Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23_Luka yang Tak Terhindarkan
Namira menahan napasnya. Dada sesak oleh rasa takut yang menggilas logikanya. Bima mendorong tubuhnya ke sofa, dan kali ini lebih kuat. Tangan Bima menindih tubuh Namira dengan kuat. Namun di tengah rasa panik itu, ada sesuatu yang menyalakan keberanian di dalam dirinya. Ia menatap sekeliling, mencari celah untuk bertahan.
“Kamu tidak bisa lari, Mir.” bisik Bima serak.
Nafasnya memburu.
“Kamu tahu kamu butuh aku.”
“Sekarang yang aku butuhkan hanyalah keluar dari neraka ini!” seru Namira dengan nada gemetar namun tegas.
Dalam satu gerakan cepat, Namira meraih lampu meja di sisi kanan sofa. Ia menggenggam benda itu dengan satu tangannya, dan tanpa berpikir panjang, ia mengayunkan sekuat tenaga ke arah kepala Bima.
BRAKK!
Bima mengerang keras, tubuhnya terdorong mundur. Lampu pecah di lantai, cahaya yang menyala padam seketika, menyisakan hanya napas berat dan suara hujan di luar jendela.
Kepala Bima memerah, darah mulai menetes dari pelipis kirinya. Ia memegangi bagian yang terkena pukulan, wajahnya meringis namun tetap menyiratkan amarah.
Namira bergegas bangkit. Kakinya gemetar, tapi ia berlari sekuat tenaga menuju pintu.
“Kamu pikir kamu bisa lari dariku, Mir?” teriak Bima di belakangnya.
Namira menabrak pintu kamar dan membukanya dengan panik. Nafasnya memburu, tubuhnya menggigil. Ia tidak peduli dengan gaun yang sedikit sobek, tidak peduli dengan sepatu yang nyaris terlepas. Ia hanya ingin keluar. Keluar dari jebakan ini.
Tapi takdir seperti sedang bermain gila. Tepat ketika pintu terbuka, seorang pria berjaket gelap dengan kamera tergantung di lehernya tengah berdiri di koridor. Seorang wartawan, yang terlihat hendak mengambil gambar suasana hotel untuk konten sosial media miliknya.
Matanya melebar saat melihat Namira dan Bima muncul bersama dalam kondisi kacau. Darah di pelipis Bima, gaun Namira yang tidak rapi, dan ekspresi ketakutan di wajahnya membentuk cerita yang berbeda di kepala sang wartawan.
Klik. Klik. Klik.
Tiga foto. Cukup untuk mengubah segalanya.
“Bukan seperti itu!” seru Namira refleks, namun si wartawan sudah berbalik arah, berlari menuruni koridor dengan kamera di tangannya.
Namira mencoba mengejarnya, tapi Bima yang mulai sadar segera menarik bahunya dari belakang. Ia mendorong Namira ke dinding.
“Kamu pikir kamu menang?” desis Bima.
“Sekarang, semua orang akan percaya kamu menghabiskan malam bersamaku.”
Namira menatapnya dengan amarah yang membakar.
“Kamu iblis.”
Bima menyeringai, lalu mundur.
“Tidak, aku hanya orang yang tahu caranya melawan.”
Namira tidak menjawab. Ia kembali berlari menuruni tangga darurat, keluar dari hotel dalam kondisi tubuh basah oleh hujan malam dan jiwanya yang koyak oleh rasa ngeri.
***
Pagi itu, dunia berubah.
Judul-judul utama portal berita menayangkan skandal yang mengejutkan. Foto-foto dari koridor depan kamar hotel muncul dengan berbagai spekulasi.
Namira Maxzella Kepergok Menginap Bersama Mantan Tunangan: Skandal Perselingkuhan Berkedok Amal Perusahaan?
Bima dan Namira: Cinta Lama Bersemi Kembali?
Keluarga Maxzella Terguncang, Reputasi Terancam Runtuh!
Sean duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponsel dengan rahang mengeras. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya matanya yang memancarkan ketenangan palsu, ketenangan yang sebenarnya telah runtuh sejak malam kemarin.
Nafasnya berat. Ia tidak butuh penjelasan panjang untuk tahu bahwa ini lebih dari sekadar salah paham.
