NovelToon NovelToon
Pembalasan Istri Lemahku

Pembalasan Istri Lemahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Paksa / Tukar Pasangan
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Fitri Elmu

Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mencari Raga

"Serasi, bukan?"

Suara Aksa membuyarkan keterkejutannya. Pria itu melangkah dan berhenti di sampingnya. Tatapannya juga sama tertuju ke pigura tersebut. Bersidekap dengan smirk di bibirnya. Yang menurut Laras memang sangat menyebalkan. Apalagi, pria itu menoleh ke arahnya, dengan lengkungan yang mengejek. Bahkan, Aksa kini mencondongkan tubuh ke arahnya. Laras sampai terkesip, dan reflek memundurkan wajahnya.

Melihat reaksi Laras, Aksa terkekeh. Tersenyum puas. Puas membuat gadis itu mati kutu. Dengan santainya, pria itu menarik wajahnya kembali. Menegakkan tubuhnya seperti posisi semula. Memasang wajah tanpa dosa. Seolah tindakannya tadi tak berarti apa-apa.

"Kita memang menikah. Tapi, jangan harap pernikahan yang layak," ucapnya dengan netra tertuju ke pigura.

Laras kembali mendongak. Apa maksudnya? Di foto itu jelas-jelas dirinya -- ah, ralat, seseorang yang mirip dirinya -- merangkul lengan si pria dengan senyum bahagia. Tak layak darimananya? Pernikahan itu terlihat seperti kebanyakan pernikahan yang diharap-harapkan.

"Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan."

Aksa berbalik. Memegang kursi roda yang dipakainya.

"Tunggu!" Cegahnya saat Aksa hendak mendorong kursi rodanya. Dan pria itu mengurungkan gerakannya.

"Kenapa gak lo jelasin aja. Gue capek mikir, kebanyakan teka teki."

Tapi memang kepalanya pusing. Gak ada secuil pun jawaban yang dia inginkan. Situasi ini membuat kepalanya serasa mau meledak.

"Yang jelas tidak ada yang mengharapkan pernikahan ini. Sudahlah, lagipula kamu tidak ingat diriku, kan? Anggap saja begitu."

Aksa hendak mendorong kursi rodanya, tapi lagi-lagi Laras menyela.

"Gue bisa sendiri. Tunjukin aja dimana kamarnya, ntar gue kesana."

Aksa mengangguk. Melepas pegangannya dari kursi roda.

"Itu kamarmu," menunjuk pintu berwarna krem. "Dan selama ini kita pisah kamar. Hanya, saat mama dan papa kesini, kita baru berpura-pura mesra."

"Kenapa?"

"Karna cuma mereka yang menghendaki pernikahan. Bukan kita."

Laras mengangguk faham. Baguslah. Begitu malah lebih baik. Setidaknya dia gak perlu khawatir Aksa akan macam-macam padanya.

Setelah menjelaskan, Aksa berlalu. Tinggalah dirinya, yang kini kembali memandangi poto di pigura. Mengela napas panjang. Dia menyerah. Menyerah atas penafikan kalau mereka berbohong tentang hubungannya dengan Aksa.

Mungkin, dugaannya benar. Saat ini nyawanya tengah tertukar dengan si pemilik tubuh ini.

"Kasian banget elo, ya, nikah sama cowok nyebelin macam dia," Laras memberi simpati. Meski berat hati, dia harus mengakui, kalau yang dianggapnya gak masuk akal ini nyata dia alami.

"Kira-kira, lo sekarang nyasar dimana ya? Apa jangan-jangan kita tukeran tubuh kayak di film-film itu? Tapi, wajah kita aja mirip. Mama pasti ngiranya lo itu gue. Yah, sama kayak nasib gue disini sih. Cuma bedanya, elo ketemu sama mama yang sayang banget sama gue. Gak kayak gue, kejebak nikah tanpa cinta. Sialnya, cowoknya nyebelinnya gak kira-kira," keluhnya, setengah menggerutu.

