Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ilusi Misterius
Malam semakin larut, angin dingin berhembus pelan menyapu pepohonan di sekitar jalur sungai Kinara. Kedua burung Garudyn hitam yang ditunggangi Banu dan Bani terbang rendah, menyusuri aliran sungai yang tenang. Suara sayap mereka yang menderu perlahan teredam oleh gemericik air, membuat kehadiran mereka nyaris tak terdengar.
Banu memegang erat bungkusan kain bercorak yang berisi Batu Zato yang tersimpan di dalam saku jubahnya. Ia sesekali menoleh ke arah Bani, memastikan bahwa adiknya tetap mengikuti dari belakang. Meskipun tidak ada kata yang terucap di antara mereka, tatapan mata mereka cukup untuk saling meyakinkan satu sama lain bahwa tugas ini harus berhasil.
Setelah beberapa saat terbang, mereka akhirnya mencapai pinggiran hutan Wulang. Dari kejauhan, terlihat sebuah bayangan besar duduk di atas batu besar di lereng Gunung Sembuyan. Itu adalah Fonda Ono, seseorang yang harus ditemuinya malam itu.
"Turun," ujar Banu kepada burungnya, dan dalam sekejap kedua Garudyn itu meluncur perlahan, lalu mendarat di dekat Fonda Ono. Banu dan Bani segera melompat dari punggung burung mereka, kemudian membungkuk hormat kepada pria itu.
"Fonda Ono," sapa Banu dengan suara rendah namun penuh rasa hormat. "Kami membawa apa yang Anda minta." Udara malam yang dingin tidak mengurangi ketegangan yang terasa di antara mereka. Banu membuka bungkusan kain bercorak itu, lalu menyerahkan Batu Zato kepada Fonda Ono dengan hati-hati.
Fonda Ono mengamati batu-batu Zato itu, memandangnya dengan tatapan penuh misteri dan bersiap untuk menyimpannya di kanton jubahnya. Namun belum sempat ia melakukan hal itu, sebuah bayangan berkelebat sangat cepat ke arah mereka, seperti hendak merebut bungkusan batu itu.
“Awas!” teriak Fonda Ono kepada Banu dan Bani, ketiganya segera menghindar dari serangan sosok bayangan itu. Sejurus kemudian, sosok itu berhenti beberapa langkah dari mereka.
“Siapa kau!” bentak Fonda Ono kepada sosok itu. Namun sosok itu hanya diam membisu, Fonda Ono segera memasukkan bungkusan itu kedalam jubahnya, sementara Banu dan Bani berdiri dengan posisi siaga.
Sosok bayangan itu memakai jubah berwarna hitam, sedangkan wajahnya tersembunyi dibalik kain yang menutupi mukanya. Ia nampak tak bergeming mendengar gertakan Fonda Ono, dan dengan gerakan sangat cepat tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang Fonda Ono, belum sempat Fonda Ono membalikkan badannya, sebuah totokan terdengar menusuk pundaknya, ia terpatung tak mampu bergerak, dan dalam sekejap mata, bungkusan itu berpindah tangan.
Melihat peristiwa yang berlangsung begitu cepat, Banu dan Bani seperti tertegun tak mampu berbuat apa-apa, hinga akhirnya sosok itu kembali melesat cepat meninggalkan mereka bertiga yang belum sempat melakukan perlawanan.
Banu dan Bani hanya saling tatap, melihat Fonda Ono yang masih berdiri mematung tak bergerak sedikitpun, matanya melotot seperti menahan amarah dan sakit.
“Bagaimana ini, Bani?” tanya Banu.
“Kita harus melepaskan pengaruh totok itu dulu kak” jawab Bani
“Oh, iya betul kata kamu.” Kata Bani tergagap seolah baru menyadari apa yang seharusnya dilakukan. Mereka berdua segera menolong Fonda Ono, dengan gerakan yang terarah, mereka melepaskan totokan pada tubuh Fonda Ono. Tubuh Fonda Ono seketika oleng dan lemas, mereka berdua segera memapahnya dan mendudukkannya di atas batu besar tadi. Setelah dirasa Fonda Ono dapat menguasai dirinya, tubuhnya yang semula menegang perlahan mulai mengendur dan bisa bergerak kembali, dengan nafas yang masih terengah-engah Fonda Ono mencoba berdiri dari duduknya, namun kelihatannya tenaganya belum sepenuhnya pulih kembali, oleh karena itu ia kemudian terduduk lagi.
“Maafkan aku, Banu, Bani” kata Fonda Ono, dengan nafasnya yang masih belum stabil ia meneruskan ucapannya: “sosok itu begitu kuat dan cepat, aku tak mampu mencegahnya.” Sesal Fonda Ono mengingat kejadian yang baru dialaminya.
Banu dan Bani masih belum bisa mengerti mengapa kehadiran mereka bisa diketahui oleh orang lain, karena setahu mereka, rute perjalanan yang ditempuh sudah sesuai dengan arahan ibu mereka, dan yang megejutkan lagi adalah dengan mudahnya Fonda Ono dapat dipecundangi oleh sosok misterius itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Di dalam kekalutan itu, Banu dan Bani berjalan agak menjauh dari Fonda Ono yang masih terduduk di atas batu besar itu. Mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang hampir tidak bisa didengar oleh Fonda Ono.
“Bani, “ kata Bani kepada Banu. Banu menatap Bani dengan tatapan siaga mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh saudaranya itu.
“Apa kau juga merasa ada sesuatu yang ganjil?” tanya Bani.
“Iya, Banu.” Jawab Bani seperti menangkap makna dari pertanyaan Banu.
