kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Yana pun mulai menuturkan tentang ustadz Satria yang ia ketahui. Mulai dari seorang anak Kyai yang memiliki pondok pesantren yang cukup kondang. Sampai seberapa berkarisma dan hebatnya Ustadz Satria. Terlihat jelas jika Yana sangat mengagumi ustadz tersebut.
"Kamu tau kenapa beliau nglamar kamu?"
"Kamu tau kenapa beliau nglamar kamu?" tanya Yana antusias.
"Ya nggak Taulah." Adiba mengangkat bahu.
"Kamu nggak nanyain?" Yana makin penasaran.
"Nggak. Ngapain? Isshh, itu nggak penting. Yang penting sekarang, gimana caranya supaya dia membatalkan lamarannya. Udah itu aja. Ayah sama Bunda udah terlanjur mengiyakan. Dan kami diberi waktu dua minggu untuk saling mengenal," jelas Adiba panjang lebar,"Jadi, selama dua minggu itu, lamaran harus batal dan jangan sampai Arga tau."
"Terus kamu kemari buat nyari solusi, kan?"
"Aku datang kemari buat ngajak kamu ke rumah si Satria itu," tegas Adiba sangat yakin.
Akhirnya, Yana menemani Adiba ke desa Pakis. Perjalanan ke sana ditempuh kurang lebih satu jam. Melalui jalan yang berliku, menikung, menanjak dan beberapa turuan. Di sisi kiri dan kanan kebanyakan masih berupa ladang, persawahan dan hutan jati.
"Cukup seram jika lewat sini di malam hari," celetuk Yana di tengah perjalanan, sambil bergidig ngeri. Ia yang membonceng di belakang.
"Makanya aku ngajakin kamu pagi gini. Biar nanti sebelum sore kita sudah pulang," sahut Adiba yang tengah mengendarai motornya. Tetap fokus di depan tanpa menoleh.
Sesampainya di desa Pakis, Adiba dan Yana masih harus mencari di mana Rumah Satria atau rumah kyai Rauf. Adiba mencoba mencari warga sekitar untuk ditanyai. Sayangnya ia tak menjumpai. Sampai, mereka masuk lebih dalam ke desa Pakis dan melihat beberapa santri. Adiba pun memutuskan untuk bertanya, karena ia sudah malas jika harus tersesat.
"Oohh, rumah Ustad Satria?" sahut seorang pemuda tanggung.
"Iya, iya." Angguk Adiba antusias. Sangat berharap nantinya dapat petunjuk dan bisa bertemu si ustadz.
Santri itu memindai Adiba yang hanya mengenakan kaus putih bergambar tengkorak dan celana jeans yang robek di bagian lututnya. Rambut Adiba pun tampak hanya di Cepol tanpa memakai jilbab seperti Yana yang lebih sopan dan tertutup. Aneh, gadis seperti ini mencari Satria.
"Ada perlu apa, mbak sama ustadz Satria?" tanya pemuda itu sopan.
Adiba menghela napas frustasi mendengar pertanyaan yang seperti ikut campur itu. "Tinggal kasih tau ajalah, mas. Kami nggak ada niat jelek kok," sahutnya menggerutu dan bermuka masam.
"Udah WA beliau?"
Adiba makin dibuat kesal oleh pertanyaan itu. Jika ia punya nomor kontaknya, tak perlu ia susah-susah mencari seperti ini.
"Aku nggak punya nomornya, Mas," ujar Adiba jengkel. Yana malah terkikik,"Aneh kamu emang. Masa nomor calon suami sendiri nggak punya?" ledeknya menutup mulut menahan tawa.
"Diemlah kamu." Adiba mendelik kesal sama temannya.
"Ada apa, Cil?" Suara tanya dari salah satu teman santri yang Adiba tanya, di kejauhan.
"Ini Yas, ada yang nyariin Ustadz Satria," sahut yang disebut Cil.
"Eeh, tamunya Ustadz Satria." Santri yang disebut Yas itu mendekat. "Kok malah dibiarin berdiri di situ. Mari neng, sini!" seru Yas. Adiba melengos, dengan cepat menaiki motor matiknya di susul Yana mengikuti Yas.