Laras memutar kursi rodanya. Menuju kamar yang ditunjukkan Aksa padanya tadi. Dia butuh istirahat. Dia harus segera sehat, supaya bisa memastikan sendiri di rumahnya, nanti.

.

.

Selama beberapa hari pengamatan Laras, Aksa tidak seburuk itu. Maksudnya, pria itu hanya datar dan irit bicara. Mungkin pernikahan mereka tidak sekejam yang dia bayangkan. Maksudnya, dia sempat berfikiran kalau Aksa ini melakukan kdrt. Penyebab si pemilik tubuh ini terbaring di rumah sakit 'kan gara-gara terjatuh dari tangga. Gak salah dong, kalau dia mencurigai, Aksa lah penyebabnya. Tapi syukur deh, kalau itu cuma dugaannya. Nyatanya, sejauh ini, dia gak mengalaminya.

Kondisi tubuhnya perlahan membaik. Dia bahkan sudah bisa jalan tanpa kursi roda lagi. Sebenarnya, kakinya gak separah itu sih. Kursi roda hanya untuk memudahkan gerakannya tanpa merepotkan Aksa. Ya kali ... daripada dipapah pria itu, mendingan dia pake kursi roda aja. Aman.

Selain dirinya dan Aksa, di rumah ini juga ada bi Imah, asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah. Tapi bi Imah tidak menginap. Beliau pulang ke rumahnya setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Seenggaknya, Laras ada teman ngobrol, selama Aksa ke kantor. Oh, ya, Laras baru tahu kalau Aksa yang mengurus perusahaan papanya yang disini. Dia anak tunggal. Sementara papanya lebih memilih mengurus perusahaan cabang. Kalau melihat sudut pandang sementara, bisa dibilang Bunga adalah wanita beruntung. Punya suami tampan dan kaya dan juga mertua yang sayang padanya. Yah, harus dia akui, Aksa memang tampan. Meski dingin, dan sering menyebalkan.

"Anterin gue pulang," ucap Laras tiba-tiba, di tengah kegiatan sarapan.

Aksa yang tengah menyantap makanan, mendongak. Hanya sekilas, kembali melanjutkan kunyahannya.

"Tidak sekarang. Aku ada urusan penting," sanggahnya.

Laras mendecih. "Alesan. Lo kan udah janji buat nganterin gue. Gimana sih? Janji doang, tapi gak ditepati."

"Kamu tidak dengar, aku ada urusan?"

Laras merotasikan bola matanya.

"Ya udah, gue bisa pergi sendiri. Lagian, gue inget jalan ke rumah."

"Keras kepala. Aku bilang, jangan sekarang."

"Terus kapan? Ngelarang mulu, tapi gak ngasih kepastian. Aneh."

Laras menggerakkan bibirnya, manyun. Bahkan, sejak tadi makanannya masih utuh. Dia malas menyantapnya. Rasa penasaran, membuatnya tidak berselera makan. Rasanya ingin cepat-cepat memastikan sendiri. Sekaligus mengecek tentang dugaannya atas keberadaan Bunga di rumahnya. Siapa tahu beneran mereka tukeran jiwa.

"Kalau emang gak mau anter, ya jangan salahin, kalau gue beneran kesana sendiri. Lagian gue berani."

Aksa menyorotnya dingin. "Tunggu aku. Nanti siang aku jemput."

"Bener? Gak janji doang?" Sindir Laras.

"Terserah apa katamu. Tapi jangan harap aku jadi mengantarmu, kalau sampai kamu belum bersiap."

"Lah, kalau lo gak jadi juga, gak masalah. 'Kan gue bisa pergi sendiri," Laras mengangkat alisnya, cuek.

"Lo lupa perjanjian kita?"

