Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awan mendung
..."Janji palsu itu terkubur tanah dengan kasih sayangnya"...
...•...
...•...
"Ibu udah ninggalin kita."
"Nggak apa-apa, masih ada bapak. Bapak bakal temenin kamu sampai kapanpun dan sukses, buktikan kepada teman-teman yang suka jahatin kamu kalau kamu itu bisa."
"Tapi aku takut, Pak. Gimana kalau ak-"
"Shtt. Jangan bicara hal aneh-aneh. Kalau ada apa-apa bilang aja ke bapak dan jangan sampai kamu putus asa. Lagian, Awannya juga cerah. Kamu nggak mau jalan-jalan sama bapak?"
Sebuah senyuman terbit dan menarik tangan si bapak keluar dari rumah sederhana tersebut. Cuaca yang indah untuk jalan-jalan. Maksud dari Awannya yang cerah adalah kondisi mood sang bapak, bukan langitnya.
Namun, suara alat berdecit elektrokardiogram tersebut menampilkan hanya sebuah garis hijau bahwa detak jantung dari Kurniawan berhenti.
Aza terduduk lemas di lantai saat Farhan mengatakan bahwa bapaknya telah tiada. Tiba-tiba Aza pingsan begitu saja dan langsung diangkat oleh Farhan menuju ruang pemeriksaan untuk diperiksa.
Refleks, Garrel juga kaget saat melihat Aza terduduk di lantai dan pingsan begitu saja. Ia akan menghampiri gadis tersebut. Tapi tangannya ditarik oleh Sean untuk masuk ke dalam ruangan Rania setelah memberikan izin bahwa teman-temannya boleh masuk, Naufal langsung memberitahukannya kepada teman-temannya agar memasuki ruangan.
Farhan merasa iba menatap keadaan Aza yang terletak lemas. Ini hanya pingsan, tapi bisa berdampak pada otaknya. Bapak Awannya, alias Kurniawan sudah dipindahkan di tempat khusus jenazah. Sementara keluarga satu-satunya pingsan di dalam ruangan Farhan. Walaupun dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebuah air mata turun dari mata Aza yang terpejam.
Penglihatan buram, kepala pusing, lemas, itulah yang Aza rasakan sekarang. Ia membuka matanya melihat sekeliling. Farhan berada di sisinya dengan wajah sedihnya melihat putri pasiennya yang ikut menjadi pasiennya pula.
"Bapak saya mana, Dok?" tanya Aza turun dari tempat tidur dengan sedikit sempoyongan.
"Kamu istirahat aja, orang tua kamu sudah dipindahkan ke.... ruang jenazah."
Aza justru langsung keluar ruangan dan mencari tempat tersebut. Ia memegangi tembok koridor rumah sakit dengan menatap ke arah tulisan-tulisan di atas pintu. Secara tidak sengaja, ia berpapasan dengan Kezia yang sama-sama melewatinya dengan Arsa dan Arden yang Kezia gandeng. Setelah menemukannya, Aza langsung membukanya tanpa ba-bi-bu. Ia melihat seorang perawat yang sedang berada di samping Kurniawan dan menutup tubuh bapaknya, lalu pergi.
Sebuah kain putih menutupi seluruh tubuh bapak Awannya. Aza membuka kain tersebut dan langsung menangis saat itu juga. Apa ia akan sebatang kara sekarang?
Tidak memiliki orang lain untuk menjadi temannya, ataupun seseorang yang bisa ia ajak bicara selain bapaknya. Namun sekarang, tubuh laki-laki yang ia cintai telah tiada dan hanya raganya saja yang berada di depan matanya. Mata yang selalu menyalurkan tatapan kehangatan, senyuman menenangkan, tangan ternyaman yang selalu mengelus kepalanya telah diambil sang pencipta.
Aza menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya di sisi ranjang dengan isakan tangisnya. Ia merasa sangat ceroboh dan bersalah. Ini salahnya yang meninggalkan Kurniawan di bangku pinggir jalan karena ia akan membeli minuman untuk bapaknya. Tapi saat bapaknya melihat gadis kecil yang sedang mengejar balon ke jalan raya. Kurniawan langsung beranjak dan akan menarik gadis tersebut karena ada sebuah truk yang melaju kencang ke arahnya.