Yas membawa Adiba masuk ke perkampungan yang cukup padat penduduknya untuk ukuran desa. Meski masih tampak tanah lapang di sana sini. Mereka lalu menyusuri jalan yang dicor beton dan berakhir pada sebuah rumah yang di depannya terdapat pohon mangga.
Rumah bergaya Limasan dengan lantai yang berkeramik merah bata dan tanaman hias di pinggiran terasnya, itu terasa begitu adem. Yas turun dari motornya dan mempersilahkan Adiba dan Yana untuk duduk lebih dulu di kursi yang tersedia di teras.
"Duduk dulu, Neng. Biar saya panggilkan Ustadz Satria," ucap Yas sopan menunjuk kursi kayu dengan jempolnya."O iya, nama Neng berdua siapa, ya?"
"Saya Adiba, dan ini Yana. Bilang aja sama mas Satria kalau yang nyari Adiba. Adiba anaknya pak Mustofa," jelas Adiba lalu duduk di kursi kayu.
Yas tampak cukup paham dan mengangguk, lalu menghilang ke sisi rumah. Yana mengedarkan pandangan kesetiap sudut tempat itu.
"Adem ya, Adiba," celetuk Yana.
"Namanya juga di desa, ya ademlah," sahut Adiba santai.
"Enggak, ini lebih adem, Adiba. Yaah, namanya juga rumah kyai, ya?" sanggah Yana.
Setelah menunggu beberapa menit, ustadz Satria muncul dari dalam rumah.
"Adiba?"
Adiba tersenyum kaku, dan melambai tangan dari tempat duduknya. Karena ia juga cukup tau, Satria tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Satria dan Yana juga hanya saling melempar senyum sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Ada apa? Bunda sama Ayah nggak ikut?" tanya Satria menjatuhkan bobotnya di kursi single dekat pintu.
"Aku mau bicara, Mas," ucap Adiba yang tak mau berbasa-basi.
"Iya, Mas dengarkan," sahut Satria.
"Kita ke dalam aja deh Mas, yang lebih privasi." Adiba mengajak.
"Di sini aja, di dalam nggak ada orang," tolak Satria halus.
"Ya itu, yang nggak ada orang. Makanya kan, tadi kubilang privasi," ujar Adiba gemas.
"Adiba, kita ini dua orang baligh yang berlainan jenis. Jika kita berada di tempat yang katamu privasi itu. Bisa aja kita tergoda dan berbuat zina. Selain itu bisa menimbulkan fitnah juga," jelas Satria tetap lembut dan halus.
"Ya ampun, Mas, ya nggak mungkinlah. Itu bisa terjadi kalau kita saling suka. Kita ini baru aja kenal loh. Kita juga nggak saling suka," bantah Adiba keberatan.
"Adiba, yang namanya khilaf itu nggak kenal suka atau tidak. Lagi pula, apa salahnya kita menjauhi hal yang bisa menimbulkan fitnah." Dengan lembut Satria memberi penjelasan.
"Ya ampun, Mas. Siapa lagi yang mau fitnah? Nggak ada kerjaan banget deh," sanggah Adiba makin jengah.”Yaa kalik ada yang mau memfitnah Ustad sama cewek blangsak kek Diba.”
“Nah, itu udah ngakuin blangsak,” celetuk Yana menyela, Adiba langsung melotot tak suka, “Diam kamu!”
Satria tersenyum geli, "Memangnya mau ngomongin apa, sih?" ucap Satria masih tetap bernada lembut meski Adiba sudah tampak meletup-letup.
Adiba mendengus, ia tak memiliki kesabaran lebih menghadapi ustadz Satria yang tenang dan lembut ini. Lagipula Yana juga sudah tau, ia pikir tak masalah jika mereka membicarakannya di teras dengan Yana di sini. "Aku mau, Mas Satria membatalkan lamaran, Mas."
"Kenapa?" Satria mengerutkan kening.
"Aku nggak suka sama Mas," lontar Adiba cepat dan jujur.
"Kita bisa mulai pacaran dan saling jatuh cinta nanti setelah menikah." Satria memberi solusi.
"Iihh, ya nggak bisa begitu dong! Kalau nggak cocok gimana?" omel Adiba gemas. Karena Satria sedikitpun tak goyah.