"Perjanjian? Apaan?" Kernyitnya. Tapi, demi melihat seringai Aksa, tiba-tiba bulu kuduknya bergidik. Merinding. Kok dia ngerasa, kalau perjanjian yang di maksud bakal merugikan dirinya.

"Oke ... oke. Gue tungguin. Jam berapa?" ujarnya, cari aman.

"Jam satu. Harus sudah siap."

Laras manggut-manggut. Kirain lebih pagi dari itu.

"Dan jangan ngasih tahu mama."

Laras menggerutu pelan. "Iya ... iya. Banyak amat sih larangannya."

"Satu lagi ...." Aksa menggantung kalimatnya. Menatap lekat gadis di depannya itu.

Laras menopang dagunya. "Apa?" Seakan mengejek Aksa, yang palingan mau ngasih larangan lagi. Atau, malah ancaman (?)

"Jangan kaget, kalau nanti gak sesuai dengan ekspektasimu."

"Oh." Gitu doang. Laras mengangkat bahunya. Cuek. Dia mah gak berekspektasi jauh. Orang dia cuma mau mastiin kalau si pemilik tubuh ini jiwanya juga tengah terperangkap di tubuhnya.

Ruang makan kembali sepi. Aksa menyelesaikan makannya. Laras juga. Selera makannya kembali. Dia sudah mendapat kepastian.

Selesai makan, Aksa beranjak pergi. Jangan harap ada selingan romantis. Aksa langsung keluar, sementara Laras menyantap sarapannya. Deru mobil terdengar menjauh. Dan Laras hanya melihat sekilas dari meja makan.

.

.

Sesuai janjinya, pukul setengah satu, Aksa pulang. Laras yang mendengar deru mobil Aksa memasuki halaman, berjengkit kaget. Buru-buru mengganti bajunya sambil merutuk. Dasar gak on-time. Janji jam satu, eh setengah satu sudah datang. Gak konsisten namanya.

Bener-bener definisi apa adanya. Laras bahkan menguncir rambutnya asal. Tanpa memoles bedak ataupun lipstik. Langsung berlari keluar, sebelum membuat Aksa berubah pikiran.

Dia hampir saja menabrak Aksa di depan pintu. Untung aja rem kakinya berfungsi dengan baik. Berhenti tepat beberapa senti, sebelum mulus menghantam dada keras itu. Aksa nampak terkejut, dengan kemunculan Laras yang tiba-tiba. Ditambah dengan ekspresi tanpa dosa gadis itu.

"Udah siap, nih," ringisnya lebar.

Aksa mengamati penampilan Laras. Kaos oversize, dan rambut dikuncir asal. Wajah polos tanpa sapuan make up. Aksa tertegun beberapa saat.

"Malah diem. Ayo!"

Laras semangat melangkah lebih dulu. Tidak mau ambil pusing dengan sikap aneh Aksa, yang saat ini bahkan masih memperhatikannya. Beberapa detik kemudian, sudut bibir pria itu tertarik, menyeringai tipis. Memasukkan sebelah tangannya ke kantong celana, dan melayangkan tungkai panjangnya. Menyusul gadis di depannya.

.

.

Aksa melirik gadis di sebelahnya. Yang sedari tadi bersenandung berisik. Benar-benar berbeda.

"Kenapa? Keberisikan ya? Salah sendiri, mau nyetel lagu aja gak dibolehin," cibir Laras, mendapati tatapan Aksa padanya.

Pria itu menyeringai. Memfokuskan pandangannya ke depan.

"Kamu yakin, rumah itu benar rumahmu?" Aksa menoleh sekilas.

"Yakin dong. Kenapa enggak? Dua puluh tahun gue tinggal disana."

Aksa manggut-manggut.

"Ntar lo jangan kaget ya, kalau ada yang mirip sama gue disana."

Aksa menoleh. Mengernyitkan dahi.

"Aah, jadi gimana ya jelasinnya." Laras menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Gini," dia mencondongkan badan ke samping.