Kedua es yang berada di tangan Aza langsung terjatuh dengan derap kaki Aza yang menghampiri Awannya tergeletak di sisi jalan karena tertabrak dan terkena benturan bagian depan truk. Kepala dengan darah yang terus bercucuran, bibir yang mengeluarkan darah pula, dan pandangannya mulai buram saat melihat putri yang ia jaga tanpa istrinya yang dipanggil sang pencipta itu berlari ke arahnya dengan air mata yang berjatuhan.
Kurniawan meraih pipi Aza untuk mengusapnya, tapi rasa sakit yang melanda membuat ia tidak sadarkan diri. Saat itu juga, Aza langsung menggenggam tangan Kurniawan dengan erat dan menangis. Banyak orang-orang menghampirinya untuk membantu dan memanggil ambulans.
Kini, Awan cerah itu menghilangkan dan tergantikan dengan awan mendung yang entah akan sampai kapan. Suara isakan itu Aza tahan dengan merapatkan bibirnya walaupun matanya terus-menerus mengeluarkan cairan yang tidak ia sukai. Satu kalimat yang ada di otak Aza. Yaitu, "Aku ingin menghilang dari sini."
Pikiran Aza sangat berat. Hidup sebatang kara, tidak memiliki teman karena takut untuk bersosialisasi, uang sekolah untuk kelanjutannya nanti harus bagaimana?
Hidup dalam kesendirian. Walaupun banyak orang, tapi terasa kesepian.
"Apa harus bunuh diri?" gumam Aza.
...••••...
"Lo masih ingat cewek yang sama lo di taman vila dulu?" tanya Garrel dengan suara pelan dan menyenggol bahu Zea.
"Aza? Kenapa?"
"Gua lihat tadi dia pingsan dan dibawa dokter Farhan ke ruangannya."
"Terus? Kok dia pingsan? Emang ada apa?"
"Samar-samar tadi gua denger kalau orangtuanya nggak ada."
Zea membulatkan matanya. "Lo yang bener aja!"
"Beneran."
"Ngomongin apaan sih kalian? Kok pada bisik-bisik." Arzan menatap Zea dan Garrel berganti. Ada banyak orang di ruangan, tapi mereka berdua justru berbisik-bisik yang membuat orang di sekitarnya sedikit terusik.
"Nggak ada," jawab Garrel mengalihkan pandangannya.
"Namanya jadi siapa, Om?" tanya Sean.
"Stefania Agatha Kiarra," jawab Fino tersenyum menggendongnya putri kecilnya. "Dipanggil Agatha aja."
"Tapi aku panggilnya Kia, simple," balas Naufal.
"Iya, deh. Terserah."
"Sat-set ya, Om? Baru lahir udah langsung ada namanya," kata Sean.
Garrel melirik Zea yang berada di sebelahnya dan menyenggol pelan bahu gadis tersebut secara terus-menerus yang membuat sang empu terusik dengan sikapnya. Terlihat jelas di sana, wajah Zea mulai kesal dengan mengatup bibirnya. "Apaan sih lo?"
...••••...
Sebuah pemandangan laut terlihat jelas dari rooftop rumah sakit yang tengah sepi. Seorang gadis tersenyum menatap lurus ke depan dengan matanya yang berair. Ia menggenggam ponsel yang dibelikan dengan jerih payah dan keringat dengan tersenyum miris. Menatap langit-langit yang cerah dengan meremas benda pipih tersebut.
"Aku hidup juga nggak guna, nggak ada tujuan, cuman kesepian."
Gadis tersebut menatap nanar di bawanya. Walaupun kakinya sedikit bergetar, ia tak akan getar untuk turun kembali. Justru ia akan mengambil langkah untuk lebih dekat dengan ujung atap. Setelah setengah dari kakinya tidak menginjak sesuatu. Gadis tersebut memejamkan matanya dan mulai menjatuhkan diri ke depan.
"AZA!!"
Aza membuka matanya saat merasakan kakinya ditarik seseorang. Teriakkan Zea membuatnya tersadar dan melihat ke bawa yang sangat tinggi. Ia mulai menangis kembali karena ketakutan dan memohon kepada Garrel agar laki-laki itu cepat-cepat menariknya.
"Jangan liat aneh-aneh!" kata Aza.
"Nggak aneh kok. Cuman dikit," jawab Garrel mengalihkan pandangannya karena baju Aza sedikit tersingkap.
