Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benar Dijodohkan
Tidak membutuhkan waktu lama, aku sudah tiba di sebuah bangunan tidak terlalu besar. Kedatanganku disambut oleh anak-anak yang berlari menyerbuku, memeluk, dan mencium. Di sinilah tempat keseharianku, tidak besar, tetapi sangat berarti bagiku.
Oh ya, ini tempat kerjaku sekaligus rumah keduaku. Sekolah non formal yang aku dirikan beberapa tahun lalu khusus untuk anak-anak spesial yang luar biasa semangatnya. Mereka anak-anak istimewa tang sebagian orang menyebutnya berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi spesialnya.
Namun, aku melihat ada masa depan yang cerah di mata mereka yang terang, berbinar, dan memberikan cahaya saat menatapku.
"Selamat pagi, Bu Dita."
"Selamat pagi, semua! Apa kabar?" jawabku dengan sunyi. Hanya menggunakan gerakan tangan, mereka gembira membalas pertanyaanku dengan gerakan tangan serupa karena seperti inilah cara berkomunikasi kami sehari-hari.
Sebuah komunitas tuli yang dibungkus menjadi sebuah sekolah khusus anak-anak tuli.
"Bu Dita hari ini cantik sekali!" ujar anak didikku yang laki-laki.
"Terima kasih, Abigail. Kamu juga tampan, anak-anak ibu, semuanya luar biasa, hebat!" pujiku. Semua anak berseru girang dan bertepuk tangan.
"Terima kasih, Bu."
"Terima kasih." ucap mereka dalam sunyi.
Sekali lagi, inilah keseharianku. Aku memang bekerja bukan untuk meniti karir, tetapi aku menyebutnya jika ini investasi. Aku sedang memperjuangkan harta yang sangat berharga. Masa depan anak-anak inilah yang aku kejar, mereka dengan potensinya yang membuatku memiliki masa depan dan termotivasi semangat menjalani hidup di setiap harinya.
Sebagian orang, mungkin menganggap mereka berbeda dari anak yang lainnya, tetapi bagiku mereka sama saja dan aku tidak mau mereka hilang kesempatan mendapatkan hak yang sama di dunia ini terutama mendapat pendidikan yang bermutu seperti pada umumnya.
"Bu Dita, ada proposal masuk untuk menjadi donatur sekolah kita. Tapi kita diminta memaparkan program sekolah kita."
"Darimana, Vik?" tanyaku pada Vika, adik tingkatku semasa kuliah yang kini sama-sama menjadi relawan untuk sekolah ini.
"Hem... iya, Mitra Siaga Company. lni satu grup sama rumah sakit mitra siaga itu, bukan?"
"Kayaknya iya," jawab Vika.
"Mereka menawarkan bantuan pendidikan kepada kita 5 juta per anak untuk setiap bulan untuk satu semester. Wow, ini sangat besar, Bu Dita!" pekik Vika sampai menutup mulutnya.
Aku mendekat padanya, benarkah ini? Selama ini belum pernah ada yang menawarkan bantuan biaya pendidikan semacam itu. Hanya berlalu lalang, donasi uang, buku, dan peralatan kelas.
Vika menyodorkan ponselnya padaku, dan aku membaca pesan dan proposal itu yang masuk melalui email sekolah.
"Tapi, Vik. Kita harus berhati-hati, jangan jadikan sekolah ini tempat pencucian uang. Kita harus memastikan ini, apalagi perusahaan besar begitu. Takut," ujarku pada Vika.
"Iya, makanya, Bu. Ini kita diminta datang ke kantor mereka untuk presentasi dan negosiasinya. Nanti kita sampaikan pertanyaan itu di sana," ujar Vika, dia terlalu bersemangat karena ada pihak yang mau menjadi donatur baru.
"Kapan ke sana?"
"Mereka mengundang kita lusa, Bu."
Aku memicingkan mata, sangat mendadak. Tapi, ya sudahlah semakin cepat semakin baik. Aku mengiyakan, dan meminta Vika mengirimkan surat balasan kesediaan berdiskusi.
Sekolah selesai di waktu 2 siang, semua anak-anak berhambur pulang ke rumah masing-masing. Tidak terasa hari berjalan begitu cepat tanpa terasa berat. Begitu pun anak-anak yang seakan menikmati kegiatan sekolah tanpa beban.
Saat berkemas, ponsel di mejaku bergetar, nama mama tertulis di sana.
"Halo, Assalamualaikum, Ma?"
"Waailaikumsalam, Dit, kamu dimana?" tanya Mama tiba-tiba.
"Di sekolah, Ma. Ini baru selesai ada kelas tambahan, terus mau ke bank habis ini."
"Gausah, besok aja. Sekarang pulang saja dulu, calonnya sudah ada di rumah."
"Calon?"
"Calon suamimu. Cepat pulang sekarang juga, ya! Mama tunggu, jangan lama-lama, Dit!"
"Ma, tapi..."
tut ... tut ... tut.
Baru saja kaki menginjakkan area ruang tamu, salam baru ku-uluk, tiba-tiba mama berdiri menghampiriku
Pak! Tepukan mengejutkan mengenai lenganku. "Kemana saja? Itu sudah ada bu Galih sejak tadi," mama menyerbuku begitu aku baru menaruh helm pada rak penyimpanan di dekat pintu masuk.
"Bu Galih? Mau apa?" bisikku pada mama.
"Bukankah sudah mama bilang akan menjodohkanmu dengan anaknya? Cepat salim," perintah mama seraya menggandengku mendekat pada tamu mama.
"Bu," sapaku ramah pada bu Galih yang duduk seorang diri sambil mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan satu satu telunjuknya.
Bu Galih lantas menyimpan ponselnya, ia menurunkan kakinya yang menyilang, dan memindahkan tas Hermesnya ke sisi yang lain.
"Eh, Moy! Sehat, Moy? Baru pulang ngajar?" tanya Bu Galih begitu aku mencium tangannya.
"Iya, Bu."
"Ini, waktu itu ibu kamu ngajak ngenalin kamu sama anak saya, Elham. Ingat, kan? Anak saya yang baru lulus S2 kemarin dari MIT, Amerika. Nah, dia pas pulang kemarin, saya ajak ke sini ternyata kamu masih di sekolah. Sekarang dianya sudah pergi karena urusan penting katanya," jelas bu Galih.
Aku tersenyum meringis, merasa bersalah. Meski begitu, tetapi mama tidak memberitahu lebih awal jika aku benar-benar akan dikenalkan dengan anak bu Galih. Bukankah mama baru mengatakan akan mengenalkanku dengan anak bu Galih tadi pagi? Kenapa bu Galih bilang sejak waktu itu?
Apa mama sudah menjomblangkan aku sejak lama? Sejak kapan beliau mulai menawarkan ke teman sosialita kompleks-nya itu?