Mereka berdua tidak segera melanjutkan pembicaraannya, keduanya nampak menganggukkan kepalanya masing-masing, sepertinya sedang menyusun sebuah rencana yang tidak boleh diketahui oleh Fonda Ono. Kemudian mereka kembali mendekati Fonda Ono yang duduk di atas batu besar itu.
Tanpa diduga-duga dengan gerakan yang sangat cepat, Banu dan Bani melanyangkan pukulannya ke arah Fonda Ono, tidak ada gerakan apa-apa yang ditunjukkan oleh Fonda Ono, dirinya seperti pasrah mendapat serangan mendadak dari kedua orang itu. Begitu pukulan mereka tepat mengenai tubuh Fonda Ono, seketika tubuh itu hancur, melebur menjadi butiran putih seperti kapas yang berterbangan, dan tak lama kemudian butiran putih itu lenyap di telan angin.
Betapa terkejutnya Banu dan Bani mengetahui bahwa sosok Fonda Ono yang menemui mereka itu hanyalah ilusi dari bayangan palsu, mereka saling pandang untuk sesaat setelah mengetahui bahwa mereka telah tertipu dengan ilusi itu.
Setelah bayangan ilusi itu lengyap, beberapa saat kemudian di kejauhan nampak kerlip cahaya terbang rendah dan mendekat ke tempat mereka berdiri. Semakin lama kerlipan cahaya itu semakin jelas, dan sesaat kemudian jelaslah bahwa kerlipan cahaya itu berasal dari cahaya Lesung Orembai yang dinaiki oleh Fonda Ono. Mereka segera mengenali lesung itu milik Fonda Ono, karena orang itu sudah beberapa kali mengunjungi pusat produksi Lesung Orembai di kampung Londata yang dikelola oleh keluarga mereka.
Setelah Lesung Orembai itu mendarat, nampak Fonda Ono turun dari kendaraannya, dan berjalan ke arah mereka.
“Oh,.. kalian sudah menunggu ya?” tanya Fonda Ono tidak tahu apa yang baru saja terjadi.
“Dimana barang itu?” tanya Fonda Ono selanjutnya, Banu dan Bani nampak saling pandang, tidak tahu harus mengatakan apa. Melihat gelegat yang mencurigakan itu Fonda Ono langsung dapat menangkap bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa Banu?, Ban?” tanya Fonda Ono
“Maafkan kami, Fonda.” Jawab Bani sambil menundukkan kepalanya, demikian juga Banu, ia melakukan hal yang sama.
Kemudian Banu dan Bani menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami, Fonda Ono mengerutkan dahinya, pikirannya menerawang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Baiklah, Banu, Bani, “ujar Fonda Ono, “ini bukan kesalahan kalian, “ Fonda Ono terdiam sejenak, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang penting. “Jelas sekali kalian tidak menyadari bahwa sebenarnya langkah kalian telah tercium oleh orang lain, dan dari cerita kalian itu, “ kembali Fonfa Ono menghentikan ucapannya, sepertinya ia tidak ingin salah dalam mengambil kesimpulan.
“Apa yang barus saja kalian alami, adalah, “ kata Fonda Ono sambil menatap kedua mata anak itu dengan tatapan yang tajam, “Akibat pengaruh ilusi yang diciptakan oleh seseorang yang mempunyai kemampuan tinggi, “ ia terdiam sejenak, “namun aku kurang yakin dengan perkiraanku.” Kata Fonda Ono.
“Siapa orang itu Fonda?” tana Banu.
“Kemungkinan besar orang itu adalah Arung Matoa.” Jawab Fonda Ono
“Arung Matoa?” tanya Banu sambil menatap Bani, sepertinya mereka berdua belum mengenal sosok yang disebutkan oleh Fonda Ono itu. Melihat kebingungan dari kedua mata pemuda itu, Fonda Ono kemudian menjelaskan bahwa Arung Matoa adalah tokoh sakti yang sudal lama menghilang dari dunia Loka Pralaya.
“Mengapa Fonda yakin jika orang itu adalah Arung Matoa?” tanya Bani kemudian.
“Melihat ilusi yang membuat kaliann terpedaya, “ jawab Fonda Ono, “Ilusi itu terlihat sangat nyata, dan hanya Arung Matoa yang mampu menciptakan ilusi sehalus itu,” Fonda Ono terdiam sesaat, “Beruntung kalian hanya diperdaya dengan ilusi itu, “ kata Fonda Ono.
Banu dan Bani semakin penasaran karena ucapan Fonda Ono itu.
“Beruntung?” tanya Bani penasaran.
“Iya, sebab jika Arung Matoa benar-benar ingin mencelakakan kalian, pasti dia akan menyeret kalian ke sebuah ilusi yang lebih dalam dari itu, yaitu ke dalam alam mimpi yang tak berujung, “ Jawab Fonda Ono, “dan kalian tidak akan bisa keluar selamanya.” Pungkas Fonda Ono.
Mendengar jawaban Fonda Ono, kedua pemuda itu nampak bergidik, mereka baru menyadari siapa yang mereka hadapi baru saja. Kemudian Fonda Ono meminta Banu dan Bani untuk kembali ke kampung Londata dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya, sedangkan ia sendiri akan kembali ke Padang Gandeswara, negeri Klan Gendhing untuk menyusun rencana selanjutnya. Mereka bertiga segera meninggalkan tempat itu, Lesung Orembai milik Fonda Ono kembali mengangkasa menuju ke arah timur, sedangkan kedua pemuda itu menaiki burung Garudynnya masing-masing terbang ke arah utara, menuju kampung Londata.