Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berjuang Melupakan
Masih jelas tergambar dalam ingatan, kata kata indah Muchsin yang terakhir kalinya,
"Lin, aku akan datang lagi, membawa semua keluargaku untuk meminangmu. Kamu sabar ya. Gak akan lama kok. Beri aku waktu untuk mempersiapkan dengan baik. "
"Beneran kamu janji mas? "
"Iya. Inshallah aku datang. Tapi saat ini aku gak bisa lama ya Lina. Aku mampir sebentar tadi dari Surabaya dan Ini mau meeting lagi ketemu rekan bisnisku."
"Meeting dimana? Boleh aku ikut? " tanya Alina percaya diri.
Namun Muchsin menolak. Ia nampak gugup. Sayangnya Alina tak mampu melihat sikap Muchsin yang mencurigakan. Hati dan pandangannya tertutup rasa cinta yang sedemikian besar.
"Maaf Lin, ini khusus untuk para lelaki saja. Kapan kapan kamu pasti aku kenalkan dengan kawan kawanku. Tapi untuk hari ini, maaf aku belum bisa."
Alina pun mengangguk lesu. Namun tetap tersungging senyum di wajahnya. Tak berapa lama Muchsin berpamitan. Ia mencium tangan bu Anik, ibu Alina. Dan terakhir membiarkan Alina mencium punggung tangannya.
Saat itu firasat Alina tak enak. Ia pun berkali kali mengirim chat setelah mereka berpisah. Hari itu pukul lima sore, chat terakhir Alina tidak dibaca lagi oleh Muchsin.
'Oh mungkin lowbat. ' prasangka baik Alina. Tetapi sampai malam hari handphone Muchsin mati. Bahkan sampai keesokan harinya. Alina hanya mendoakan calon suaminya itu agar hatinya lebih tenang. Seminggu, dua minggu, sebulan, waktu berganti dan hingga hari itu telah dua tahun lamanya Muchsin hilang bak ditelan bumi.
Alina bahkan sempat mencari keberadaannya di Surabaya, tetapi alamat yang diberikannya ternyata palsu. Tak ada nama Muchsin disana. Hati Alina seperti diremas jika ingat semua kenangan singkat bersama Muchsin. Rindunya telah membatu. Dan seolah olah pintu hatinya karatan sehingga sulit dibuka lagi.
Bayangan bayangan yang terus berkelebat itu semakin membuat air matanya terus menetes. Alina tidak sadar sampai sesenggukan. Sehingga ketika punggungnya diusap seseorang ia spontan menjerit kaget.
"Aaaaahhhhhh........!!! " Alina terbelalak. Ia pun spontan terduduk.
"Astaghfirullah Linaaa...., ngagetin aja sih" Bu Anik tiba tiba terloncat sambil memegangi dadanya.
"Ibuuuu..... Ibu yang ngagetin aku.... hiks... " Alina mengucek matanya yang terasa perih karena menangis berjam jam.
"Kamu udah sholat Magrib, Nak? " tanya ibunya tiba tiba.
"Haahhh?!?! Jam berapa ini Bu? "
"Udah jam enam lebih. Buruan bangun, magrib kok tidur. " Bu Anik masih mengomel pada Alina dan bukannya menghibur putri satu satunya itu. Dan langkahnya justru menjauh dari kamar putri satu satunya itu.
Alina menarik nafas panjang sambil duduk di pinggir tempat tidur. Rupanya ia ketiduran sambil menangis mengingat kekasih hatinya yang sudah dua tahun meninggalkannya. Beranjak perlahan ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu.
Dalam sujudnya ia meminta agar dirinya mampu melupakan Muchsin dan bisa membuka hatinya untuk orang lain yang dia harap lebih baik darinya.
Tepat selesai berdoa ia mendengar adzan Isya berkumandang, dalam hatinya merutuki dirinya sendiri yang tertidur sore hari menjelang malam sehingga nyaris terlambat sholat. Meski termasuk gadis modern, Alina termasuk yang rajin beribadah karena didikan keras ayahnya almarhum dan ibunya yang menurutnya tidak pernah menyayanginya.
Malam itu yang biasanya ada makan bersama antara Alina, Bu Anik dan Adik Alina yang bernama Rudy, harus absen karena Alina yang kehilangan mood gara gara peristiwa tadi pagi bersama Marsudi.
"Kakakmu kenapa Rud? " tanya Bu Anik sambil mengambil nasi dan lauk untuk dirinya sendiri.
"Gak ngerti Bu. Tadi pagi sih dijemput ama kawannya cowok pas banget berangkat bareng aku juga ke kampus."
"Siapa? Pernah kesini? "
"Kayaknya belum Bu. Aku baru lihat orangnya. Gak sempat kenalan juga. Tapi kayak udah dewasa gitu, meskipun postur nya agak kurang seimbang sih kalau sama Mbak Lina. " Rudy sambil menyuap nasi.
Bu Anik manggut manggut dan mereka berdua akhirnya menghabiskan makan sambil bercerita sambil lalu tentang peristiwa hari itu.
Sementara Alina yang sama sekali tidak merasa lapar ia enggan keluar kamar sekedar bergabung dengan ibu dan adiknya. Ia tentu saja malu karena matanya bengkak habis menangis seharian. Sehingga ia putuskan selesai sholat Isya lebih baik berbaring lagi dan pergi tidur.
Lampu kamar sudah ia matikan ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.
Tok...... tok...... tok.....
"Mbaaa.... mau makan gak? " terdengar suara Rudy.
"Nggak Dek..... disimpan aja makanannya." Alina berteriak.
Dan sudah tidak terdengar lagi suara Rudy di depan kamarnya. Biasanya setelah makan malam anggota keluarganya masuk kamar masing masing dan lanjut beristirahat hingga keesokan harinya. Alina memutuskan bangun lagi, mendamaikan hatinya dengan mengaji sampai terbit rasa kantuknya.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih