siang-malam. Memikirkan esok mau makan apa? Tunggu dulu. Bukannya aku sudah menikah? Aisss ... jangan peduli dengan suami, jauh lebih baik menyenangkan diri sendiri. Asik! Waktunya mengubah nama menjadi Livia," kata Wulan tersenyum smirk.
Wulan bernyanyi dan menari-nari dalam kamar ini. Ini adalah kehidupan yang diinginkannya sejak dulu.
******
Pagi itu terasa berbeda, seolah ada kehangatan yang mengalir di dalam diri Wulan. Tubuh ini mungkin milik Livia, tapi jiwa yang menggerakkannya adalah Wulan.
Segera setelah bangun, Livia menuruni anak tangga dengan penuh semangat. “Hari ini adalah awal baru,” pikirnya, sambil mencoba tersenyum santai. “Selamat pagi semuanya, harinya sangat cerah seperti hatiku,” sapanya riang.
Kata-kata itu meluncur dengan lancar, meskipun sejujurnya hati Livia terasa sedikit gugup. Ia tahu, ini adalah dunia yang sama sekali baru baginya, dan ada banyak yang belum dimengerti. Reaksi keluarga Livia?
Hanya kebingungan terpampang di wajah mereka. Livia menoleh ke kaca, langit mendung, hujan mungkin akan turun. “Ups,” ia baru sadar sesuatu tidak sinkron. Namun, ia tidak membiarkan itu merusak momentumnya. Ia melanjutkan, “Kenapa diam? Ayo, kita sarapan bersama. Aku lapar sekali! Rasanya seperti tidak makan selama tiga hari.”
Livia menatap mereka dengan senyuman, berharap suasana sedikit mencair.
Seorang wanita yang wajahnya sangat mirip ibu Livia menjawab, “Bukannya kamu mogok makan, Liv? Waktu dengar suamimu memperpanjang kontrak lima bulan lagi? Masa kamu lupa?”
Perkataan itu menghentikan langkah Livia sejenak. Perasaan asing berdenyut di hati—ini bukan emosi, tapi milik Livia. "Oh, jadi suaminya memperpanjang kontrak lagi, ya? Apa yang sebenarnya terjadi di keluarga ini?" batinnya penasaran, tapi ia hanya menatap wanita itu sambil tersenyum kecil.
“Ak-aku sudah berpikir dewasa sekarang,” kata Livia akhirnya, mencoba terdengar percaya diri. “Tidak ada gunanya melakukan hal seperti itu, kan?” Ia memaksakan senyum manis, meskipun jauh di dalam diri, otaknya terus bekerja untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. "Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Kehidupan seperti apa sebenarnya yang aku masuki?" batinnya bergemuruh.
"Seharusnya kamu sudah dewasa, Livia. Kamu mempunyai suami seorang kapten, setidaknya pahami siapa dia? Mama sempat kecewa dengan sikapmu yang kekanakan," sahut wanita di sampingnya dengan nada penuh teguran.
Livia terdiam, merasakan rasa malu perlahan merayapi pikiran. "Ak-aku minta maaf, Ma. Sebentar dulu, ponselku ketinggalan di atas. Lanjutkan makannya," jawabnya sambil mencoba mengalihkan perhatian.
Saat masuk ke dalam kamar, hati Livia berdebar. Rasanya seperti ia berada di dunia yang sama sekali asing. Nama-nama keluarga ini, wajah-wajah mereka, semuanya masih terasa seperti teka-teki yang harus dipecahkan.
Livia berjalan ke arah rak di sudut ruangan, mengeluarkan album foto lama dan mulai membuka halaman demi halaman dengan cemas. "Astaga!" desisnya perlahan, menemukan bahwa pemilik tubuh ini ternyata sangat tergila-gila pada suaminya. Foto-foto mereka berdua memenuhi hampir seluruh halaman album, lengkap dengan tulisan-tulisan romantis yang terkesan berlebihan. "Jadi, dia memang bucin akut," gumamnya sambil memutar mata.
Livia menarik napas panjang dan mencoba memfokuskan diri. Tidak hanya harus memahami kehidupannya, ia juga perlu menghafal nama-nama anggota keluarga, termasuk keluarganya dan keluarga suaminya. "Aku tidak boleh lupa satu pun nama mereka. Ini bukan hanya soal sopan santun, tapi juga tentang kelangsungan hidupku di tubuh ini," ujarnya pada diri sendiri. Meski sebagian rasa gugup masih menghantui, i mulai menuliskan nama-nama mereka di kepala, mencoba memastikan semua informasi ini melekat erat dalam ingatan.
Livia tahu betul bahwa kesalahan kecil, seperti lupa nama, bisa berakhir menjadi masalah besar. "Bagaimana aku bisa menghadapi mereka jika aku bahkan tidak tahu siapa mereka? Aku harus bisa memainkan peran ini dengan sempurna, setidaknya untuk saat ini," gumamnya pelan.