"Tutup mata lo!" titah Zea.
"Yaelah, gua nggak lihat, beneran! Suer! Tapi kalau lo minta gua tutup mata, terus gimana gua bisa lihat keadaan nih bocah?"
Zea menghela nafasnya dan ikut membantu Garrel. Padahal, tubuh Aza sangat ringan untuk Garrel. Bahkan seperti mengangkat Arsa baginya. Tubuh Aza yang kecil mungil, tapi tidak dengan otaknya. Garrel seakan-akan menarik Aza dengan enteng dan mengangkat tubuh gadis tersebut untuk meletakkan di atap, lalu menyandarkannya.
"Lo nggak apa-apa?" Tangan Aza masih bergetar dengan meremas ujung bajunya. "Lo kenapa sih?" tanya Garrel.
Zea spontan menarik kerah baju Garrel dari belakang untuk menyuruhnya mundur. "Kamu nggak apa-apa, Za?"
Aza menggeleng. Mulutnya keluh seolah-olah tercekat dan tidak bisa mengucapkan sesuatu, alias terbungkam. Garrel yang peka terhadap keadaan Aza langsung mendekat kembali dan akan memeluknya. Tapi suatu tindakan membuat pipinya panas secara tiba-tiba.
Aza menampar pipi Garrel hingga kemerah-merahan. Garrel sontak membulatkan matanya dan menatap Aza dengan sorot mata menahan amarahnya. Ia langsung beranjak dengan mengelus pipinya ke pintu sebelumnya saat ia keluar. Mengapa Aza melakukan hal tersebut? Karena ia tidak pernah sedekat itu dengan lawan jenisnya.
Zea mendekati Aza dan mengelus rambut surai itu. "Kenapa? Kalau ada sesuatu cerita aja, cuman ada kita berdua aja di sini."
Dan benar saja, Aza langsung celingak-celinguk melihat sekitarnya yang sepi dan hanya ada tanaman-tanaman pot kecil saja. "Bapak aku baru aja meninggal, Kak."
Aza kembali meneteskan air matanya dan meremas lengan Zea. "Aku udah nggak punya siapa-siapa, tujuan aku juga udah ancur. Cita-cita yang ingin tercapai juga batal."
"Kenapa?" sahut Zea. "Kamu jangan putus aja, Za. Mungkin ini cobaan untuk kamu agar lebih kuat lagi, dan jangan pernah punya pikiran buat bunuh diri. Kamu tau? Orang yang putus asa itu pengecut. Kamu mau jadi pengecut? Gunakan apa yang ada dalam diri kamu dan kembangkan untuk punya kehidupan yang lebih baik dan juga membuat diri kamu berharga dengan cara kamu sendiri."
Aza menundukkan kepalanya dengan isakan tangisnya. Tidak tertinggal, tangannya masih meremas pergelangan tangan Zea. "Aza... jalan kamu itu masih panjang. Jangan pernah punya pikiran untuk hal buruk ini. Tapi kembangkan yang ada di sini." Zea memegang kedua bahu Aza.
"Dari mana kakak tau kalau aku di sini?"
"Cowok yang kamu tampar tadi yang beritahu, namanya Garrel. Dia yang liat kamu nangis di koridor setelah dokter ngasih tau keadaan bapak kamu. Kayaknya Garrel khawatir sama kamu. Dia tadi bolak-balik nanyain petugas buat cariin kamu sampai sini. Bahkan sampai kakinya sakit kesandung tangga waktu naik ke sini."
Aza terdiam saat mendengarnya. Perlakuannya sangat buruk dan keras terhadap Garrel yang justru menyelamatkan hidupnya. Andai saja tadi terlambat, mungkin ia sudah tiada mengikuti jejak orangtuanya. Ia semakin dalam menundukkan kepalanya. Rasa bersalah mulai menyelimutinya dengan rasa takut serta khawatir dengan kehidupan selanjutnya, semuanya bercampur aduk dengan tidak rata.
Laki-laki yang tadi Aza tampar tampak memendam amarahnya. Maka dari itu, Garrel menjauh agar tidak menyemprotkan suatu hal buruk hanya untuk pelampiasan. Dia laki-laki baik, tapi hatinya sensitif jika main tangan. Aza meremas tangannya dan mengangkat kepalanya menatap Zea.
"Dia... tadi kemana?"
...••••...
...TBC....