"Ya dicocok-cocokin," sahut Satria enteng.
"Hiiihh," rasanya Adiba sudah sangat kesal dengan Satria, tapi ia tak bisa apa-apa. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya. "Mas Satria, sebenarnya, aku udah punya pacar."
"Terus?"
"Ya Mas mundurlah, kan aku udah punya pacar," sergah Adiba gemas.
Satria tersenyum geli, "kamu mau, Mas mundur berapa langkah?" tanya Satria sambil menggeser kursinya ke belakang.
"Hiihh, bukan mundur gitu, Mas Sat-tri-a!" geram Adiba tak sabar menghadapi Satria. Sementara Yana terus membekap mulutnya menahan tawa.
"Adiba Khanza Az-Zahra, pacaran itu nggak boleh. Itu dilarang sama agama. Udah membuka peluang untuk berbuat zina juga. Kalau pacar kamu serius, dia bakal memantaskan diri dan melamarmu," ucap Satria dengan lembut.
"Aaahh, udahlah mas. Nggak usah ceramah." Adiba mengibaskan tangan di udara.
"Namanya juga Ustadz, Diba, wajarlah kalau ceramah," celetuk Yana menyela. Adiba menatap protes padanya,"Iihh, kok kamu malah belain dia, sih." Omel Adiba tak suka.
Adiba pun terus menyuarakan keberatannya. Terus menegaskan penolakannya pada Satria. Satria tetap bersikap lembut dan sabar meski kadang Adiba sampai meletup-letup.
"Aaahh, sudahlah! Susah ngmong sama Mas Satria. Nglamar kok maksa, sih!?" sungut Adiba beranjak dari duduknya.
"Eh? Mau ke mana?" tanya Satria ikut beranjak dari duduknya.
"Pulang! Percuma mah, ngomong sama Mas Satria." Omel Adiba kesal, melangkahkan kakinya dari teras. Yana mengekori saja.
"Eeh, bentar." Satria masuk ke dalam dengan cepat dan kembali lagi dengan membawa jaket. Adiba sudah memasang helm dikepalanya.
"Nih," ucap satria menyodorkan jaket berwarna hitam pada Adiba,"Kalau sore menjelang malam, biasanya hawa di jalan lebih dingin. Pakailah."
"Ogah!" tolak Adiba ketus. Yana yang sudah membonceng menepuk pundak Adiba,"Eehh, jangan gitu."
Adiba berdecak kesal, dan tetap tak mau menerima jaket dari Satria. Dan mulai menarik tuas gas motornya.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh," ucap Satria meski Adiba tak mengucap salam dan langsung pergi.
Sepanjang jalan, Adiba terus mengomel dan menggerutu. Kenapa Satria sangat tebal muka dan tetap meneruskan lamaran. Sangat aneh, pikiran buruk jika Satria seorang pedofil ataupun memiliki kelainan membuat Adiba makin merinding sendiri. Di tengah Adiba yang mengomel tak karuan, gadis itu mulai merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Sedikit banyak, Adiba merasa menyesal sudah menolak jaket dari Satria karena gengsi.
"Kenapa, mbak?"
"Bocor," jawab Adiba dan Yana sambil mendorong motor.
Dua orang pemuda yang memakai sarung serta peci, dan berboncengan itu berhenti untuk melihat kondisi ban motor Adiba yang kempes.
"Tambal ban di sini jauh, mbak," kata pemuda yang berkulit gelap. Perkiraan usianya sekitar 17 tahun.
Adiba menghela nafasnya susah. Sudah posisi pas tanjakan, malah bocor pulak. Rasanya, ia ingin menangis saja. Si Abang malah bilang tak ada tambal ban. Nasib!
"Mbak berdua keknya asing, bukan warga sini, ya?" tanya pemuda yang berkaus hijau.
"Bukan. Kami dari Sabtosari." Yana menjawab.
"Oohh, Sabtosari. Jauh dari sini, mbak. Ada saudara?"
"Bukan saudara sih mas, calon suami." Yana menahan senyuman dengan menutup mulut dan perutnya yang sakit. Cubitan kecil langsung ia dapatkan di lengan, tak lupa mata yang melotot dari Adiba.
"Calon suami?"