Ketika Namira pulang, langkahnya pelan dan wajahnya lebih pucat dari biasanya. Begitu matanya bertemu Sean, ia berhenti. Mereka tidak langsung bicara. Hanya saling menatap dalam keheningan yang menusuk.
“Aku bisa jelaskan,” suara Namira pelan.
Sean mengangguk.
“Aku tidak bertanya.”
“Tapi kamu pasti bertanya dalam hati.”
Sean memalingkan wajah, “yang kutanyakan sekarang hanya satu... kamu baik-baik saja?”
Namira nyaris menangis. Itu bukan pertanyaan yang ia harapkan. Tapi itu pertanyaan yang paling menyakitkan, karena kelembutan Sean terasa seperti tamparan bagi rasa bersalah yang ia simpan.
“Aku berusaha.”
Sean berdiri. Ia berjalan ke dapur, mengambil segelas air, lalu menatap keluar jendela. “Media sudah menggila pagi ini. Kamu tahu itu, kan?”
“Aku tahu.”
“Kamu tidak memberi tahu aku semalam. Kamu pergi tanpa memberi tahu.”
Namira menunduk, “karena aku takut.”
“Takut padaku?”
“Takut membuatmu terbebani.”
Sean menghela napas.
“Aku mungkin bukan siapa-siapa di matamu. Mungkin hanya kurir paket biasa yang kamu selamatkan dari jalanan. Tapi jika kamu memilih membawaku ke dalam hidupmu, lalu menahanku di antara kebohongan dan ketakutan, maka kamu telah menjadikanku lebih dari sekedar kurir.”
Namira menatapnya, air matanya jatuh perlahan.
“Aku tidak ingin kamu terluka, Sean.”
“Tapi aku sudah terluka, Namira. Bukan karena media. Tapi karena kamu tidak percaya bahwa aku cukup kuat untuk berdiri di sampingmu.”
Namira hanya bisa menahan beban tekanan batin yang merongrongnya. Disaat malam dimana Namira berkutat menyelamatkan diri dari lumpur. Justru pria yang dicintainya, tak ingin mendengar apapun dari mulutnya.
***
Di ruang rapat perusahaan Maxzella, suasana kacau. Para petinggi sibuk merundingkan strategi krisis. Para analis panik melihat grafik saham yang menurun drastis pagi itu. Para investor mulai menghubungi manajemen, menuntut klarifikasi.
Om Rudi memukul meja.
“Apa-apaan ini! Namira memalukan keluarga! Barusan usai skandal video Papanya, sekarang muncul skandal baru!”
Bu Mirna hanya duduk terpaku, wajahnya kehilangan warna. Arman Maxzella tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya menatap layar laptopnya, menyaksikan nilai saham turun perlahan tapi pasti. Angka-angka merah menghantam harga dirinya lebih dari yang bisa ia akui.
Sementara itu, Namira duduk di kamar, sendirian. Ia memandangi ponselnya, ratusan notifikasi masuk. Beberapa sahabat menanyakan keadaannya, beberapa karyawan kantor berbicara di belakangnya, dan sisanya… hanya komentar tajam dari publik yang terlalu mudah menilai dari satu gambar.
Namira memejamkan mata. Ia ingin semuanya berhenti. Ingin semuanya kembali ke masa ketika ia hanya seorang perempuan biasa yang mencintai buku, musik, dan kopi.
Tapi hidup telah mengubahnya dan sekarang, ia sedang berdiri di jurang antara kehancuran dan keberanian. Ia meraih ponsel, menulis satu pesan singkat.
Sean, jika kamu masih ingin tahu kebenaran, aku siap bicara. Kali ini tanpa menyembunyikan apa pun.
Di luar kamar, hujan kembali turun. Tidak selebat semalam, tapi cukup untuk membuat dunia terasa sunyi. Di layar televisi ruang tamu, nama Namira terus disebut. Saham Maxzella jatuh. Reputasi keluarga terguncang dan Namira… kini berada di ujung kekuatan, dengan hanya satu harapan tersisa: bahwa mungkin, kejujuran bisa menyelamatkan semuanya sebelum terlambat.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.