Livia kembali ke meja makan dengan senyum tipis yang sulit dimaknai. Mereka semua sudah hampir selesai menikmati sarapan pagi, membuat kehadirannya terasa seolah tidak terlalu diperhatikan.
"Maaf, aku tadi pergi sebentar. Selamat menikmati," ucap Livia pelan sambil berusaha terdengar biasa saja.
Di meja ini, ada wajah-wajah yang sudah sering Livia lihat, namun selalu memunculkan perasaan campur aduk dalam diri. Mama Livia bernama, Dara, duduk dengan ekspresi lembut seperti biasanya, tapi dari tangannya yang menyentuh kening Livia, dirasakan ada kekhawatiran kecil yang mungkin tidak sengaja ditunjukkan.
"Rekha, Tante Livia, mencoba menjaga ketenangan meja ini apakah kebiasaannya? Namun, apa kabar nenek? Lalu sepupuku, Jenifer dan Vanesha, yang dari dulu seringkali berpikir apakah mereka benar-benar tulus atau hanya memainkan peran," batin Livia.
Pertanyaan itu muncul kembali di benak Livia. Ia memaksakan senyum, berusaha menahan monolog internal yang ingin menguasai dirinya. "Apa mereka pernah memandangku sebagai aku? Atau hanya melihat tubuh ini sebagai seorang Livia yang mesti mereka ejek? Aku tahu cara mereka berbicara, tidak pernah betul-betul hangat—ada jarak, ada kepalsuan di balik setiap kata," gumamnya dalam hati.
"Livia, kamu baik-baik saja? Tidak sakit?" Suara Dara menginterupsi pikiran anaknya, membuat tersentak sebentar.
Livia menatapnya, mencoba merasakan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. "Apakah ia benar-benar khawatir? Ataukah ia mulai melihat perubahan dalam diriku yang tidak mampu kuhindari?" batinnya.
Namun, sebelum sempat menjawab, suara Jenifer memotong. "Ah, Tante, tidak usah heran sama tingkahnya yang aneh. Livia paling-paling mau cari perhatian biar suaminya cepat pulang. Klasik sekali." Komentar itu diikuti dengan senyum kecil yang menyebalkan, seperti duri kecil yang sengaja ditancapkan untuk menguji rasa sabar Livia.
Hati Livia menegang, tetapi Rekha segera menyelamatkan keadaan. "Husst ... jangan bicara seperti itu, Jeni. Bagus kok kalau Livia mulai jadi dewasa dan tidak manja lagi. Jangan dengarkan ucapan sepupumu itu."
Ada pembelaan di nada suaranya, tapi Livia tidak tahu apakah ia merasa lega atau hanya semakin penuh dengan kebingungan.
"Dan Mama seperti biasa, selalu membelanya," tambah Vanesha dengan senyum mengejek yang membuat dada Livia sedikit bergetar.
Livia mencoba tidak terpengaruh, tapi kata-kata itu membuatnya bertanya-tanya kembali. "Seperti apa sebenarnya tempat tubuh asli ini di antara mereka? Apakah Livia asli benar-benar bagian dari meja ini, atau hanya sosok yang mereka lihat sesuai dengan apa yang mereka mau?"
Livia menghela napas perlahan, lalu menatap kembali makanan di piring yang kini terasa lebih hambar daripada sebelumnya. Dalam dirinya, pertanyaan itu tetap berputar tanpa jawaban yang memuaskan. "Apakah pemilik tubuh asli ini, memang tidak akur dengan sepupunya?"
Livia mengunyah makannya, ini adalah makanan paling lezat dan mewah untuk sarapan pagi. "Seseorang berubah itu, ada kemungkinan karena lelah dan tidak dihargai. Makanya siap-siap akan kehilangannya untuk selama mungkin. Maafkan aku, Ma. Selama ini, aku terus merepotkan keluarga dengan sikapku. Tapi ... aku janji pada diriku sendiri mengubah semuanya."
Namun, kedua sepupunya malah cekikikan menahan tawa. Jelas mereka tidak mempercayai ucapannya.
Dara mengelus lembut pucuk kepala anaknya. "Lalu apa yang kamu lakukan sekarang? Aku ingin melihatmu berubah, buktikan semua itu dan jangan kecewakan keluarga ini."
Livia mengangguk pelan, sudah waktunya mengejar cita-citanya itu. "Dulu aku suka menari, bahkan menjadi guru menari. Aku harus memulainya dari hal yang kecil," batinnya tersenyum manis.
Rekha ikutan tersenyum mendengarnya. "Sepertinya menarik sekali, dengan tantangan berat ini dan membuatmu berubah. Apa kamu mau mencari pekerjaan?"