"Gue bukan Bunga, istri lo. Nama gue Laras. Itu poin pertama."

"Eh, jangan ketawa, anying," kesal Laras, melihat Aksa menarik sudut bibirnya.

"Lalu?" Aksa menaikkan sebelah alisnya. Menahan tawa. Omong kosong apa yang akan di katakan oleh gadis di sebelahnya ini.

"Haish, dasar nyebelin," gerutu Laras.

"Gue ini Laras. Waktu itu gue joging di taman. Ada anak-anak main sepak bola. Dan bolanya nyasar. Ngenain kepala gue. Akhirnya gue pingsan deh. Tapi herannya, ngapain gue tiba-tiba di rumah sakit? Parahnya lagi, ada elo, orang aneh yang nyebelin. Gue juga gak tahu, masak kena bola aja bikin kepala sama tangan gue luka. Abis itu, gue sadar kalau gue masuk ke raga orang lain gara-gara mama lo dateng. Tapi herannya, kenapa wajahnya mirip sama wajah asli gue coba? Pasti gue tukeran jiwa deh sama dia. Pasti jiwa kita bingung, karna wajah kita mirip. Makanya kesasar," Laras menyerocos dengan teorinya. Sementara Aksa, menggeleng heran. Hari gini, masih aja percaya dengan hal di luar konsep sains. Mana ada tukeran jiwa? Memangnya ini film? Ada-ada saja.

Laras masih mengocehkan tentang teori praduganya, sampai kemudian mereka sampai ke rumah yang dituju.

"Aah, gak sabar ketemu sama mama," sorak Laras tak sabar.

"Langsung aja, pak Adi mah pasti ngiranya gue yang asli," ujarnya percaya diri.

Aksa menekan klakson, memberi kode pada satpam. Seorang pria berseragam satpam sigap menghampiri.

"Cari siapa, Mas?"

Laras sibuk memperhatikan penampilannya.

Aksa menunjuk ke arah Laras. Maksudnya, harusnya satpam kenal dengan tuan rumah. Tanpa basa basi membukakan pintu. Tapi, yang terjadi.

"Apa maksudnya? Mas cari siapa?" Ulang satpam itu.

"Pak Adi, ini Laras. Masak pak Adi lupa?" Laras tersenyum lebar. Tapi raut satpam itu malah sebaliknya.

"Maaf, kalau tidak ada kepentingan, silakan pergi!"

Senyum Laras meluntur. "Loh, pak Adi gimana sih? Ini Laras, loh. Masak lupa."

"Anda siapa? Saya tidak kenal. Kalau mau melakukan penipuan, jangan disini."

Laras menatap Aksa, bingung. Aksa tidak menanggapi. Rautnya datar.

Laras membuka pintu mobilnya. Menghampiri pak Adi.

"Pak, ini aku lo? Laras. Putrinya mama Lina. Masak pak Adi lupa?"

"Jangan macam-macam, mbak. Saya bisa laporkan anda ke polisi."

"Lah, apaan sih, gak jelas."

Laras menggeleng, kesal. Lebih baik dia masuk. Memastikan sendiri.

"Mbak, tunggu!"

Laras langsung ambil langkah seribu.

"Mama! Pak Adi gilaa!" Teriak Laras. Nyelonong masuk ke pintu yang terbuka. Si satpam di luar mengejarnya. Tapi dia pintar, langsung menutup pintu, menahannya dari dalam. Sehingga si satpam geger di luar.

Laras menyeringai puas. Dasar satpam aneh. Bisa-bisanya lupa sama anak majikan. Awas aja. Dia aduin mamanya nanti.

"Ada apa ini?" Suara wanita menginterupsi gerutuannya.

Laras berbalik, senyum lebar tersungging di bibirnya.

"Ma-maa ...." suaranya tercekat.

1
kuncayang9
keren ih, idenya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!