Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Harusnya tadi aku tabrak aja! Bikin emosi," gerutu Wina sambil menyeruput es kopinya. "Tapi serius deh, Sha... kenapa dulu kamu bisa suka sama orang kayak dia?"
Mereka duduk di sudut kafe Master Coffee, tempat yang hangat dengan aroma kopi yang menenangkan. Shanaya hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Senyum yang tipis, namun sarat dengan ironi.
Kenapa dulu ia jatuh cinta pada Reno? Padahal hidup bersamanya seperti menelan pil pahit setiap hari. Ia bertahan habis-habisan, berharap segalanya berubah. Tapi nyatanya? Yang tersisa hanya kelelahan dan luka yang tak kunjung sembuh. Kini, ia hanya bisa menertawakan dirinya sendiri—pahit.
"Sudahlah," ucap Shanaya pelan namun mantap. "Lagian, surat cerai udah dikirim. Sekarang aku bebas."
"Yesss! Itu baru namanya hidup!" sahut Wina dengan semangat, senyumnya lebar seperti kemenangan kecil. "Sekarang fokus ke yang penting. Kita mau ketemu CEO perusahaan SM, ingat? Masa depan masih panjang, pikirin yang bisa bikin kamu bahagia."
"Benar juga," Shanaya mengangguk, berusaha menguatkan diri. Ini jalan yang sudah ia pilih. Suka atau tidak, ia harus berani melangkah.
Ia mengangkat cangkir cappuccino kesukaannya, menyeruput pelan, mencoba menikmati rasa pahit-manis yang menenangkan. Tapi belum sempat menaruh kembali cangkirnya, Wina menyikut pelan lengannya.
"Sha, tengok jam dua belas. Yang pakai kemeja putih... itu CEO-nya."
Masih dengan buih kopi di bibir dan cangkir di tangan, Shanaya menoleh perlahan ke arah yang dimaksud.
Begitu melihat sosok pria itu, matanya langsung membelalak. Jantungnya seperti berhenti sejenak.
"Dia... dia, Win? Kamu serius?" bisiknya nyaris tak terdengar. Ia langsung meletakkan cangkir kopi dan menghapus sisa-sisa buih itu.
"Kenapa? Ganteng ya? Keren banget, kan?" sahut Wina polos dengan senyum penuh kekaguman.
Wina tak tahu apa-apa tentang masa lalu antara Shanaya dan pria bernama Sadewa itu. Tanpa curiga, ia melangkah ceria menghampiri klien mereka.
"Halo, Pak Alex! Wah, nggak nyangka ketemu di sini," sapa Wina ramah pada pria muda di sebelah Sadewa.
"Wina! Kebetulan sekali. Kamu sama siapa?" Alex melirik ke sampingnya. "Oh iya, kenalin. Ini Sadewa."
Wina langsung tersenyum, bahkan sempat melirik ke arah Shanaya sambil memberikan jempol. "Halo, Pak Dewa," sapanya sambil mengulurkan tangan.
Namun, Sadewa hanya melirik sekilas. Tak ada reaksi. Tangannya tetap di saku, wajahnya datar. Apalagi melihat shanaya dalam hati ia berkata, "Kenapa bisa dia lagi. Apa dunia ini sesempit ini?"
Wina hanya tertawa kecil. Ia sudah sering dengar soal reputasi Sadewa yang dingin, terutama pada wanita. Ia pun segera menarik Shanaya agar berdiri di sampingnya.
Shanaya tampak gelisah. Tangannya sibuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, sebuah kebiasaan lamanya saat gugup. Dalam hati berdoa semoga Sadewa bisa berpura-pura tidak mengenalnya, atau setidaknya tidak pernah mempermasalahkan tentang masa lalu mereka.
"Pak Alex, Pak Dewa, kenalkan. Ini Shanaya," ucap Wina dengan senyum bangga.
"Oh, jadi ini Bu Shanaya, sekretaris fenomenal dari Alhadi itu ya?" Alex menyambut dengan hangat sambil mengulurkan tangan. "Salam kenal."
"Salam kenal, Pak," sahut Shanaya dengan senyum sopan, menjabat tangan Alex.
Setelah itu, Shanaya mencoba mundur. Tapi Wina cepat-cepat menarik tangannya.
"Mau ke mana? Target kamu ada di depan mata. Kenapa malah kabur?"
Kata-kata itu cukup keras, sampai terdengar oleh Sadewa yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki itu memicingkan mata, menatap Shanaya dengan dingin dan sinis. Lalu akhirnya ia bicara ia melihat Shanaya mengulurkan tangan dan berkata,
"Shanaya."
Namun, Sadewa masih tak ada respon, bahkan tidak ada tatapan yang layak diberikan.
Shanaya hanya mendengus pelan lalu menarij tangannya dengan canggung. Dalam hati ia mencibir, Dasar komodo.
Suasana jadi canggung seketika. Tapi Wina, seperti biasa, cepat mengambil alih.
"Pak Dewa, saya dengar Bapak sedang mencari sekretaris baru, ya? Gimana kalau Shanaya saja?"
"Nah, saya setuju," sahut Alex cepat. "Bu Shanaya ini saya dengar sangat kompeten. Pas untuk posisi itu."
Sadewa menoleh perlahan ke arah mereka, lalu menjawab dengan dingin, "Kalau Pak Alex suka, silakan rekrut sendiri. Saya tidak suka."
Setelah berkata begitu, ia langsung melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Alex menatap Wina sejenak, lalu menggeleng pelan. "Maaf ya, saya ikut dulu. Dia partner penting saya."
Wina terdiam. Shanaya menggigit bibir bawahnya, menahan rasa yang sulit dijelaskan, antara marah, sakit hati, dan malu.
“Sha…” panggil Wina lirih.
“Gak apa-apa, Win. Aku ke kamar mandi sebentar. Habis ini kita pulang, ya,” balas Shanaya dengan nada pelan, mencoba tegar meski jelas suaranya bergetar.
Begitu Shanaya pergi, Wina yang kesal melangkah cepat menuju meja Sadewa dan Alex. Tanpa basa-basi, ia menepuk meja mereka, cukup keras untuk menarik perhatian tapi tetap sopan.
“Pak Dewa,” ucapnya tegas. “Kalau memang Bapak gak suka sama Shanaya, gak perlu bersikap seolah dia tak pantas. Lagian Bapak baru ketemu dia sekali, kan?”
Sadewa hanya menatapnya datar, ekspresi tak suka jelas tergambar di wajahnya.
“Apa salahnya kalau seorang janda melamar jadi sekretaris Bapak? Yang penting kualitas kerjanya, kan?” lanjut Wina, suara meninggi karena emosi.
“Apa yang kamu bicarakan?” sahut Sadewa datar.
“Saya bicara kenyataan,” balas Wina. “Shanaya punya pengalaman hampir sepuluh tahun sebagai sekretaris. Kompeten, profesional, dan selalu menyelesaikan tugas dengan sempurna. Jadi apa yang membuat Bapak gak suka? Statusnya sekarang? Karena dia janda?”
Sadewa terdiam. Kalimat itu menggores pikirannya. Janda? Ia mengernyit, seperti menimbang kembali semua asumsinya selama ini. Apa mungkin… selama ini dia salah paham?
Namun alih-alih menjawab, ia justru membuang napas kasar dan berkata singkat, “Caranya salah.”
“Maksudnya? Karena ketemu Bapak langsung hari ini?” Wina menggaruk kepala, canggung tapi tetap berdiri tegak. “Pak, sebenarnya Shanaya gak mau datang ke sini. Saya yang maksa. Dia lebih memilih melamar lewat jalur resmi. Tapi saya... saya yang paksa dia ikut hari ini. Kalau Bapak gak percaya, silakan cek sendiri.”
Sadewa mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, matanya menatap kosong ke depan, mencerna ucapan Wina. Tak lama kemudian, tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dan berjalan menjauh, langkahnya cepat menuju arah kamar mandi.
Sementara itu di kamar mandi...
Shanaya baru saja keluar dari kamar mandi saat langkahnya terhenti. Dua pria asing berdiri di hadapannya, wajah mereka tampak familiar—mereka adalah dua lelaki yang sempat membuntutinya dua hari lalu.
“Ka... kalian,” gumam Shanaya pelan, tubuhnya menegang, jari telunjuknya terangkat menunjuk mereka.
Salah satu dari pria itu menyeringai. “Halo, cantik. Akhirnya kami menemukanmu lagi.”
“Kalian… orang suruhannya Reno, ya?” tanya Shanaya, nadanya gemetar namun tegas.
Pria satunya tertawa pendek. “Tepat sekali. Pak Reno bilang, kami harus membawamu pulang. Kalau kamu menolak... ya, kami boleh pakai cara lain.”
Tatapan mereka berubah menjadi mengancam. “Termasuk cara yang menyenangkan buat kami,” bisik yang satu lagi, licik.
Shanaya mundur satu langkah, napasnya memburu. Matanya melirik ke sekitar, berharap ada seseorang, siapa saja yang bisa menolong.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔
itu jodohmu, Shanaya🤭